Nobel Perdamaian yang Berlumuran Darah

0
98
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Barat sejak lama hidup dari standar ganda dan ukuran nilai yang diciptakannya sendiri. Ia menakar moral di luar otoritasnya: menentukan siapa yang layak disebut baik-jahat, siapa yang demokratis dan otoriter, siapa hero siapa teroris. Bahkan, dalam perkara sepele seperti definisi keindahan, Barat mengatur selera dunia dengan keangkuhan kultural yang memuakkan. Perempuan cantik buat orang Indonesia adalah berambut mayang terurai dan berkulit sawo matang. Sebaiknya Barat mematok wanita cantik itu yang berambut pirang, bermata biru dan kulitnya putih.

Barat memonopoli kebenaran.

Cendekiawan Palestina, Edward Said, telah lama mencium bau busuk ini. Dalam mahakaryanya Orientalism, ia membongkar bagaimana Barat membangun citra dunia Timur dengan kacamata kekuasaan yang penuh bias. Lantaran itu Said menganggap Nobel kerap dijadikan alat legitimasi Barat.

Kini, pola lama itu terulang lagi, lebih telanjang dari sebelumnya.
Nobel Perdamaian 2025 jatuh ke tangan Maria Corina Machado, politisi asal Venezuela. Namun di balik sorotan kamera dan pidato diplomatik yang manis, tersembunyi aroma politik yang amis. Kategori Perdamaian dalam Nobel tak jarang menjadi ladang kontroversi, karena ia kerap diukur bukan oleh nilai-nilai humanisme, melainkan oleh kepentingan geopolitik.

Maria diganjar penghargaan atas “perjuangan menegakkan demokrasi” di negerinya. Namun rekam jejaknya menunjukkan sesuatu yang jauh dari nilai perdamaian. Ia dikenal dekat dengan kelompok sayap kanan ekstrem di Eropa, tokoh-tokoh seperti Geert Wilders dan Marine Le Pen, dua figur yang secara terang-terangan memusuhi Islam. Dukungan diam-diamnya terhadap genosida di Palestina semakin menyingkap wajah aslinya: pembela “demokrasi” yang berpihak pada penindasan.

Maria tak mungkin tak tahu: lebih dari 67.000 jiwa rakyat Palestina telah gugur di Gaza akibat agresi brutal Zionis. Namun suaranya bungkam dan diamnya adalah legitimasi berdarah.

Tak heran, Council on American-Islamic Relations (CAIR) mengecam keras pemberian Nobel tersebut dan menyebutnya sebagai penghargaan yang berbau rasis.
Nobelnya “berlumuran darah”.

Bagaimana mungkin seorang yang menutup mata atas pembantaian anak-anak dan perempuan tak berdosa disebut pejuang perdamaian?

Ironi itu makin pekat ketika kita menoleh pada tim juri Nobel yang sebagian besar berasal dari Swedia; negeri yang kini dihantui gelombang Islamofobia. Di sana, beberapa kali pembakaran Al-Qur’an dan telah menjadi tontonan atas nama “kebebasan berekspresi”. Sementara darah di Gaza masih mengalir, mereka membagi piala emas dan senyum menyeringai seperti drakula mengisap darah.

Kemunafikan moral itu bahkan merembes ke ranah budaya. Pendiri Spotify, Daniel Ek, yang juga bermarkas di Swedia, diketahui menanamkan investasi di perusahaan Helsing, penyedia teknologi pertahanan yang diduga terlibat dalam operasi militer Israel di Gaza.

Akibatnya, banyak musisi dunia, termasuk dari Indonesia menarik karyanya dari Spotify sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Musik yang seharusnya menjadi bahasa kemanusiaan, kini tercoreng oleh aroma bisnis perang.

Lalu apa arti Nobel Perdamaian hari ini?

Apakah ia masih membawa semangat Alfred Nobel: penemu dinamit yang menyesali temuannya dan berikrar menebusnya dengan penghargaan bagi pejuang damai? Ataukah Nobel kini telah menjadi panggung propaganda Barat, yang memutihkan darah dengan diplomasi?

Swedia yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kebebasan dan netralitas, kini perlahan menjelma menjadi pusat hipokrisi moral global — negeri yang dengan bangga membela kebebasan menghina, tapi membungkam kebenaran kemanusiaan.

Tak heran, sejumlah tokoh dan lembaga dunia menolak Nobel, menilai penghargaan itu telah kehilangan makna, menjadi alat ideologi yang kian jauh dari nurani. Dan pada akhirnya, kita hanya bisa bertanya masih pantaskah Nobel disebut simbol perdamaian manakala kilau emasnya memantulkan darah anak-anak Gaza?

Dalam konteks moral dan etis, sebaiknya Maria mengembalikan Nobel. Seperti Lê Đức Thọ, humanis dari Vietnam dengan alasan Nobel yang dianugerahkan bersama Henry Kissinger atas perjanjian damai Vietnam, karena perang masih berlangsung dan rakyatnya masih menderita.

Tak jauh berbeda dengan Aung San Suu Kyi — peraih Nobel ini didesak mengembalikan hadiahnya sebab saat menjadi pemimpin pemerintahan, ia bungkam terhadap genosida Rohingya yang nota bene adalah warga Muslim.

Kontroversi tidak berhenti di situ. Tak sedikit seniman yang menampik penghargaan ini dengan alasan moral dan politis. Penulis Perancis Jean-Paul Sartre menolak Nobel Sastra dan menyebut Nobel Perdamaian sebagai alat moral kolonialis yang lembut. Senada, Arundhati Roy menampik pencalonannya dan menyebut Nobel sebagai institusi yang memilih pemenang sesuai dengan geopolitik Barat.

Pejuang perdamaian yang ikonis Mahatma Gandhi, meski tidak pernah menerima Nobel padahal dinominasikan lima kali — setelah kematiannya, banyak pihak menilai ketidakterpilihan Gandhi adalah cacat moral terbesar Komite Nobel.

Ironisnya, kemudian beberapa penerima Nobel mengaku merasa tak layak karena Gandhi tak pernah mendapatkannya.

Jadi, Maria sudilah Anda mengembalikan Nobel Prize kepada yang berhak!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here