Menyongsong Publis Ekonomi Nasional, dari Badan Pusat Statistik (BPS), Ekonomi “Triple Shock”

0
1073
- Advertisement -

Kolom Syahrir

Perekonomian dunia dalam posisi kontraksi di “Triple Shock,”  akibat pandemi corona virus (Covid-19) melanda seluruh negara. Dan kemudian ikut  berpengaruh terhadap kerapuhan seluruh struktur pasar, berikut pergerakan transaksi ekonomi, turun tak terkendali.

Adalah parameter disebut triple shock, 1. Pergerakan transaksi terkoreksi tajam, 2. Investasi, industri dan produksi, di posisi break, dan 3. Pasar saham dan kurs  terdefreseasi di level terendah.  Selain itu, dominasinya terlihat pada   kurva ekonomi pergerakannya meluncur turun,  seperti berselancar di gunung es. Sehingga berkorelasi terhadap kondisi kehidupan sosial  berada pada “froze up.” Dan tingkat dominasi dari pergerakan risiko Covid-19 masih terus berlangsung, tanpa prediksi penghentian.  

Reaksinya,  menjadikan  sejumlah negara-negara maju telah menyatakan kondisi resesi. Di Asia, pemerintah Jepang, Korea berikut Singapura, lebih awal menyatakan, jika negaranya telah mengalami kontraksi di level pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi tajam.       

Pengarunya pun cukup berdampak pada seluruh negara. termasuk Indonesia. Olehnya, di saat seluruh sistem pasar berefect dan ber-impact  negatif, maka data-data ekonomi tak bisa lagi direkayasa. Karena yang berpengaruh langsung adalah realitas, bukan lagi di level teoritis. Antara lain,  ketika misalnya,  masih terdapat negara yang mencoba untuk merekonstruksi data ekonomi tak sesuai  kenyataan, imbasnya, pemerintah akan berhadapan dengan  “pressure” dari masyarakatnya sendiri. 

- Advertisement -

Keputusan pemerintah  Jepang, Korea dan Singapura, memilih mengumumkan, jika kondisional dialami berada pada posisi minus, adalah mereka tak ingin menanggung sejumlah risiko dari masyarakat, akibat kebohongan data-data ekonomi. Di konteks negara maju, data statistik, kurva dan sejumlah sistem pergerakan ekonomi berbasis value, jelasnya, mereka takut melakukan publikasi data rekayasa. Mengapa, karena jika melangkah memasukkan data palsu pada area publik, pasti akan berhadapan dengan “high risk” Sejumlah pengusaha, investor dan pergerakan nilai bisnis, memiliki ketergantungan dengan data tersebut.

Risikonya, apabila “government“-nya melakukan rekayasa data, maka dalam seketika pengusaha menghadapi kebangkrutan, stagnan, karena seluruh  investasi sangat padat modal, credit, dan juga debt. Bahkan semua dalam bilangan “high cost“.  Olehnya,  bagi pemerintahan negara maju,  pencitraan melalui rekayasa data ekonomi,  bukan pilihan,  bahkan sebuah ketakutan.   

Interaksinya terhadap pembenaran rasional untuk pilihan kejujuran mempublis data statistik ekonomi,  menjadi trend, sebagai langkah apresiasi dalam mendorong  seluruh masyarakat kembali pada budaya, saling tolong menolong, gotong royong, intens membangun keakraban, karena mengerti kesulitan yang tengah dihadapi pemerintahnya. Cara tersebut, lebih jitu untuk keluar dari kemelut resesi ekonomi yang tengah dihadapi.

Di tengah gejolak ekonomi dunia dilanda resesi pada pusaran Covid-19, Indonesia memiliki keberuntungan karena penduduk hidup  di struktur dominasi agraris. Sumber pangan  berkecukupan, menjadikan  pergerakan kehidupan sosial masyarakat hampir tak berpengaruh pada reaksi turunnya pergerakan nilai ekspor, devisa negara, pertumbuhan ekonomi dan pengaruh sejumlah nila valas dan kurs yang anjlok.

Untuk mengurai pembuktian tersebut, dimunculkan cerita klasik. Contoh,  di saat negara dilanda krisis ekonomi, sebagian masyarakat  Indonesia yang sudah hidup berkecukupan, sejahtera dan kaya, di kota-kota besar, ketika tiba-tiba terpapar krisis, jatuh miskin, maka pilihannya kembali lagi ke desa,  hidup bersama keluarganya, bertani dan berladang di kampung. Rangkaiannya, di siklus kehidupan masyarakat Indonesia seperti itu, oleh ekonom internasional menyebut masyarakat Indonesia tahan banting terhadap resisi ekonomi global.  Logisnya,  masyarakat Indonesia, merasakan super krisis, seperti di Afrika, Afganistan dan negara miskin lainnya, apabila hujan tidak turun atau terjadi kemarau panjang selama bertahun tahun.       

Di realitas tersebut, masyarakat Indonesia terbiasa dengan kecukupan dan ketersediaan pangan dari kerakteristik alam dan lingkungan hidup. Tersebut, tak takut hidup miskin.  Jauh berbeda dengan sejumlah negara maju  ber – “income”  dari sistem  produk  berbasis jasa dan industri.  Seperti Singapura. sekalipun tergolong negara maju, tapi  lahan pertanian dan petani tidak maju, karena masyarakatnya  tidak memiliki lahan pertanian sebagai basic kelangsungan hidup. Olehnya, pilihan pemerintah Singapura, mewujudkan misi negerinya  sebagai industri jasa internasional, yang kerja dan tugasnya hanya “printing money.” 

Demikian Singapura, negeri yang masih mempertahankan nama suku Bugis di tempat salah satu area bisnis berlebel Bugis Junction, adalah memiliki kepekaan terhadap fulus. Dan negara melegendakan  salah satu sudut kota teramai bernama Bugis Street, lebih memilih memproduksi uang di banding industri manufaktur lainnya. maka berkategori Singapura, tak memiliki industri tekonologit tinggi berbasis manufaktur, tetapi termasuk negara maju.  Misalnya,  jika negara berlambang patung kepala Singa itu,  masih merasa kekurangan dana, tindakan berikut, yakni melakukan praktik penarikan uang dari negara tetangga, seperti cara kerja  mesin penyedot sampah.       

Cukup atraktif  cara mereka mengatasi dilema. Namun demikian, bagi  negara berbasis sumber daya produk ekonomi  industri  dan  jasa, ketika krisis ekonomi melanda dunia secara berkepanjangan, dan di saat  mengalami kelambatan pemulihan, imbas turunannya, masyarakat dalam kondisi stres  atau “the danger,”  karena untuk memenuhi kebutuhan pangan, tak ada pilihan lain,  kecuali  bergantung  dari devisa negara yang selama ini tersimpan di bank central. 

Rangkaian berikutnya, ketika devisa negara terus menerus terkuras habis, risikonya negara tersebut terprediksi bisa kembali menjadi “Poor Country“. Sekalipun,  secara prosedur,  menurunnya sebuah negara dari negara maju menjadi negara miskin, variabel pembuktian belum intens terpublikasi.

Proporsi Indonesia sebagai negara berbasis agraris menjadikan perkapita penduduk di level “middle income trap.” Maju tidak, mundur juga tidak; posisinya selalu berada di wilayah tengah. Termasuk angka pertumbuhan ekonomi negara berbasis pertanian seperti Indonesia, di rekam naik turun pada level  5% dan mentok pada angka maksimal 6%. Jika pertumbuhan dipaksa  untuk merangkak naik pada kurva pertumbuhan  7% – 8%, sanksinya,  akan berhadapan “engineering of data“.

Faktor dan fakta keraguan tersebut terjadi, akibat sejumlah pasar pangan dunia, dibanjiri dari pertanian di negara-negara maju.  Reaksinya.  nilai ekspor di bidang produk pangan jelas terkendala,  alias tertolak pasar. Posisi  isunya, kalah bersaing. Persoalan lain membuat Indonesia terganjal pertumbuhan ekonomi pada level tertinggi,  diakibatkan sedikit kehilangan  daya saing produk teknologi dari Indonesia.

Bahkan belakangan ini, Indonesia hampir tidak memiliki produk berbasis “high tech” yang dijual dan laku  di pasar global. Dan posisi lemah berikutnya, terjadi pada kualitas Sumber Daya Manusia,  memiliki keterbatasan dalam memproduk kebutuhan pasar dunia. Praktis, Indonesia hanya memiliki dua kemampuan untuk bangkit dan dalam menahan laju kemunduran. Pertama ekspor dan eksploitasi  sumberdaya alam, dan kedua, pengiriman tenaga kerja rumah tangga ( pekerja pembantu rumah tangga/TKI). Sumbangsih Tenaga Kerja Indonesia (TKI),  memiliki peran cukup tinggi untuk memasok devisa negara, sekalipun bagi sebagian  TKI berhadapan dengan sejumlah risiko tinggi. Salah satunya, harus rela meninggalkan kampung halaman, anak, istri, dan suami pergi “peras” keringat di negeri orang.  Belakangan, terpublis beberapa TKI yang bekerja di kapal asing, saat meninggal, mayatnya dibuang ke laut.   

Diantara dilematis tersebut, masih mensisahkan harapan sumbangan perbaikan peningkatan pendapatan di sektor jasa – pariwisata, sekalipun sektor itu,  berposisi masih maju mundur. Penyebabnya, sejumlah infrastruktur pariwisata, kurang mendukung, walaupun potensi pariwisata nasional membentang sepanjang mata memandang  seantero nusantara. Termasuk di bidang manufaktur sebagai  penggerak penyerapan tenaga kerja, juga berhadapan dengan pemilik modal. Artinya, hampir seluruh industri manufaktur baik berskala ekspor, maupun untuk pemenuhan pasar dalam negeri, adalah milik investor asing.

logika  pelemahan mengandalkan investor manufaktur milik asing, yakni mereka, sewaktu-waktu bisa hengkang, memindahkan pabrik sekalian lapis  dengan  modal dan uang, pergi  ke negara lain, dan tak berkabar lagi. Bagi investor, modal, uang dan barang tidak pernah  memiliki status warga negara, bisa hidup di semua tempat.         

Dari fenomena tersebut, kembali merangkai perbaikan nasib ekonomi nasional pada bidang  industri pengolahan sumber daya alam/SDA. Penempatan SDA sebagai pemutar roda bisnis, aplikasinya juga tak mudah, seperti hanya gali tanah, pakai cangkul, lalu dapat bongkahan emas. Rupanya,   harus  berhadapan dengan pemodal besar, dalam kurung  kapitalis.  Pilihan itu,  bagaikan rasa pahit yang harus ditelan sebagai “owner” negeri. Konsekwensinya, agar SDA bisa terkola, dengan terpaksa harus dilepas kepemilikan lahan ketangan investor asing. Peraturannya sederhana, dan mudah, yakni mirip ketika kakek di kampung jual tanah, sawah dan ladang. 

Hubungannya,  tak terpungkiri, rata-rata pemilik pengelolaan SDA, seperti saham mayoritas, berikut pabrik, tanah dan deposit tambang, dikuasai asing. Indonesia hanya bernapas sedikit pada pembagian pajak dan royalti. selebihnya ludes di libas oleh  asing dan “aseng” dari negeri Laksamana Cheng Ho.

Setelah menguasai sejumlah sektor investasi  berikut membawa pergi uang,  lapis hasil olahan SDA dan turunannya, seperti  emas, intan, berlian, batu bara, nikel, titanium, berikut seisi lautan dan danau, namun Indonesia masih sedikit ‘enjoy’  karena memiliki jumlah penduduk terbesar nomor empat dunia. Atau setara dengan 269,6 juta jiwa, terpaut dibawah rangking jumlah penduduk Amerika Serikat,  setelah India dan terbesar negeri Tiongkok.

Pada porsi Indonesia berpenduduk  banyak, jelas membuka ruang transaksi dan bisnis  yang demikian besar. Produk  pun,  ikut tumbuh mengikuti kebutuhan pasar. Termasuk “supply and demand” hampir tak henti bekerja dan berkejaran memutar roda bisnis,  seperti  tiupan bayu yang menggerakkan kincir angin di Kabupaten Sidrap. 

Dan di market besar itu, bagi para pemain yang  sukses dan gemilang,   oleh  George Soros  disebut sebagai “Berjalan Mendahului Kurva. Bahkan dalam memacu  langkah kesuksesan, di tengah penguasaan  market, analis menyebut, jika bertarung di arena pasar, saatnya mematikan seluruh teori ekonomi, atau “this is the end of economy theory.” Mengapa begitu, praktiknya,  di tengah lautan market, jika terdapat 100 orang yang bekerja keras, peras keringat, maka terdapat 1000 orang lagi yang berprilaku “curang,” dengan sistem spekulasi.   

Lewat strategi dan permainan para spekulasi, mampu menaklukkan   dahsyatnya kekuatan “the big market” dari jumlah penduduk yang banyak.  Bahkan  bisa memukul balik produsen, akibat produk tertolak pasar.  Ilustrasinya, dalam waktu singkat bisa untung besar, sebaliknya juga, bisa terjadi,  bangkrut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.  Namun,  bagi pengusaha  yang bisa selamat dan selamanya bersemayam dengan konsumen, adalah mereka yang menerapkan “equilibrium“.     

Market besar yang dimiliki Indonesia, membuat sejumlah produsen dunia ketakutan. Takutnya, di saat sejumlah produk tidak diserap pasar, para marketer yang selama ini “tidur nyenyak” di dalam negeri,  bisa pulang ke negerinya  dengan hanya berbekal celana “kolor.” Logikanya,  bukan hanya menderita  bangkrut, tapi pabriknya bisa tutup untuk selamanya.

Akibat pengaruh kekuatan pasar Indonesia yang demikian berbahaya, maka sejumlah investor, pengusaha dan produsen dunia merapat dan mendekat melalui berbagai cara. Antara lain memberikan bantuan, pinjaman, dan joint, baik melalui “government” maupun lewat swasta. 

Pada kondisional tersebut,   oleh pemilik produk pabrikan dan non manufaktur  memilih langkah partisipasi akrab pada masyarakat Indonesia dengan tindakan   “disayang, disanjung dan dibelai” sekalipun hanya berlaku pada kondisi tertentu.  Perilaku terebut mereka praktikkan, akibat ketakutannya terhadap krisis konsumen. Misalnya, salah satu satu produk mi instan terkenal milik perusahaan tertentu,  tiba tiba ditolak dan tidak dikonsumsi oleh masyarakat, risikonya, perusahaan tersebut pasti “colaps.”

Sejumlah elemen bisnis berpengaruh kuat terhadap  Indonesia, namun tak lepas dari prediksi, jika  masyarakat Indonesia bisa dan mudah untuk  di-“driver“. Penyebabnya, masyarakat Indonesia  rata-rata berpendapatan yang relatif rendah, cirinya, selalu mencari dan menkonsumsi produk murah,   itu pula yang  membuat masyarakat  rapuh  dalam memberikan perlawanan terhadap penolakan sebuah produk.  

Kondisi demikian, yang membuat bangsa Indonesai dengan pasar terbesar, selalu termarginal. Sangat mudah untuk dieksekusi oleh para kapitalis, konglomerasi, dan unjungnya, dipermainkan seperti bola pingpong.  

Rasio tersebut berlaku pada seluruh daerah provinsi,  kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Yakni partisipasi  dan  konstribusi kekuatan konsumen  sangat kuat, tapi rapuh ketika berhadapan dengan barang yang tak berkulitas. Akhirnya, barang berharga murah membanjiri pasar. “branding” nya, harga standar pasti di “libas habis” konsumen, kualitas urusan belakang, dahulukan pemenuhan “margin.”    

Misalnya, ketika melihat pasar menguat dengan serbuan para konsumen demikian besar.  Oleh sebagian  analis membacanya sebagai “trend growth  economy.” Berikut iklim investasi membaik,  Gini Rasio ikut teratasi, “Gross Domestic Product” tumbuh dan juga inflasi dipastikan stabil. Kemudian berantai menjadi nilai  penurunan angka kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan semakin terurai dan menurun.   Muaranya, sejumlah angka-angka di”paksakan” masuk ke deret  hitung statistik dan kemudian di publis.  Hasilnya,  terakui sebagai sebuah prestasi. Sekalipun sesungguhnya seluruh perolehan data dan torehan angka,  bersifat semu, berkategori asumsi. Sewaktu waktu bisa berubah tanpa harus menunggu kepastian. Dan hampir seluruh sistem yang tengah berjalan dan terus berpengaruh tersebut, disebut sebagai kemajuan dan berbangga. Walaupun, di wilayah realita memfaktakan kesusahan.

Penulis adalah pemerhati ekonomi dan sosial

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here