Kolom Zainal Bintang
Mudik adalah peristiwa kebudayaan tahunan. Mitigasi pandemi Covid 19 sebuah “peristiwa kebudayaan” yang lain. Kedua peristiwa kolosal itu kini berjalan beriringan dengan dua akibat yang bertolak belakang. Antara barokah dan musibah. Mudik adalah peristiwa budaya yang dilakukan berulang-ulang, dan bukan ciptaan atau rekayasa negara. Intinya sebuah pergerakan pelestarian silaturrahim menyebar barokah. “Larangan mudik” sebagai mitigasi nasional penyelamatan manusia dan harta dari bencana. Mitigasi membendung musibah.
Kalau lebaran adalah barokah. Maka pandemi adalah bencana. Keduanya kini berhadap – hadapan. Jika pandemi adalah “bencana non alam”. Maka larangan mudik pun adalah “bencana non alam” yang lain. Warga dan negara terseret ke dalam pusaran konflik frontal berhadap hadapan. Warga merasa hak mudik di rampas oleh negara. Negara menganggap wewenangnya menyelamatkan warga mau dilucuti. Organisasi pemerintahan beroperasi sesuai tupoksi diberikan konstitusi.
Berbagai hasil penelitian menulis, tidak ada mudik yang tidak diawali oleh proses migrasi dari desa ke kota. Kota selalu dipandang lebih menjanjikan secara ekonomi maupun pendidikan, dibandingkan dengan desa. Disinilah akar masalah darimana “mudik” itu menjadi peristiwa kebudayaan. Urbanisasi tenaga manusia desa (udik) ke kota berlanjut dalam bingkai ketimpangan design pembangunan yang memberi kemudahan dan fasiltas lebih banyak kota besar di Jawa, khususnya di Jakarta sebagai ibukota. Sistem administrasi pemerintahan piramidal menempatkan Jakarta sebagai mesin besar pembangunan. Terlihat juga pada dunia pendidikan dan dunia ekonomi. Jakarta menjadi sentral madu kemajuan dan pembangunan segala aspek.
Tradisi migrasi orang desa ke kota besar, khusus Jakarta mulai nampak ramai paska kemerdekaan. Distribusi kekuasaan yang timpang, terutama ekonomi antara pusat dan daerah mendorong banyak fragmen “pemberontakan”, yang kemudian lalu menjadi salah satu faktor pemicu gerakan urbanisasi ke Jakarta dan kota – kota besar di Jawa dan di luar Jawa. Selama era Orde Lama (1945 – 1965) dan Orde Baru (1966 – 1998) tren urbanisasi meningkat. Perbedaan struktur pemerintahan membuat perbedaan kewenangan pejabat politik di pusat dan di daerah, dan memaksa tokoh representasi daerah harus migrasi ke Jakarta. Keluarga mereka boyongan juga ke Jakarta. Otomatis mengundang kerabat dan teman ikut migrasi dari udik ke ibu kota.
Pembangunan ekonomi yang sangat maju di era Orde Baru membuka rangsangan ledakan urbanisasi. Pembagunan fisik ibukota memerlukan tenaga kerja pendidikan rendah lebih banyak, mengiringi ekspansi kapitalis yang terus bergerak menyantap lahan pertanian potensial kemudian disulap menjadi kawasan industri dan real estate mewah. Ribuan gedung pencakar langit yang menjulang di Jakarta, adalah “hasil karya” orang udik yang bermigrasi ke Jakarta menjadi tenaga kerja kasar. Menciptakan turunan ekonomi seperti pedagang kaki lima, baik sektor makanan maupun pakaian produk industri garmen massal. Tukang parkir, sopir dan kondektur angkot, pengemudi gojek dan tukang begal.
Sebagaimana sudah banyak dikemukakan, tradisi mudik lebaran melekat erat dengan Idul Fitri. Kerinduan pulang kampung menetralisasi kerepotan, bahkan jadi pemanis kemenangan. Mudik merupakan potret dialektika budaya yang sudah berlangsung berabad-abad. Menurut Said Agiel Siradj beberapa tahun yang lalu, mudik ditempatkan dalam konteks keberagamaan. Kembali ke fitrah sebagai upaya kesalehan yang bersifat spiritual vertikal yang konkret, dimaknai lewat jalan kesalehan sosio-horizontal. Silaturahim menjadi sarana sekaligus hasil dalam konteks sosio-horizontal. Tradisi mudik bisa menjadi cermin pasang-surutnya kehidupan. Jumlah pemudik bisa dijadikan salah satu faktor walaupun tidak otomatis.
Mudik di kala Idul Fitri sebagai kembali ke fitrah. Ada pantulan refleksi kerinduan yang amat manusiawi. Tradisi mudikpun berkelitan antara sosial-budaya-ekonomi dan keberagamaan. Tradisi mudik ke kampung halaman untuk merayakan lebaran akan selalu ada dan terus berlangsung dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. “Bagi masyarakat Indonesia, mudik ke kampung halaman belum bisa digantikan dengan kemajuan teknologi”, tulis Arie Sudjito, sosiolog UGM (2008).
Dalam tradisi mudik, menurutnya, masyarakat rela mengantre tiket selama beberapa hari atau berdesak-desakan di terminal dan stasiun.
Dalam pemberitaan media banyak dilaporkan, pemudik dari kota yang berkendaraan pribadi lewat darat, malah menikmati kemacetan panjang puluhan jam di jalan sebagai “rekreasi”. Demi bertemu kerabat mereka di kampung halaman. Mudik sepertinya menimbulkan histeria tersendiri yang membuat keadaan seperti ada “sakit jiwa” massal.
Agus Muladi Irianto, dosen Undip, Semarang, mengatakan dalam salah artikelnya (2012), “tradisi mudik terjadi karena perpindahan migrasi dari pedesaan ke perkotaan yang kemudian menjadi urbanisasi yang tidak terkendali. Urbanisasi yang tidak terkendali terjadi karena masalah kemiskinan di pedesaan. Sementara itu, urbanisasi yang tidak terkendali juga menyebabkan kemiskinan di perkotaan. Banyak pekerja sektor informal merupakan petani yang meninggalkan desanya. Tradisi pulang kampung mengandung dimensi spiritual, psikologis dan sosial yang harus disikapi dengan menerapkan heteronomi budaya”.
Tahun ini pemerintah menerbitkan Adendum Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Masa peniadaan mudik tersebut mulai berlaku sejak 6 Mei 2021 hingga 17 Mei 2021.
Ketentuan itu kontan kembali menyulut ketegangan. Protes keras datangnya dari masyarakat yang resah karena kehilangan harapan hidup di kota. Terjadi musibah merosotnya berbagai sumber daya tahan ekonomi mereka karena dihajar pandemi: Menjadi korban PHK; Menderita dagangan tidak laku; Kucing-kucingan dengan rentenir dan debt collector sadis; Menjadi buronan Satpol PP. Merekapun akhirnya memilih, bahkan nekat, untuk mudik: Mudik adalah harga mati!!!
Tindakan nekat mereka tercermin pada banyaknya kasus mengenaskan. Contoh: Pasangan suami isteri yang jalan kaki ratusan kilometer sambil menggendong anak balita; ada yang sembunyi di bak mobil; ada yang bergerak tengah malam buta; ada yang menempuh jalur sungai. Dan sangat banyak yang berkeras menerobos jalan tikus. Itulah bahasa perlawanan tertinggi rakyat kelas rendahan yang tidak terkoneksi dengan pusat kekuasaan. Narasi pedih hati rakyat lemah yang teriris: yang terpuruk dipinggiran kekuatan politik.
Apa yang terjadi? Dimanakah para wakil rakyat? Mereka absen. Tidak terlihat ada uluran tangan humanis bernuansa perlindungan permanen dalam bentuk regulasi yang diperkelahikan wakil rakyat di sidang parlemen versus eksekutif. Mereka yang berpredikat yang terhormat tidak terpanggil mencari solusi jalan tengah, jalan teduh yang dapat menenteramkan rakyat yang sedang klimpungan dilanda kelumpuhan hidup. Rakyat perlu vaksin rohani untuk menahan pukulan atas jasmani. Pemberi mandat politik, sang pemilik suara, kini terlihat seperti dibiarkan terlunta – lunta sendirian, jatuh bangun dipepet petugas keamanan. Kesengsaraan mereka menjadi tontonan berseri di layar televisi siang dan malam. Tersebar ke seluruh dunia. Disaksikan wakil rakyat di ruangan kerja dan kamar tidur yang berpendingin tanpa batas, setelah seharian kepenatan bermain golf.
Tiba–tiba diantara takbiran yang bertalu-talu di malam Idul Fitri, terdengar mengalun lembut sepotong doa dilayangkan berulang-ulang ke langit: “Tuhanku, limpahkan rakhmatMu agar kami rakyat kecil menjadi tangguh; tahan banting; pantang menyerah; tabu tertipu lagi. Jadikan kami, rakyat yang tidak butuh wakil; rakyat yang tidak perlu politik; rakyat yang tidak peduli demokrasi: semuanya menyengsarakan!” Adakah ini sinyal barokah yang menetes tertitip lewat malam Lailatul Qadar yang khusyuk itu? Yang datang menyusup jika dada rasa hampa dan jam dinding berdetak, di malam yang hening?
“Tuhanku, Di pintuMU aku mengetuk. Aku tak akan berpaling”. Bayangan penyair Chairil Anwar sekilas berkelebat tiba-tiba.
Seperti biasa ada lagi pesan WhatsApp masuk dari wartawan senior teman lama. Isinya mengutip potongan dialog sebuah film drama penghianatan cinta. Sang kekasih yang dihianati pujaannya, berucap dengan getir: “Jika aku tidak bisa mencintaimu, maka aku akan membencimu. Itu lebih baik daripada tidak punya perasaan sama sekali!”.
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1442 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Zaenal Bintang, Dewan Pakar KKSS, wartawan senior, pemerhati sosial budaya.