Obituari Prof. K.H. Ali Yafie: Ulama Peneduh Umat Dari Timur

0
488
- Advertisement -

Kolom M. Fuad Nasar

Pada hari Sabtu 25 Februari 2023 bertepatan dengan 5 Syaban 1444 H, pukul 22.13 WIB, Anregutta Prof. K.H. Ali Yafie telah berpulang ke rahmatullah di RS Premier Bintaro Tangerang Selatan dalam usia 96 tahun. K.H. Muhammad Ali Yafie, disingkat K.H. Ali Yafie, orang-orang terdekat memanggilnya Puang Ali lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah pada 1 September 1926, dari keturunan ulama. Lahir di Sulawesi Tengah dan besar di Sulawesi Selatan. Beliau adalah ulama besar dari Timur (Sulawesi) yang berjasa untuk Indonesia. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla yang datang melayat di kediaman almarhum mengenang sosok K.H. Ali Yafie sebagai seorang ahli tafsir yang rendah hati, saat berbicara suaranya pelan dan halus.

Sebagai seorang ulama yang pernah memimpin MUI, almarhum adalah sosok teladan seorang ulama panutan. Pengalaman hidup K.H. Ali Yafie menorehkan catatan pengabdian keumatan, kemasyarakatan dan kenegaraan sepanjang hayat almarhum. Ulama karismatik yang teguh memegang prinsip hidup dan memiliki integritas pribadi itu disegani oleh semua kalangan dan diterima oleh semua golongan umat Islam, tidak hanya di kalangan organisasi Darud Dakwah Wal-Irsyad dan Nahdlatul Ulama.

Hemat saya K.H. Ali Yafie merupakan figur ideal seorang tokoh Islam dan pemimpin umat yang tidak ingin umat Islam terkotak-kotak. Pengabdian keulamaan K.H. Ali Yafie di tingkat nasional antara lain sebagai Anggota Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 1985 dan diangkat menjadi Ketua Umum MUI mulai 11 Februari 1999, menggantikan almarhum K.H. Hasan Basri (Ketua Umum MUI periode tahun 1984 1998).

Pengukuhan K.H. Ali Yafie sebagai Ketua Umum MUI oleh Menteri Agama Prof. H.A. Malik Fadjar bersamaan dengan pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI). Pengabdiannya di MUI Pusat berlangsung hingga mengundurkan diri dari Ketua Umum MUI pada tahun 2000. K.H. Ali Yafie mengemban amanah Ketua Umum MUI di tengah perubahan politik nasional dan pemerintahan di awal reformasi setelah berakhirnya rezim Orde Baru. Ia secara konsisten menjaga marwah dan independensi MUI, melanjutkan amanah yang diemban tiga pucuk pimpinan MUI terdahulu yakni Buya Prof. Dr. Hamka, K.H. Sjukri Ghozali dan K.H. Hasan Basri.

- Advertisement -

Dalam wawancara Harian Umum Kompas 31 Januari 1999, beliau menggaris-bawahi peranan MUI sebagai lembaga pengemban amanah umat sebagai berikut, “MUI adalah pelayan umat. MUI harus melayani semuanya. MUI tidak bisa hanya melayani pemerintah saja, atau rakyat saja. Keduanya adalah umat yang harus dilayani. Mengatakan benar kalau pemerintah benar, dan salah kalau pemerintah salah. Begitu juga terhadap yang lain.” Dalam mengeluarkan fatwa atau kebijakan, para ulama MUI bersikap netral dan tidak berpihak ke manapun, karena timbangannya Al-Quran dan Hadis. imbuhnya.

Ulama kata K.H. Ali Yafie mengemban dua amanah. Pertama, tabligh dakwatil Islam (menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat). Kedua, tarbiyatul umat ala akhlaqul karimah (mendidik dan membina masyarakat ke arah perilaku yang mulia). Nah, kita sekarang ini melihat tidak adanya keseimbangan, lebih banyak tablighnya daripada pembinaannya, sehingga umatnya nggak beres-beres kan. ungkapnya.

Sebelum berkhidmat di Majelis Ulama Indonesia, K.H. Ali Yafie sejak muda aktif di organisasi dakwah, pendidikan dan usaha sosial Darud Dawah Wal-Irsyad (DDI) di Mangkoso Sulawesi Selatan, sebagai sekretaris mendampingi Anregurutta K.H. Abd Rahman Ambo Dalle. K.H. Ali Yafie pernah menjadi Sekjen dan Ketua Umum DDI.

Sejak tahun 1950-an K.H. Ali Yafie menyalurkan aspirasi politiknya ke partai politik Nahdlatul Ulama (NU), tanpa meninggalkan aktivitasnya di DDI sebagai guru dan pembina pesantren. Ia menjadi penasihat NU di Sulawesi Selatan. Setelah pindah ke Jakarta karena menjadi Anggota DPR-RI, ia aktif di lingkungan Pengurus Besar NU. Pada tahun 1984 terpilih sebagai Wakil Rais Aam PBNU mendampingi K.H. Achmad Siddiq (periode 1984 1991) dan diangkat menjadi Rais Aam PBNU. Pada bulan November 1991 mengundurkan diri dari PBNU.

K.H. Ali Yafie pernah mengabdi di lingkungan Kementerian Agama sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Makassar, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar (1959 1962) dan mengepalai Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur (1962 1966). Selain itu mengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang Cabang Jakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin (1966 1971) yang pertama.

Pengabdiannya di dunia pendidikan mengantarkan K.H. Ali Yafie menjadi Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, Guru Besar Kajian Islam Terpadu (Dirasah Islamiyah) Universitas Islam Asy-Syafiiyah (UIA) Jakarta serta Rektor IIQ Jakarta. Kendati bukan produk lembaga pendidikan tinggi, tapi pengembaraan ilmu dan wawasan pemikirannya dapat disejajarkan dengan cendekiawan keluaran universitas.

Semasa berkiprah di daerah K.H. Ali Yafie pernah menjadi Anggota DPRD Parepare mewakili Partai NU, Anggota DPRD Tingkat I wilayah Sulawesi Selatan Tenggara, Anggota DPR-GR Tingkat I, dan selanjutnya menjadi Anggota DPR-RI mewakili Partai NU sampai mengalami fusi menjadi PPP setelah Pemilu 1971. Ia bukan politisi secara tiba-tiba, melainkan berproses dari bawah. K.H. Ali Yafie menjadi Anggota DPR-RI hingga tahun 1987.

Di satu kesempatan silaturahmi di kediamannya, beliau menuturkan pengalaman hidupnya, Saya belajar di universitas rakyat di Senayan selama 15 tahun. Saya tahu politik, tapi tidak berpolitik. Ia menyayangkan kini banyak politisi tapi sedikit negarawan. Dalam kesaksian para sahabatnya sewaktu berkiprah sebagai politisi di lembaga legislatif K.H. Ali Yafie lebih menampakkan diri sebagai seorang ulama sejati, ulama yang tetap setia dengan nilai-nilai keulamaan. Melayani umat berarti kita melayani sebagian besar rakyat Indonesia. Pelayanan yang utama adalah bimbingan keagamaan yang intinya menunjukkan jalan yang benar kepada setiap orang. Mendorong mereka berbuat baik, berupaya mencegah jangan menyimpang, jangan berbuat yang tidak benar. Itulah garis besarnya.

Kata K.H. Ali Yafie kepada wartawan Harian Umum Republika, Februari 1999 sebagaimana dimuat dalam buku Jati Diri Tempaan Fiqih (2001) Sudut pandang dan cara berpikir K.H. Ali Yafie melintasi sekat-sekat organisasi. Ia mendorong antar-organisasi Islam saling mengenal satu dengan yang lain sebagai basis dalam membina persatuan umat. Jangan sampai satu organisasi tidak mengenal organisasi lain. Dengan saling mengenal itu bisa saling menghargai. Kalau sudah saling menghargai tidak akan saling menjegal. ujarnya.

Dalam acara Tasyakuran 33 Tahun Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan peletakan batu pertama pembangunan gedung dakwah dan Universitas Islam Mohammad Natsir tanggal 26 Februari 2000, K.H. Ali Yafie hadir dan memberikan taushiyah. Saya juga mendapat undangan menghadiri acara tersebut dan menyimak pidato beliau. Saat ini orang berlomba membangun tower (menara) yang tinggi-tinggi, tetapi sejauh itu tidak pernah membangun menara dakwah dan menara ulama. Mana tower dakwah dan mana tower ulama, ungkapnya seraya menyambut gembira pembangunan gedung dakwah di Kompleks DDII, Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.

Lebih jauh diungkapkannya, Ada empat permasalahan berat yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia, yakni perpecahan bangsa, membengkaknya pengungsi di sejumlah daerah, membengkaknya pengangguran dan membengkaknya kejahatan. Empat masalah ini, menyadarkan umat Islam untuk tetap bersatu bersama-sama dan berjamaah. Pandangan K.H. Ali Yafie seputar fiqih dan problema kemasyarakatan terangkum dalam buku K.H. Ali Yafie Jati Diri Tempaan Fiqih. Buku lainnya, Fiqih Perdagangan Bebas, Teologi Sosial, Beragama Secara Praktis, dan Mengaji Bareng Prof. K.H. Ali Yafie.

Menurut beliau, format fiqih yang bicara soal spiritual itu hanya seperempat. Tiga perempatnya, menyangkut soal kehidupan kemasyarakatan kurang dikembangkan. K.H. Ali Yafie tidak setuju dengan anggapan sebagian kalangan yang menyalahkan fiqih sebagai penyebab keretakan di kalangan umat Islam. Menurutnya, anggapan semacam itu tidak beralasan. Kalau dipelajari secara sistematis dan luas, justru fiqih itu merupakan salah satu ilmu keislaman yang sangat toleran, ramah dan penuh pertimbangan matang. Fiqih tidak lagi hanya digunakan sebagai sarana untuk melarang-larang ini haram, itu halal atau memukul sekelompok orang yang memiliki mazhab yang berbeda. Fiqih pun telah melanglang buana mengunjungi persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan.

Pada kesempatan lain, K.H. Ali Yafie menegaskan bahwa fiqih mengambil peranan penting dalam kehidupan bernegara. Fiqih membentuk dan memberi kesadaran berpikir kepada umat Islam yaitu kesadaran normatif, di mana hal itu sangat mendukung gagasan kehadiran negara hukum di Indonesia.

Sekitar awal dekade 1990-an K.H. Ali Yafie menggagas wacana Fiqih Sosial yang menjangkau berbagai persoalan umat masa kini, seperti asuransi, perbankan, perdagangan, lingkungan hidup, kesehatan, dan sebagainya. Perspektif yang dihadirkannya adalah fiqih bukan hanya mengurusi soal ibadah, tetapi juga memberikan pedoman-pedoman pemecahan masalah sosial-kemasyarakatan kekinian.

Buku K.H. Ali Yafie berjudul Menggagas Fiqih Sosial dengan kata pengantar K.H. Ahmad Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menghimpun makalah dan artikel beliau selama beberapa dekade. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi OKI (Organisasi Kerjasama Islam, dahulu Organisasi Konferensi Islam) ke-VI di Senegal (1991), K.H. Ali Yafie ditunjuk sebagai anggota Delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Di forum KTT OKI yang bersejarah itu, dunia internasional mengapresiasi Gerakan Keluarga Berencana (Family Planning) yang dilaksanakan di Indonesia.

Setelah Dr. K.H. Idham Chalid dan H.S.M. Nasaruddin Latif di era 1960-an, mungkin K.H. Ali Yafie, ulama yang menonjol perannya mendukung gerakan Keluarga Berencana khususnya dari sisi keagamaan pasca-era 1970-an. Tokoh Islam yang tercatat sebagai Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) itu satu ketika mengungkapkan; kalau kita bicara agama, dalam hal ini Islam, tentu tidak bisa lain kita harus kembali ke sumber utama, yakni Al-Quran, agar orang tidak berselisih. Ini sama halnya kalau kita bicara soal negara, kita harus kembali kepada UUD 1945. Di Indonesia ini sejak awal agama telah diletakkan sebagai bagian dari konstitusi negara. Negara kita bukan negara sekuler.

Dalam dinamika politik nasional menuju gerbang reformasi, K.H. Ali Yafie satu di antara 9 tokoh Islam yang hadir memenuhi undangan pertemuan dengan Presiden Soeharto di Istana Negara tanggal 19 Mei 1998. Ketika itu K.H. Ali Yafie mengambil kesempatan berbicara. Tuntutan mahasiswa tentang reformasi itu maksudnya ialah Pak Harto turun. ucapnya. Salah satu akhlak terpuji K.H. Ali Yafie, tidak pernah menyebut kejelekan orang lain, siapa pun, baik di depan maupun di belakangnya. Begitu pula ketika menyampaikan kritik, yang dikritik adalah keadaan, bukan menyerang pribadi orang.

Saya mendengar langsung cerita dari K.H. Ali Yafie tentang etiket Presiden Soeharto ketika menerima tamu, duduk sopan dan tertib. Kakinya tidak pernah disilangkan dan kalau berbicara mulutnya saja, tangannya tidak ikut berbicara, artinya tangan tidak ikut bergerak. Pelajaran yang saya dapatkan dari K.H. Ali Yafie, bahwa yang dikenang tentang pemimpin yang telah tiada dan siapa pun adalah kebaikannya.

Dalam salah satu artikel K.H. Ali Yafie menulis, “Peran pemimpin dalam menanggulangi krisis bangsa, dimana upaya penanggulangan krisis moral yang disadari menjadi pangkal krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara kita dewasa ini, harus bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin, pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat. Mereka diharapkan mampu mengembangkan dalam kehidupan pribadinya masing-masing, pola hidup bersih, sederhana dan mengabdi.” H. Sudarsono Prodjokusumo, mantan Sekretaris Umum MUI dan tokoh Muhammadiyah menyebut K.H. Ali Yafie Ulama Moderat dengan Pendirian Tegas dalam buku 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Wacana Baru Fiqih Sosial (1997). .

Menurut H.S. Prodjokusumo K.H. Ali Yafie bukanlah seorang politisi, melainkan ulama yang jujur, konsekuen dan teguh pendirian. Ada tiga hal yang sangat menarik dari kepribadian beliau. Pertama, kehati-hatian dalam berbicara dan tidak pernah emosional. Beliau tidak banyak berbicara kecuali menyangkut hal yang benar-benar perlu. Dalam seminar, misalnya, beliau selalu tampil dengan makalah yang sudah dikonsep secara matang. Kedua, beliau orang yang tawadhu dan konsekuen antara ucapan dan amalan, tidak berbicara tentang suatu hal yang tidak pernah beliau laksanakan. Ketiga, beliau adalah orang yang akomodatif, untuk hal yang tidak prinsip, beliau bisa menerima. Tetapi untuk sesuatu yang sifatnya sangat prinsipil, beliau tetap konsekuen. Semangat mempersatukan umat tercermin dari lingkaran pergaulan beliau yang luas maupun dari tulisan dan pernyataannya yang teduh dan menyejukkan.

Saya mencatat pesan K.H. Ali Yafie, ada satu kaidah pergaulan yaitu setiap manusia harus tahu diri, tahu membawa diri dan tahu menempatkan diri. Keikhlasan adalah puncak segala sesuatu. Saya mengenal K.H. Ali Yafie dari dekat sejak dekade 90-an di Jakarta. Dalam relasi sosial beliau tidak pernah memilah-milah orang, senior ataupun yunior, tidak pernah menolak tamu meski dalam kondisi kesehatannya yang uzhur karena faktor usia. Ia adalah sosok panutan yang sangat menghargai silaturahmi tanpa memandang perbedaan organisasi atau golongan, tetapi merangkul semua kalangan. Satu ketika saya diberi hadiah buku Jati Diri Tempaan Fiqih yang diterbitkan dalam rangka 75 tahun usia beliau.

Menteri Agama periode 1993 – 1998 almarhum Dr. H. Tarmizi Taher yang telah meninggalkan kita 10 tahun lalu menggambarkan bahwa Prof. K.H. Ali Yafie adalah ulama yang lembut tutur katanya, mendalam isi pembicaraannya dan membawa keteduhan bagi lingkungannya. Beliau perlu diteladani oleh para ulama cendekiawan, baik generasi seangkatan maupun di bawah beliau, terutama dalam sikap tawadhu dan akhlak mulia, di samping pemikiran beliau yang berusaha membumikan Islam di tanah air.

Dalam obituari ini saya mengutip pesan K.H. Ali Yafie yang saya dengar langsung dari beliau mengenai Al-Quran dan umat Islam: Syariat Islam yang pertama ialah membaca. Bahkan di akhirat nanti kita disuruh membaca kitab amal masing-masing. Al-Quran adalah bacaan wajib bagi setiap orang Islam yang telah dewasa dan mukallaf. Minimal Al-Quran dibaca di dalam shalat. Tetapi alangkah baiknya bila kita mendisiplinkan diri membaca Al-Quran minimal 10 ayat setiap hari, seperti yang dilakukan oleh para sahabat nabi dan tabiin. Membaca Al-Quran haruslah kita jadikan sebagai pendidikan pertama bagi anak-anak dalam setiap keluarga muslim. Anak yang shaleh adalah anak yang menjadi penyejuk pandangan orangtuanya dan menjadi kebanggaan keluarga. Al-Quran merupakan sumber ilmu, sumber akhlak dan sumber kehidupan dalam keimanan bagi seorang muslim. Kewajiban seorang muslim terhadap Al-Quran tidak hanya sebatas membaca, tapi harus memahami arti dan maknanya,” ujar beliau.

Mengenai dakwah dan tantangan kontemporer K.H. Ali Yafie berpesan, Dakwahkan Islam apa adanya, bukan mengada-ada. Jangan membolak-balikkan Islam dengan istilah yang macam-macam. Menurutnya, salah satu tugas pemimpin umat di masa kini adalah membuat umat Islam jadi umat yang diperhitungkan, bukan hanya umat yang dihitung, serta menegakkan persatuan umat. “Kita tidak cukup hanya memahami sejarah, tidak cukup hanya tahu sejarah atau membaca sejarah, tapi belajar dari sejarah.”  ungkapnya. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya kepada allahu yarham ulama kita yang tercinta K.H. Ali Yafie. Selamat jalan Pak Kiai. Terima kasih telah memperkaya pengalaman hidup kami dalam mengenal ulama dan memahami khazanah keislaman.

Dalam acara Tasyakuran 33 Tahun Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan peletakan batu pertama pembangunan gedung dakwah dan Universitas Islam Mohammad Natsir tanggal 26 Februari 2000, K.H. Ali Yafie hadir dan memberikan taushiyah. Saya juga mendapat undangan menghadiri acara tersebut dan menyimak pidato beliau. Saat ini orang berlomba membangun tower (menara) yang tinggi-tinggi, tetapi sejauh itu tidak pernah membangun menara dakwah dan menara ulama. Mana tower dakwah dan mana tower ulama, ungkapnya seraya menyambut gembira pembangunan gedung dakwah di Kompleks DDII, Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.

Lebih jauh diungkapkannya, Ada empat permasalahan berat yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia, yakni perpecahan bangsa, membengkaknya pengungsi di sejumlah daerah, membengkaknya pengangguran dan membengkaknya kejahatan. Empat masalah ini, menyadarkan umat Islam untuk tetap bersatu bersama-sama dan berjamaah.

Pandangan K.H. Ali Yafie seputar fiqih dan problema kemasyarakatan terangkum dalam buku K.H. Ali Yafie Jati Diri Tempaan Fiqih. Buku lainnya, Fiqih Perdagangan Bebas, Teologi Sosial, Beragama Secara Praktis, dan Mengaji Bareng Prof. K.H. Ali Yafie. Menurut beliau, format fiqih yang bicara soal spiritual itu hanya seperempat. Tiga perempatnya, menyangkut soal kehidupan kemasyarakatan kurang dikembangkan.

K.H. Ali Yafie tidak setuju dengan anggapan sebagian kalangan yang menyalahkan fiqih sebagai penyebab keretakan di kalangan umat Islam. Menurutnya, anggapan semacam itu tidak beralasan. Kalau dipelajari secara sistematis dan luas, justru fiqih itu merupakan salah satu ilmu keislaman yang sangat toleran, ramah dan penuh pertimbangan matang. Fiqih tidak lagi hanya digunakan sebagai sarana untuk melarang-larang ini haram, itu halal atau memukul sekelompok orang yang memiliki mazhab yang berbeda. Fiqih pun telah melanglang buana mengunjungi persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan.

Pada kesempatan lain, K.H. Ali Yafie menegaskan bahwa fiqih mengambil peranan penting dalam kehidupan bernegara. Fiqih membentuk dan memberi kesadaran berpikir kepada umat Islam yaitu kesadaran normatif, di mana hal itu sangat mendukung gagasan kehadiran negara hukum di Indonesia.
Sekitar awal dekade 1990-an K.H. Ali Yafie menggagas wacana Fiqih Sosial yang menjangkau berbagai persoalan umat masa kini, seperti asuransi, perbankan, perdagangan, lingkungan hidup, kesehatan, dan sebagainya. Perspektif yang dihadirkannya adalah fiqih bukan hanya mengurusi soal ibadah, tetapi juga memberikan pedoman-pedoman pemecahan masalah sosial-kemasyarakatan kekinian. Buku K.H. Ali Yafie berjudul Menggagas Fiqih Sosial dengan kata pengantar K.H. Ahmad Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menghimpun makalah dan artikel beliau selama beberapa dekade.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi OKI (Organisasi Kerjasama Islam, dahulu Organisasi Konferensi Islam) ke-VI di Senegal (1991), K.H. Ali Yafie ditunjuk sebagai anggota Delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Di forum KTT OKI yang bersejarah itu, dunia internasional mengapresiasi Gerakan Keluarga Berencana (Family Planning) yang dilaksanakan di Indonesia. Setelah Dr. K.H. Idham Chalid dan H.S.M. Nasaruddin Latif di era 1960-an, mungkin K.H. Ali Yafie, ulama yang menonjol perannya mendukung gerakan Keluarga Berencana khususnya dari sisi keagamaan pasca-era 1970-an.

Tokoh Islam yang tercatat sebagai Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) itu satu ketika mengungkapkan; kalau kita bicara agama, dalam hal ini Islam, tentu tidak bisa lain kita harus kembali ke sumber utama, yakni Al-Quran, agar orang tidak berselisih. Ini sama halnya kalau kita bicara soal negara, kita harus kembali kepada UUD 1945. Di Indonesia ini sejak awal agama telah diletakkan sebagai bagian dari konstitusi negara. Negara kita bukan negara sekuler.
Dalam dinamika politik nasional menuju gerbang reformasi, K.H. Ali Yafie satu di antara 9 tokoh Islam yang hadir memenuhi undangan pertemuan dengan Presiden Soeharto di Istana Negara tanggal 19 Mei 1998. Ketika itu K.H. Ali Yafie mengambil kesempatan berbicara. Tuntutan mahasiswa tentang reformasi itu maksudnya ialah Pak Harto turun. ucapnya. Salah satu akhlak terpuji K.H. Ali Yafie, tidak pernah menyebut kejelekan orang lain, siapa pun, baik di depan maupun di belakangnya. Begitu pula ketika menyampaikan kritik, yang dikritik adalah keadaan, bukan menyerang pribadi orang.

Saya mendengar langsung cerita dari K.H. Ali Yafie tentang etiket Presiden Soeharto ketika menerima tamu, duduk sopan dan tertib. Kakinya tidak pernah disilangkan dan kalau berbicara mulutnya saja, tangannya tidak ikut berbicara, artinya tangan tidak ikut bergerak. Pelajaran yang saya dapatkan dari K.H. Ali Yafie, bahwa yang dikenang tentang pemimpin yang telah tiada dan siapa pun adalah kebaikannya.

Dalam salah satu artikel K.H. Ali Yafie menulis, “Peran pemimpin dalam menanggulangi krisis bangsa, dimana upaya penanggulangan krisis moral yang disadari menjadi pangkal krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara kita dewasa ini, harus bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin, pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat. Mereka diharapkan mampu mengembangkan dalam kehidupan pribadinya masing-masing, pola hidup bersih, sederhana dan mengabdi.”

H. Sudarsono Prodjokusumo, mantan Sekretaris Umum MUI dan tokoh Muhammadiyah menyebut K.H. Ali Yafie Ulama Moderat dengan Pendirian Tegas dalam buku 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Wacana Baru Fiqih Sosial (1997). Menurut H.S. Prodjokusumo K.H. Ali Yafie bukanlah seorang politisi, melainkan ulama yang jujur, konsekuen dan teguh pendirian. Ada tiga hal yang sangat menarik dari kepribadian beliau. Pertama, kehati-hatian dalam berbicara dan tidak pernah emosional. Beliau tidak banyak berbicara kecuali menyangkut hal yang benar-benar perlu. Dalam seminar, misalnya, beliau selalu tampil dengan makalah yang sudah dikonsep secara matang. Kedua, beliau orang yang tawadhu dan konsekuen antara ucapan dan amalan, tidak berbicara tentang suatu hal yang tidak pernah beliau laksanakan. Ketiga, beliau adalah orang yang akomodatif, untuk hal yang tidak prinsip, beliau bisa menerima. Tetapi untuk sesuatu yang sifatnya sangat prinsipil, beliau tetap konsekuen.
Semangat mempersatukan umat tercermin dari lingkaran pergaulan beliau yang luas maupun dari tulisan dan pernyataannya yang teduh dan menyejukkan. Saya mencatat pesan K.H. Ali Yafie, ada satu kaidah pergaulan yaitu setiap manusia harus tahu diri, tahu membawa diri dan tahu menempatkan diri. Keikhlasan adalah puncak segala sesuatu.

Saya mengenal K.H. Ali Yafie dari dekat sejak dekade 90-an di Jakarta. Dalam relasi sosial beliau tidak pernah memilah-milah orang, senior ataupun yunior, tidak pernah menolak tamu meski dalam kondisi kesehatannya yang uzhur karena faktor usia. Ia adalah sosok panutan yang sangat menghargai silaturahmi tanpa memandang perbedaan organisasi atau golongan, tetapi merangkul semua kalangan. Satu ketika saya diberi hadiah buku Jati Diri Tempaan Fiqih yang diterbitkan dalam rangka 75 tahun usia beliau.

Menteri Agama periode 1993 – 1998 almarhum Dr. H. Tarmizi Taher yang telah meninggalkan kita 10 tahun lalu menggambarkan bahwa Prof. K.H. Ali Yafie adalah ulama yang lembut tutur katanya, mendalam isi pembicaraannya dan membawa keteduhan bagi lingkungannya. Beliau perlu diteladani oleh para ulama cendekiawan, baik generasi seangkatan maupun di bawah beliau, terutama dalam sikap tawadhu dan akhlak mulia, di samping pemikiran beliau yang berusaha membumikan Islam di tanah air.

Dalam obituari ini saya mengutip pesan K.H. Ali Yafie yang saya dengar langsung dari beliau mengenai Al-Quran dan umat Islam: Syariat Islam yang pertama ialah membaca. Bahkan di akhirat nanti kita disuruh membaca kitab amal masing-masing. Al-Quran adalah bacaan wajib bagi setiap orang Islam yang telah dewasa dan mukallaf. Minimal Al-Quran dibaca di dalam shalat. Tetapi alangkah baiknya bila kita mendisiplinkan diri membaca Al-Quran minimal 10 ayat setiap hari, seperti yang dilakukan oleh para sahabat nabi dan tabiin. Membaca Al-Quran haruslah kita jadikan sebagai pendidikan pertama bagi anak-anak dalam setiap keluarga muslim. Anak yang shaleh adalah anak yang menjadi penyejuk pandangan orangtuanya dan menjadi kebanggaan keluarga. Al-Quran merupakan sumber ilmu, sumber akhlak dan sumber kehidupan dalam keimanan bagi seorang muslim. Kewajiban seorang muslim terhadap Al-Quran tidak hanya sebatas membaca, tapi harus memahami arti dan maknanya.” ujar beliau.

Mengenai dakwah dan tantangan kontemporer K.H. Ali Yafie berpesan, Dakwahkan Islam apa adanya, bukan mengada-ada. Jangan membolak-balikkan Islam dengan istilah yang macam-macam. Menurutnya, salah satu tugas pemimpin umat di masa kini adalah membuat umat Islam jadi umat yang diperhitungkan, bukan hanya umat yang dihitung, serta menegakkan persatuan umat.
“Kita tidak cukup hanya memahami sejarah, tidak cukup hanya tahu sejarah atau membaca sejarah, tapi belajar dari sejarah.”  ungkapnya.

Semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya kepada allahu yarham ulama kita yang tercinta K.H. Ali Yafie.

Selamat jalan Pak Kiai. Terima kasih telah memperkaya pengalaman hidup kami dalam mengenal ulama dan memahami khazanah keislaman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here