Kolom Fiam Mustamin
MENGEJUTKAN … mendapatkan kiriman nasu-nasu ogi/menu masakan Bugis dari pasangan suami isteri Amiruddin dan Darmawati Kalibata 15 Ramadhan 1442 H untuk buka puasa.
Sepertinya adinda berdua ini tau apabila saya selalu merindukan kehadiran menu khas daerah kampung halaman di bulan puasa Ramadhan ini.
Menu yang terkiirim via ojek itu masih hangat, terdiri dari nasi beras merah yang harum dan pulen yang biasa ditanam di perkebunan tebing gunung/ase dare namanya.
Ada ikan sayur bandeng/nasu bale bolu,
goreng kluwek/bette kaluak dan pisang ijo yang sudah populer di masyarakat Jakarta sebagai menu pembuka puasa.
Meskipun tidak bermacam-macam itemnya, menu yang ada itu kami sangat menikmati dan melahapnya sekeluarga.
Tak lupa kami berbagi kabar gembira ini kepada adik-adik yang juga suka berbagi kegembiraan bila mendapatkan rezeki, yaitu kepada Syamsul Zakaria, Ketua KKSS Jakarta di Kebayoran Lama, Alif we Onggang dan Ruslan Ismail Mage di Depok dan Aprial di perumahan AU Halim Perdanakusumah.
Dengan santapan menu itu, saya melayangkan ingatan kepada senior KKSS yang suka menjamu menu khas itu di bulan puasa, antara lain keluarga Muh Jafar Hapsah, Andi Hasan Walinono, Anwar Hafid, Muhammad Taha dan Andi Jamaro Dulung untuk keluarga besar KKSS serta H.Yudi Haming dan H. Amir Hamzah untuk Arisan Keluarga Soppeng.
Lalu generasi pelanjutnya ada keluarga H. Amirruddin AL di Kalibata dan Hj Hasnah di Tebet.
Mereka mempersiapkan menu buka puasa itu dengan memesan atau datang sendiri ke Soppeng membawa menu yang diperlukan bersama dengan kerabat keluarga juru masaknya.
Tak ubahnya seperti sebuah persiapan hajatan perjamuan perkawinan keluarga.
Dari fenomena silaturahmi buka puasa itu, kita dapat menangkap nuansa perlakuan ketulusan beribadah untuk berbuat kebaikan dengan memberi makan kepada yang berpuasa, semata karena ibadah dan mohon ridho Allah SWT yang dilipat gandakan pahalanya di bukan suci ramadhan.
Kebiasaan dengan asupan menu dari kecil di kampung itu yang tidak begitu mudah ditinggalkan dan tergantikan dengan menu lain, dan hal ini menjadi pengikat kultural seseorang dengan jati dirinya dari mana ia berasal.
Sama halnya dengan penggunaan bahasa daerah yang lebih merekatkan ikatan silahturahmi emosional. Dimulai dari ikatan emosional kultural kedaerahan inilah yang membentuk dan memperkokoh ikatan nasionalisme kebangsaan sebuah bangsa.
Jangan ditafsir sempit sebagai sikap kedaerahan, karena kita semua ini berasal dari daerah, dari daerah wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan.
Beranda Inspirasi Ciliwung 27 April 2021