Catatan Andi Wahida Tuan Guru Sulaiman
Tulisan ini diminta khusus untuk membuka Lontara kearifan Bugis dalam kehidupan sosial ekonomi, pertanian bercocok tanam dan kelautan yang tidak terpublikasi terbuka. Cenderung menjadi warisan ( SIMA ) bagi pemilik Lontara.
PANANRANG dari kata Tanra yang berarti Tanda.
Pananrang berkaitan cara memahami tanda-tanda alam dengan kemungkinan kejadian yang akan datang.
Pananrang paling umum diketahui adalah mendung misalnya pertanda akan turun hujan. Tetapi tidak mutlak pasti akan hujan.
Semakin manusia mengenali alamnya, maka semakin manusia mampu mengenali tanda-tanda alamnya.
Alam memiliki geografis, iklim, tanah, suhu dan berbagai faktor yang berbeda, sehingga sebuah Pananrang belum tentu berlaku umum untuk daerah lain.
Adapula Pananrang yang mendasari penandaannya dari perilaku hewan dan tumbuhan. Misalnya naiknya gerombolan semut ke rumah sebagai tanda akan banjir. Demikian pula peletakan telur keong sungai di batas tertinggi permukaan air pertanda saat akan banjir.
Bagi pelaut yang berpengalaman, selain melihat kondisi langit, hanya
dengan mencicipi rasa air laut sudah cukup menahami penanda akan terjadinya badai.
Bagi kami yang besarnya dipinggiran sungai Walannae, cukup melihat jernih atau keruhnya sungai saat air naik, sudah cukup untuk menyimpulkan apakah hujan itu terjadi di Soppeng atau Sidrap.
Ilmu Pananrang berkembang sesuai aktivitas masyarakat di sektor agraris dan maritim.
Begitu kompleksnya kehidupan ini sehingga banyak Lontara yang dituliskan eleh leluhur kita untuk mendokumentasikan ilmu Pananrang.
Bukan hanya tanda alam yang dibaca, tapi juga termasuk kekhasan karakter waktu (Tahun, Bulan, Hari, Waktu Siang dan Malam, Pagi sampai Petang)
Di masa lalu, Matoa Paggalung (Kepala Komunitas Petani) biasanya paling mahir debgan ilmu Pananrang sekaitan pertanian sebagaimana Anakoda (Nakhoda) di bidang pelayaran.
(Bersambung…)