Kolom Tamsil Linrung
Kekuasaan presiden yang terlalu kuat merupakan ancaman bagi demokrasi. Inilah salah satu pelajaran penting yang jadi catatan dari perhelatan pemilihan umum 2024.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt jauh hari sudah mengingatkan. Melalui buku How Democracies Die, dua profesor Universitas Harvard, Amerika Serikat, ini meneliti demokrasi yang mati secara perlahan di tangan seorang presiden.
Caranya bukan dengan melawan hukum. Tapi memanipulasi hukum sebagai alat legitimasi. Levitsky dan Ziblatt menyebut Presiden yang otoriter menunggangi lembaga demokrasi dan menggunakannya justru untuk melemahkan dan menghancurkan demokrasi.
Demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi prosdural. Dimana secara administratif tampak demokratis, prosedur-prosedur ditempuh. Tapi esensinya jauh dari semangat demokrasi. Stempel lembaga sebatas formalitas, seolah-olah demokratis. Padahal substansinya memunggungi demokrasi. Seolah-olah sesuai konstitusi, padahal esensinya memanipulasi hukum. Gejala-gejala yang membunuh demokrasi tersebut menjadi temuan sekaligus peringatan keras bagi kita.
Indonesia menganut sistem presidensial, dimana kekuasaan utama berada di tangan eksekutif atau presiden. Sebagai pilihan bersama, sistem ini memang harus diperkuat. Namun penguatannya diimbangi dengan mekanisme kontrol untuk memagari kekuasaan agar tidak melenceng ke otoritarianisme.
Sayangnya, dari perspektif itu pula kita cenderung mengalami dilema. Sebagai badan pengawas kinerja pemerintah, dua kamar lembaga legislatif di Senayan terbentur pada sistem presidensial yang meletakkan parlemen dalam posisi tidak kuat karena intrupsi eksekutif melalui parpol.
Di satu sisi, kaki parpol berada di lembaga legislatif sebagai pengawas eksekutif, sementara kaki lainnya terperangkap di lembaga eksekutif selaku pihak yang diawasi.
Sulit mengingkari tarik ulur politik dalam persenyawaan itu berpotensi mendegradasi kualitas pengawasan. Apalagi, presiden terpilih cenderung menggandeng sebanyak-banyaknya partai sebagai mitra koalisi, sementara keputusan dewan seringkali ditempuh dengan cara voting.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI juga berada dalam posisi yang tidak ideal dalam membangun mekanisme check and balances. Kewenangan DPD memasung efektivitas pengawasannya. Kendala ini telah dirasakan bahkan sejak DPD lahir. Diamini oleh para pakar. Namun upaya untuk membenahi problem tersebut hanya terdengar sayup-sayup.
Padahal, DPD dapat menjadi harapan bagi penajaman pengawasan terhadap pemerintah. Dalam konteks pemilu 2024 misalnya, ketika DPR maju-mundur soal hak Angket, Rapat paripurna DPD merespon tuntutan publik dengan menyepakati pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Kecurangan Pemilu.
Sayangnya, semangat para senator tidak dipersenjatai kewenangan yang kuat. Sebab, ujung dari Pansus Kecurangan Pemilu DPD hanya sebatas rekomendasi kepada DPR. Namanya juga rekomendasi, sifatnya tentu boleh ditindaklanjuti, boleh juga tidak.
Kewenangan DPD yang terbatas tidak hanya memasung fungsi pengawasan. Kontribusi DPD pada program legislasi nasional (prolegnas) juga terkendala hal yang sama. Padahal, tidak sedikit RUU telah digodok dan diusulkan DPD. Sebutlah RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, RUU tentang Daerah kepulauan, RUU tentang Ekonomi Kreatif, RUU tentang Wawasan Nusantara dan beberapa RUU lainnya.
Agak lucu memang. Di satu sisi DPD berwenang mengajukan, memberikan pertimbangan, dan ikut membahas RUU bersama DPR, tetapi di sisi lain DPD tidak diberi kewenangan untuk ikut memutuskan. Kewenangan memutuskan sepenuhnya di tangan DPR.
Itulah sebabnya kerapkali terdengar istilah miring tentang DPD. Misalnya DPD hanya sebagai subordinat DPR, DPD hanya etalase politik, atau DPD sebagai anak tiri Senayan. Pendapat ini muncul sebagai cara publik mempersepsikan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita.
DPD tentu tidak diam. Selama ini telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan kewenangan yang ada. Berbagai ruang untuk mewujudkan penguatan DPD ditempuh. Selain mencoba mengegolkan perubahan UUD 1945, dalam beberapa kesempatan, DPD juga melakukan terobosan-terobosan.
Dua kali DPD mengajukan gugatan terhadap UU MD3 ke MK, dua kali pula MK memihak DPD, menguatkan kewenangan DPD. Gugatan itu masing-masing dalam perkara nomor 92/PUU-X/2002 dan 79/PUU/XII/2014. Sayangnya, putusan MK belum sepenuhnya diakomodir dalam UU MD3.
Tidak hanya MK. Organisasi masyarakat sipil, akademisi dan tentu saja para kepala daerah mendukung penguatan DPD. Ini adalah celah harapan. Konstitusi menegaskan bahwa DPD adalah lembaga tinggi negara di bidang legislatif. Namun keterbatasan kewenangannya membuat lembaga ini seringkali bergerak di luar ranah legislatif layaknya organisasi masyarakat sipil.
Kecendrungan itu bisa kita lihat dalam beberapa pernyataan sikap DPD. Sebut saja pernyataan sikap DPD RI terkait RUU Ibu kota Negara. Namun realitas itu harus kita terima dan maklumi sebagai sikap tegas DPD berdiri bersama rakyat. Menjadi penyambung aspirasi denyut kehidupan rakyat. Agar mekanisme kontrol terhadap pemerintah dan produktivitas legislasi dilakukan berdasar dua kamar yang seimbang, yakni DPR sebagai representasi politik (political representation) dan DPD sebagai representasi teritorial (regional representation).
Namun toh akhirnya terbukti, masyarakat memberikan kepercayaan yang lebih tinggi kepada DPD dibanding lembaga politik yang lain. Bahkan, DPD menjadi lembaga negara dengan kenaikan tingkat kepercayaan dari masyarakat yang tertinggi dalam periode lima tahun terakhir. Maka lebih dari separuh wajah-wajah baru yang akan mengisi kursi senator pada periode 2024-2029, kita maknai sebagai harapan yang lebih tinggi dari masyarakat agar DPD meningkatkan kiprahnya. Ini adalah momentum yang baik untuk meraih kepercayaan yang lebih tinggi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, DPD butuh nahkodah-nahkodah andal. Selain mampu mengorkestrasi potensi lembaga, juga piawai membangun komunikasi lintas institusi. Karena peran yang diemban DPD bertalian dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Baik dalam spektrum pengawasan, maupun kemitraan strategis untuk mengawal aspirasi rakyat dan daerah.
Eksistensi DPD ke depan, tidak hanya mengangkat muruah lembaga ini. Namun juga memulihkan dan meningkatkan kepercayaan rakyat kepada lembaga legislatif secara keseluruhan. Selama ini masyarakat berharap banyak agar parlemen menjalankan fungsi-fungsinya untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat.
Penulis, Anggota DPD RI