Kolom Arfendi Arif
Aktifitas politik erat hubungannya dengan kekuasaan. Dalam arti jika seseorang ingin masuk dalam lingkaran kekuasaan, khususnya dalam pemerintahan, baik itu eksekutif maupun legislatif maka jalur yang paling cepat masuk adalah melalui tiket politik. Dalam hal ini sering kita lihat banyak pakar maupun akademisi yang memiliki keahlian, tapi jarang masuk ke dalam pemerintahan khususnya kabinet, yang masuk justru kebanyakan tokoh-tokoh yang berasal dari partai.
Kenyataan ini tentu tidak menguntungkan bagi negara yang sedang membangun. Bagaimanapun juga suatu kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kontribusi kualiatas sumber daya manusia yang bermutu. Karena itu perlu dikembangkan suatu pemikiran bagi kalangan parpol untuk lebih memberikan ruang yang lebih besar pada terlibatnya kelompok terdidik atau ahli ini ke dalam pemerintahan.
Memang menjadi pertanyaan kenapa kaum terpelajar atau para ahli tidak tertarik masuk politik. Dan, kalau kita lihat yang berkiprah di partai politik hampir sebagian besar berasal dari kalangan aktifis, organisasi, dari ormas, pensiunan TNI ataupun ASN yang kemudian menjadi anggota partai. Sedangkan yang berlatar belakang ilmuan dan akademisi bisa dikatakam masih kurang atau kecil jumlahnya.
Hal di atas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan para pakar dan ahli jarang yang masuk ke dalam struktur kabinet atau pemeritahan, sebab kebijakan untuk melibatksn seseorang ke dalam kabinet yang menentukan adalah para politisi. Dan, ini terlihat ketika sebuah partai atau koalisi partai memenangkan pemilu dan pemilihan presiden, maka merekalah yang akan menentukan siapa saja orang yang berhak masuk ke dalam kabinet atau bidang-bidang lain di pemerintahan. Dan, tentu saja yang terpilih adalah orang-orang partai politik baik yang memenangkan pemilu dan koalisi mereka, dan termasuk juga tim sukses. Kaum ilmuan, pakar atau akademisi sulit untuk masuk karena mereka bukan orang partai atau tidak dekat dengan partai dan para koleganya.
Disamping itu ada pula anggapan di kalangan orang partai bahwa merekalah yang berkeringat dan berkiprah di partai membangun masyarakat, jadi mereka yang berhak menduduki posisi-posisi di pemerintahan.
Sempitnya ruang bagi para pakar untuk masuk lingkungan pemerintahan dibandingkan politisi, menyebabkan model atau bentuk kemajuan atau pertumbuhan suatu bangsa juga berbeda. Negara yang dominan dikelola politisi menunjukkan kemajuan di bidang ” demokrasi “yang lebih menonjol. Sebaliknya negara yang dikelola oleh banyak para ahli maka kemajuan ekonomi dan pembangunan lebih kentara..
Contoh yang menarik adalah ketika negara di masa Orde Baru banyak dikelola para ahli ekonomi menunjukkan kemajuan mengemuka di bidang ekonomi, pembangunan, pendidikan dan lainnya. Pada waktu itu kemajuan di bidang politik ditekan dan dibatasi, partai politik disederhanakan jumlahnya, asas partai disamakan, dan kepengurusan partai pun hanya dibatasi sampat daerah tingkat dua atau kabupaten.
Sedangkan setelah memasuki era reformasi hingga saat ini menunjukkan adanya kebebasan politik, adanya pemilihan langsung, bebas menyampaikan gagasan, namun akibat yang timbul adalah masyarakat terbelah dan munculnya fanatisme pada figur-figur tertentu yang bersaing dalam pilpres maupun pemilu legislatif.
Negara yang kuat berpegang pada demokrasi punya ungkapan, rakyat tidak hanya butuh beras, tapi juga ingin terlibat menentukan kebijakan negara.
Negara yang lebih besar perhatian untuk melibatkan para politisi dalam pemerintahan mengakibatkan para ahli di pemerintahan tetpinggirkan oleh para politisi yang mesti diberikan jatah karena mereka terlibat dalam memenangkan perebutan kekuasaan melalui suara rakyat.
Ke depan tentu yang terbaik adalah bahwa perjalanan sebuah negara atau bangsa harus memperhatikan dua aspek besar di atas, yaitu kemajuan di bidang ekonomi dan kemajuan di bidang demokrasi. Bila kemajuan dua aspek besar ini berjalan seiring dan bersama-sama, maka suatu bangsa akan mengalami kemajuan diiringi kemantapan, kenyamanan dan kebahagiaan. Setiap orang akan bersaing dalam hidup secara fair dan objektif. Tidak ada sakit hati dan kekecewaan. Tentu tidak ada gurauan cebong dan kampret yang menjadi simbol permusuhan. Semoga ke depan istilah ini hilang dan lenyap dalam pertengkaran dan pertikaian anak bangsa di medsos dan ruang publik lainnya.
Penulis, pemerhati sosial politik, dewan redaksi majalah PINISI dan PINISI.co.id.