Pemimpin dan Filosofi Kilometer Nol

0
569
- Advertisement -


Kolom Ruslan Ismail Mage

Dalam pidato Mahathir Mohamad di forum APEC di Shanghai Cina 20 Oktober 2001 lalu, ia mengutip statement Bapak Empat Modernisasi Cina, Deng Xiao Ping yang mengatakan, “Jangan simpulkan kebenaran dari harapan, melainkan dari fakta.” Hal ini penting karena terlalu banyak orang memberi harapan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Harapan yang dijanjikan jauh panggang dari api, terlebih di musim pemilu.

Pidato Mahathir Mohammad ini menarik dan penting dikedepankan dalam proses mencari pemimpin bangsa pada Pemilu 2024. Menarik karena sejatinya pemilu adalah suatu ajang pencarian pemimpin bangsa berkualitas yang mempunyai visi jelas dan memiliki kemampuan mewujudkan visi tersebut dengan misi yang sistematis dan terukur. Penting karena jika salah memilih pemimpin yang menanggung akibatnya selalu rakyat.

Jika suatu bangsa dianalogikan sebagai mobil yang membawa rakyatnya menuju Kota Sejahtera, maka pemilu adalah suatu proses mencari sopir andal dan cekatan melewati jalan terjal dan berliku di samping kiri dan kanan adalah jurang. Bayangkan ada dua mobil, sebut saja mobil A dan mobil B dengan tipe yang sama masing-masing memuat penumpang melaju dengan kecepatan yang sama. Kedua mobil tersebut berangkat pada waktu yang bersamaan dari kota yang sama (sebut saja Kota Derita) menuju kota yang sama (sebut saja Kota Sejahtera) yang berjarak 400 km. Untuk menjaga keselamatan penumpang, setiap dua jam pengemudi mobil A dan mobil B harus diganti oleh sopir cadangan.

Kedua mobil tersebut berangkat dengan bahan bakar yang sama dan perbekalan yang sama. Selama perjalanan, kedua mobil tersebut tidak berhenti kecuali untuk melakukan pergantian pengemudi. Baik para penumpang di mobil A maupun penumpang di mobil B sama-sama tidak mengetahui jalan pasti menuju ke Kota Sejahtera. Mereka hanya mengetahui Kota Sejahtera berada di sebelah utara Kota Derita. Bedanya, setiap kali ganti pengemudi, entah kenapa pengemudi di mobil A akan kembali ke titik awal perjalanan di Kota Derita, sedangan pengemudi di mobil B akan meneruskan perjalanan ke arah utara. Manakah dari kedua mobil tersebut yang memiliki kemungkinan lebih besar sampai Kota Sejahteta? Jawabannya pasti mobil B.

- Advertisement -

Kisah iluatrasi di atas merupakan filosofi kilometer nol. Tidak ada kemajuan yang bisa diperoleh karena setiap terjadi pergantian pemimpin, maka pemimpin baru tersebut merombak hampir semua yang telah dilakukan oleh pemimpin pendahulunya. Kebijakan yang sudah terbukti baik untuk kepentingan rakyat jika tidak sesuai program dan kepentingannya semua dibabat. Rumus sederhana filosofi kilometer nol ini adalah pemimpin baru harus datang dengan gebrakan baru, dengan orang baru yang biasanya datang dari tim suksesnya.

Sejatinya setiap pemimpin terpilih melanjutkan program pendahulunya yang sudah terbukti menguntungkan rakyat. Sebaliknya, mengevaluasi atau bahkan menghentikan program yang terbukti hanya merugikan kepentingan takyat dan mengancam eksistensi negara. Jangan karena sudah terpilih menjadi pemimpin yang memiliki otoritas, lalu seenaknya membuang semua program yang sudah dicanangkan pemimpin sebelumnya. Terlebih mengganti beberapa orang bawahannya yang sudah terampil dan memahami persoalan, kemudian memasukkan tim suksesnya yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Kalau pendekatan relasi ini terus dipertahankan dalam mengelola birokrasi pemerintahan, itu sama saja pemimpin baru memulai dari nol lagi. Kapan rakyat bisa sampai ke kota sejahtera. Inilah yang disebut pemimpin filosofi kilometer nol; pemimpin yang gemar memutar arah kebijakan dari awal (nol).

Singapura adalah negara kecil yang kemudian menjelma menjadi salah satu negara raksasa perputaran nilai ekonominya di dunia. Singapura menjadi contoh sempurna bagaimana negara dikelola dengan kepemimpinan yang jelas dan visioner. Salah satu penyebabnya karena sang leader sejatinya Lee Kuan Yew 40 tahun lalu meletakkan visi Singapura memiliki standar hidup seperti di Swiss. Visi ini kemudian yang konsisten dipertahankan dan dilanjutkan setiap ganti pemimpin. Artinya setiap pemimpin di Singapur pasca Lee Kuan Yew tidak ada yang menerapkan filosofi kilometer nol. Tidak ada yang belok-belok, apalagi memutar balik arah mobil. Semua sepakat melanjutkan perjalanan menuju satu arah; Kota Sejahtera. Bagaimana dengan Indonesia?

Antitesis Filosofi Kilometer Nol

Jika mengurai sejarah perjalanan bangsa ini, kesalahan mendasar yang dilakukan para elite bangsa pascareformasi adalah menganggap semua produk Orde Lama dan Orde Baru tidak sesuai dengan tuntutan reformasi. Karena itu, harus diganti atau dibuang. Celakanya lagi, konsep-konsep dasar negara yang selama ini terbukti mampu memproteksi keindonesiaan dari segala penjuru mata angin, juga ikut di rombak, bahkan diganti. Atas nama reformasi, UUD 1945 sebagai pondasi utama bangsa sudah lebih dari sekali diamandemen, entah untuk kepentingan siapa. Begitu pula 36 butir-butir pancasila yang menjadi panduan penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Nagara (GBHN) sebagai peta penunjuk arah pembangunan ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya, juga harus disingkirkan. Akibatnya, kecenderungan bangsa ini berjalan tanpa arah selain menuju rumah oligarki.

Kemunculan Anies Rasyid Baswedan dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2024 cukup memberi harapan mobil besar bernama Indonesia yang mengangkut kurang lebih 170 juta penumpang bisa melaju sampai ke Kota Sehahtera. Harapan ini cukup beralasan berdasarkan rekam jejak selama memimpin DKI Jakarta. Tidak ditemukan data ada kebijakan gubernur pendahulunya yang berorientasi kesejahteraan rakyat diveto di tengah jalan, tetapi dilanjutkan, bahkan ditingkatan. Mempelajari rekam jejak kepemimpinannya selama memimpin di DKI Jakarta cukup untuk mengatakan Anies bukan tipe pemimpin yang menganut filosofi titik nol.

Pada setiap kesempatan, Anies selalu mengatakan, “Program pembangunan Indonesia harus sesuai dengan konstitusi negara yang telah dirancang oleh para pendiri negara.” Bagi Anies, selama program pembangunan sesuai dengan konstitusi negara untuk menghadirkan kedilan dan menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu wajib didukung dan dilanjutkan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, program pembangunan itu hanya menguntungkan kelompok tertentu dan berpotensi membahayakan negara, wajib juga dievaluasi atau dihentikan demi kemaslahatan bangsa.

Jadi, apa yang dikhawatirkan sebagian orang jika Anies berkuasa akan menghentikan semua program pemimpin pendahulunya itu tidak benar. Karakter kepemimpinan seorang Anies adalah akomodatif yang mampu menyatukan dua kutub yang berbeda untuk bersama-sama membangun bangsa. Anies bukan pemimpin penganut filosofi kilometer nol, tetapi antitesis dari pemimpin filosofi kilometer nol. Jargon perubahan yang diusungnya mempertegas kalau yang baik akan diteruskan, sementara yang kurang baik akan diubah menjadi baik. Filosofi kepemimpinan Anies, “Segalanya wajib berlandaskan konstitusi negara.” Artinya, semua program pembangunan harus berlandaskan konstitusi negara untuk menghadirkan keadilan sosial dan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis adalah Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here