Kolom Ruslan Ismail Mage
Selama ini di Indonesia hanya dikenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Namun pasca reformasi ada musim baru yang muncul mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Musim baru ini serupa tetapi tidak sama dengan kedua musim yang selama ini kita kenal. Dikatakan serupa, karena masing-masing bisa membawa berkah dan musibah bagi kehidupan masyarakat. Dikatakan tidak sama, karena musim hujan dan musim kemarau periode waktunya datang setiap tahun walau sudah susah diprediksi. Sementara musim baru ini periode waktunya hanya datang sekali dalam lima tahun.
Musim baru yang dimaksud adalah “Musim bertanam tebu di bibir” yang sekarang mulai melanda daerah. Musim ini sudah mulai terasa sejak dua bulan terakhir yang anginnya terus berhembus melewati batas-batas ruang dan waktu menuju puncaknya pada tanggal 9 Desember 2020. Untuk sukses memanen, para penanam tebu di bibir ini sejal awal bulan Agustus sudah mulai menjajaki lahan-lahan yang kemungkinan potensial ditanami. Semua sarana pendukung yang memungkinkan sukses bertanam sampai panen raya terus dipersiapkan. Mulai dari benih sampai pupuk unggulan sudah mulai disiapkan untuk ditabur di beberapa lahan saat memasuki puncak musim tanam awal bulan Desember 2020.
Sampai titik ini sahabat-sahabat pembelajar pasti sudah mulai menebak apa yang dimaksud daerah memasukin musim bertanam tebu di bibir. Musim bertanam tebu di bibir adalah suatu kondisi dimana semua calon kepala daerah sudah mulai mencoba bermanis mulut dengan bahasa merayu mendekati rakyat menebar benih janji-janji manisnya.
Kita tidak susah menemukan orang-orang yang selama ini jauh dan abai dengan kondisi masyarakat di daerah tiba-tiba berubah menjadi orang yang penuh perhatian. Orang yang selama ini diam, acuh dan tidak mau peduli dengan orang-orang di lingkungannya, tiba-tiba menjadi orang yang murah senyum, gampang berbagi, sok akrab dan menyapa kiri kanan dengan bahasa familiar. Mereka adalah para penanam tebu di bibir yang berharap bisa panen suara pada Pilkada 2020.
Menyikapi mulai bermunculannya penanam tebuh di bibir di daerah menuju Pilkada 2020, rakyat harus lebih berhati-hati dan jeli melihatnya. Jangan sampai tergoda dan terbuai manisnya janji-janji politik. Jangan ditelan mentah-mentah, karena seperti syair lagu hanya manis dibibir saja, tetapi pahit getir nanti rasanya ketika sudah panen. Akibatnya rakyat hanya mampu gigit jari lalu berteriak dalam sunyi merenungi nasib “habis manis sepa dibuang”. Setelah bermanis janji, rakyat kemudian dilupakan setelah menang.
Karena itu sekarang saatnya rakyat harus cerdas dan memaknai seruan Filsuf Prancis abad 14 Nicholas de Frand yang mengatakan “Membangun negara atau daerah dengan penuh kepalsuan dan kebohongan adalah laknat bagi peradaban masa depan bangsa dan daerah”. Jadi untuk menyelamatkan daerah dari orang-orang yang mengalami obesitas janji manis, ada baiknya merenungi pesan Emma Goldman (1869-1940) seorang penulis kelahiran Lithuania yang mengatakan “politisi akan menjanjikan sorga sebelum pemilu, dan memberimu neraka setelahnya”.
Karena itu, jangan pernah simpulkan kebenaran dari harapan janji-janji manis politisi, tetapi simpulkanlah kebenaran dari fakta kebiasaan perilaku mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan Mahatma Gandhi, “Pikiran seseorang menjadi tindakannya, tindakannya menjadi perilakunya, perilakunya menjadi kebiasaannya”. Itu berarti kebiasaan seseorang akan menjadi kerakternya yang mewarnai dalam proses menentukan kebijakan.
Sementara kepada penanam tebu di bibir, ingatlah pesan bijak mantan Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt yang mengatakan : “Jika anda berhasil menipu diri di dalam keremangan fajar, anda akan ketahuan di bawah sorotan lampu”. Kalau pesan Theodore Roosevelt ini dikontruksi masuk wilayah Pilkada, dapat dikatakan kepada calon kepala daerah hati-hatilah menyampaikan janji-janji manisnya, karena rakyat telah mengalami pembelajaran politik secara alami untuk menghukum calon pemimpin yang mengalami obesitas janji pada Pilkada 2020.
Tidak percaya? Silahkan terus bertanam tebu di bibir, lalu bersiaplah gagal panen. Karena lahan-lahan jiwa rakyat lima tahun terakhir sudah kering kerontang dan retak-retak akibat kemarau kebijakan yang tidak turun-turun membasahi menyemai jiwa mereka. Saatnya lagi rakyat tidak membiarkan tumbuh benih janji-janji manis yang di tabur para tim sukses calon kepala daerah. Rakyat sudah jenuh dan cenderung muak menyaksikan melo drama yang diperankan para aktor penanam tebu di bibir yang piawai bersilat lidah mengingkari janji-janji manisnya. Saatnya rakyat menjadi macan di bilik suara, bukan mengembek mengikuti pesan dalam amlop.
Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta