Catatan Syahrir
Sejak ditemukan dan dipopulerkan aksara (Lontara) suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja, eksistensinya, telah membuka ruang pengakuan cendekiawan dunia. Posisi itu kemudian, melahirkan konstanta keilmuan, jika “Bangsa” Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dan kemajuan. Sebagai alasan pembenaran, karena tidak semua suku, etnis dan komunitas, di dunia, memiliki aksara dan bahasa tulis tersendiri. Dan di level konsistensinya, ketika suku, etnis, dan komunitas mempunyai bahasa dan aksara tulis, maka kemampuan internasionalisasi, baik individu maupun secara organisasi, selalu melahirkan rekayasa ilmiah, dan berkompentitif dalam pencapaian “high knowledge.” Korelasi faktual membuktikan konsepsinya, terdapat pada kecerdasan suku Bugis dan Makassar, dari ratusan abad silam, telah mampu membuat Perahu Pinisi, tanpa melalui sekolah formal.
Selain itu, masih terlalu banyak kemampuan ilmiah dimiliki Suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja, termasuk filsafat. Logisnya, diantara bahasa dari sejumlah ungkapan dari filosuf Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja, banyak tidak tercatat, hanya diungkap dari lisan ke lisan dan diturunankan, lalu kemudian “melegenda” hingga generasi kegenerasi. Rangkaian kecerdasan tersebut, ternilai sebagai referensi lisan tanpa batasan.
Dihubungkan dengan Musayawarah Besar (Mubes) Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan ( KKSS) ke 11 telah terlaksana Di Solo – Jawa Tengah, merupakan representasi toleransi besar bagi sejumlah masyarakat yang leluhurnya berasal dari pulau Sulawesi.
Di arena Mubes tersebut bayangan momentumnya, adalah terlaksana konferensi besar “Bangsa Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja, atau The international conference of Etnic Sulawesi Selatan,” kemudian, pesertanya datang dari berbagai nusantara – Indonesia dan dunia. Mengingat, KKSS memiliki perwakilan organisasi di hampir seluruh dunia, Eropa, Amerika, Australia dan semenanjung Asia juga Asia Tenggara. Tapi realitanya, Mubes KKSS agak “mengecil” dari prediksi sebelumnya.
Di perhelatan Mubes KKSS di Solo, sedikit terjadi sistemik. Peserta dan anggota serta simpatisan KKSS, seakan di “paksa” menunggu berjam jam lamanya. Misalnya, peserta datang dari jam 9.00 pagi, hingga malam jam 20.00 wib, baru terealisasi untuk item akomodasi. Kisahnya, hotel Lor In, tempat terlaksananya acara Mubes, kamarnya penuh, dan berjejal. Hingga sebagian peserta harus rela, “tidur berdesak,” kadang melebihi kapasitas ruang kamar hotel. Termasuk atribut dan perlengkapan bagi peserta Mubes, untuk mendapatkannya juga “harus” menunggu hingga esok harinya, setelah “check in.”
Mubes KKSS, atau layak disebut Konferensi internasional “Bangsa Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja” diperagakan, dan diadakan serta dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Adalah “referensi” Mubes di Solo, dimohonkan agar tidak terulang.
Semoga kkss selalu jaya yg dinahkodai Mukhlis Patana, Insya Allah Sukses