Catatan Ilham Bintang
Sampai sekarang, wartawan memang masih satu dari hanya empat profesi yang diakui publik. Penghargaan itu tentu terkait peran para wartawan pendahulu yang dalam sejarah Indonesia, boleh dibilang memang banyak hal. Tidak hanya jadi pelapor (reporter). Tapi mereka umumnya seniman, sastrawan, dramawan, politikus, dan tokoh pergerakan nasional yang ikut mendirikan republik ini. Dalam sejarah perfilman nasional, Saeroen (1920an–1962) adalah jurnalis dan penulis pertama yang menulis cerita dan skenario film Indonesia. Pada pertengahan tahun 1930-an Saeroen mendirikan koran harian Pemandangan dengan Raden Haji Djunaedi dan menulis editorial dengan nama Kampret. Ketika koran tersebut dibubarkan dia masuk ke industri perfilman dan memulai debutnya dengan menulis cerita dan skenario film “Terang Boelan” ( 1937) yang diproduksi Albert Balink.
Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, juga seorang wartawan, Ketua Umum PWI, yang sangat dhormati. Di dunia pers dan politik tercatat dalam tinta emas nama-nama harum seperti Haji Agus Salim, Adam Malik, BM Diah, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Manai Sophiaan, untuk menyebut beberapa nama.
Asro Kamal Rokan tampaknya mendapat “titisan” itu. Sebagai wartawan dia sudah pernah sampai di puncak karir dengan menjadi pemimpin redaksi Harian Republika dan Direktur Utama Kantor Berita Antara. Dalam usia tak bisa dibilang muda ia tetap berkarya mengekspresikan kegelisahannya sebagai wartawan sastrawan. Ketika mengawali karier sebagai wartawan, Asro memang bekerja di Harian “Merdeka” milik BM Diah” yang kerap dijuluki “kawah candradimuka” wartawan Indonesia.Kenyang lah dia ditempa di situ. Buku terbarunya “Granada, menangislah” sebagian merangkum pengalaman dia berkeliling dunia dan pandangannya sebagai wartawan merespons banyak hal.
Saat menyusuri Spanyol, menyusuri sejarah Andalusia, dia keber habis sejarah kejayaan Islam selama 7 abad di Eropa. Dan, menutup kisah itu dengan lirih. ” Setelah berkeliling di Istana Alhambra, monumen terakhir kejayaan pemerintah Islam selama 781 tahun yang berakhir tragis, diikuti kekejaman dan intoleransi– saya meninggalkan Granada dengan perasaan sangat pilu. Puncak Gunung Siera Nevada ditutupi salju. Dingin dan beku. Di perjalanan pulang menuju Madrid, terngiang kata-kata Aisyah, ibu Sultan terakhir Granada : menangislah terhadap apa yang tidak bisa kau pertahankan selayaknya lelaki. Dan, pengusiran, penyesalan, keterasingan, penghinaan terjadi karena keserakahan dan hasrat manusia pada kekuasaan yang tidak terbendung. Harga diri dan akal sehat telah hilang, merugi hingga kini,” tulisnya.
Pesan itu kuat sekali menghunjam kalbu. Buku “Granada” yang diluncurkan bulan lalu, diterbitkan oleh PT Rajagrafindo, berisi 32 tulisan Asro tentang nama dan peristiwa dalam sejarah masa lampau dan kini. Dengan pelbagai problema sosial politik, ekonomi dan hankamrata di Eropah, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Semua menarik dan perlu dibaca. Teknik penulisan Asro mengagumkan ketika
mendeskripsikan kota -kota dunia yang dikunjungi. Asro kelahiran 24 Desember 1960. Sejak remaja, sudah menuliskan puisi, cerita pendek, dan esai di berbagai surat kabar terbitan Medan, Sumatera Utara. Asro juga menulis naskah drama dan menyutradarai untuk stasiun TVRI Medan. Pantas nafasnya panjang, tidak bergantung penugasan atau ” baju dinas” — hanya saat bekerja di media resmi dan terima gaji teratur — baru berkarya.
Dalam buku itu saya menangkap juga ikhtiarnya, mengedukasi publik dan khususnya kalangan jurnalis agar tidak hanya berlaku turis. Hanya menyentuh permukaan suatu masalah. Hanya mengupload di media sosial foto-foto penanda zaman di negara mana saja mereka berada. ” Tulislah tentang itu” kira-kira begitu pesannya. Setuju?