Oleh
M. Fuad Nasar
Salah seorang putra bangsa terbaik, prajurit pejuang dan pemikir yaitu Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Sayidiman Suryohadiprojo telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan keluarga, sahabat-sahabat dan Tanah Air yang dicintainya. Sayidiman wafat pada usia 93 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, Sabtu 16 Januari 2021 pukul 16.15 WIB.
Patriot bangsa yang dianugerahi tanda kehormatan Bintang Gerilya, Satyalencana Perang Kemerdekaan I, Satyalencana Perang Kemerdekaan II dan Bintang Mahaputera Utama itu dimakamkan esok harinya di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta dengan upacara militer. Saya berkesempatan hadir menyaksikan pemakaman jenazah almarhum dengan protokol kesehatan yang ketat.
Alumni Pertama Akademi Militer
Sayidiman lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 21 September 1927, berasal dari keluarga terpelajar dan birokrat. Ayahnya Bawadiman Kartohadiprodjo adalah Bupati di Pasuruan. Pendidikan formal yang ditempuhnya Sekolah Belanda yaitu Europesche Lagere School (ELS) Pasuruan, Hogere Burger School (HBS) Semarang, dan sekolah Taman Siswa Yogyakarta.
Pengalaman paling berkesan di masa mudanya ialah menyaksikan secara langsung peristiwa Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta. Sayidiman menyaksikan pengibaran bendera Sang Dwiwarna Merah Putih untuk pertama kalinya tanggal 17 Agustus 1945. Saat itu ia berada di pagar rumah Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi).
Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945 mengumumkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR) dalam rangka membantu penjagaan keamanan dan memelihara keselamatan masyarakat. Sayidiman merasa terpanggil untuk mendaftarkan diri sebagai anggota BKR. Pembentukan BKR dilanjutkan dengan mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tanggal 5 Oktober 1945 yang selanjutnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). TKR dan TNI merupakan alat perjuangan rakyat yang terorganisir, terpimpin dan memiliki hirarki dalam susunan negara.
Sewaktu didirikan Militaire Academie (MA) Yogyakarta atau Akademi Militer Yogya pada 31 Oktober 1945 atas perintah Kepala Staf Umum TKR Letjen TNI Oerip Soemohardjo dan mulai dibuka November 1945, Sayidiman mendaftar menjadi kadet (taruna) Akademi Militer Jogya. Pembukaan Akademi Militer mendapat sambutan luar biasa dari para pemuda Indonesia. Sayidiman lulus pendidikan taruna tahun 1948. Ia merupakan salah satu lulusan terbaik angkatan pertama Akademi Militer Jogya. Setelah lulus dari Akademi Militer, ditugaskan sebagai komandan pasukan Divisi Siliwangi.
Selama bertugas sebagai prajurit TNI sampai pensiun tahun 1982, Sayidiman mendapat kesempatan mengikuti berbagai pendidikan militer di dalam dan di luar negeri, di antaranya; Kursus Persiapan Hogere Krijgsschool, Company Officers Course, Infantry School Amerika Serikat, Kursus Pendidikan Guru Militer Bandung, Kursus Perwira Lanjutan Dua Infantri Bandung, Sprachenschule der Bundeswehr Jerman, Fuehrungs Akademie der Bundeswehr Jerman, dan International Defense Management, Naval Postgraduate School Amerika Serikat.
Sepanjang karir di lingkungan militer dan pemerintahan Sayidiman pernah menjabat Panglima Daerah Militer (Pangdam) XIV Hasanuddin di Makassar (1968 – 1970), Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (1973 – 1974), Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) periode 1974 – 1978, dan Duta Besar RI untuk Jepang (1979 – 1983).
Ia pernah mendapat penugasan sebagai Duta Besar Keliling RI untuk Wilayah Afrika ketika Indonesia menjadi Ketua Gerakan Non Blok (GNB) tahun 1992-1995. Tugas lain yang pernah diembannya adalah sebagai Anggota MPR-RI, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan Anggota Dewan Pendidikan Tinggi, Penasihat Presiden RI Urusan Ketahanan Nasional, serta Penasihat Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam bidang Hankam. Sebagai tokoh veteran angkatan 45 Sayidiman diangkat menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) tahun 2012 – 2017.
Jatuh bangun karir dalam pengabdian terhadap negara dan bangsa pernah dialaminya. Di luar keIaziman tiba-tiba diberhentikan dari posisi Wakasad yang baru satu setengah tahun dijabatnya. Kawan-kawannya mengatakan Sayidiman menjadi korban politik karena memang tidak pandai bermain politik di lingkaran kekuasaan. Pelajaran dan keteladanan Sayidiman, ia sama sekali tidak dendam, tidak mempunyai rasa sakit hati terhadap orang yang menyingkirkannya, karena pada akhirnya orang itu pun disingkirkan oleh Presiden Soeharto.
Dalam otobiografinya Sayidiman mengungkapkan, “Akan tetapi lambat laun saya berpikir tidak ada gunanya saya diliputi rasa marah dan benci. Karena hanya akan merugikan diri sendiri dan keluarga saya. Yang pokok saya tahu bahwa saya tidak berbuat salah terhadap negara dan siapa pun juga dan bahwa saya telah dan sedang menjalankan segala tugas yang dibebankan kepada saya. Saya tahu dan yakin bahwa saya bersih. Menghadapi jabatan dan pekerjaan baru saya tidak gentar atau frustrasi, oleh karena semua sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau sampai saya frustrasi, maka berarti saya lupa kepada Allah dan justru merugikan saya sendiri. Malahan orang-orang yang berhasil menggeser saya akan gembira kalau saya frustrasi.”
Setelah purnawirawan sebagai prajurit TNI, Sayidiman dikenal sebagai guru bangsa dan pemikir yang hebat. Sesuai pengalaman dan kapasitas intelektualnya Sayidiman diminta menjadi dosen di sejumlah lembaga pendidikan dan universitas di lingkungan sipil dan militer serta diundang sebagai pembicara di berbagai seminar.Tulisannya banyak dimuat di surat kabar Kompas dan ia juga produktif menulis buku. Dalam semua tulisannya tercermin kecerdasan dan ketajaman analisa sebagai pengamat dan pelaku sejarah di masanya. Jenderal senior yang rajin menulis setelah Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution, Letjen T.B. Simatupang, ialah Letjen Sayidiman Suryohadiprojo.
Ketahanan Nasional
Semasa Sayidiman menjabat Gubernur Lemhannas, konsep Ketahanan Nasional yang sudah digarap sebelumnya di Lemhannas, disahkan menjadi konsep resmi. Sejak itu Ketahanan Nasional disosialisasikan secara luas kepada seluruh bangsa. Sayidiman berhasil menaikkan pamor dan wibawa Lemhannas. Konsep Ketahanan Nasional, sebagaimana dijelaskan Sayidiman garis pemikiran pokoknya adalah bahwa yang diperlukan untuk memelihara stabilitas bukanlah semata-mata pertahanan yang bersifat militer, melainkan ketahanan yang meliputi seluruh kekuatan nasional dengan segala aspeknya yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer atau pertahanan-keamanan.
Di samping itu, Sayidiman selaku Gubernur Lemhannas mematangkan program Kewiraan, yang menurutnya penting sekali untuk masa depan Indonesia. Program Kewiraan yang merupakan kerjasama antara Departemen Pertahanan dan Keamanan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dimaksudkan agar para mahasiswa tidak hanya berpikir dalam spesialisasi dari disiplin ilmunya saja. Para mahasiswa diharapkan membawa disiplin ilmunya kepada kerangka umum, terutama dalam kepentingan nasional.
Sampai akhir hayatnya Sayidiman sangat concern dengan isu profesionalisme TNI, kepemimpinan dan visi memajukan bangsa. Sejak usia muda ia telah banyak membaca buku-buku dan koran-koran berbahasa Belanda. Semenjak itu disadarinya bahwa dunia makin mengalami kemajuan dalam kehidupan, tetapi Indonesia yang dijajah tetap miskin rakyatnya dan tidak maju kehidupannya. Padahal diketahui bahwa banyak kekayaan Indonesia menjadi sumber kekayaan dan kemajuan Negeri Belanda.
Sayidiman merupakan patriot bangsa yang religius dan punya integritas secara moral maupun intelektual. Prinsip dalam hidupnya adalah menjalankan setiap tugas dengan sebaik-baiknya dan meninggalkan jabatan dengan nama bersih. Sebagai prajurit-pejuang yang senantiasa memegang teguh jiwa perjuangan Sapta Marga, Sayidiman adalah sosok panutan di lingkungannya. Sebuah nasehat dari gurunya, Subroto, sewaktu bersekolah di Taman Siswa Yogyakarta memberi bekas mendalam sepanjang hidupnya, “Yang penting bukan pekerjaan apa yang kita lakukan, melainkan bagaimana kita menjalankan pekerjaan itu. Ingat, di antara batu yang banyak, batu permata, biar hanya satu, akan tetap tampak gemerlapan.”
Dalam otobiografi Sayidiman Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI, diungkapkan, sejak masih aktif sebagai perwira TNI maupun setelah purnawirawan sejak era Orde Baru, ia telah mengeluarkan pendapat bagaimana agar bangsa Indonesia dapat memperbaiki pelaksanaan Demokrasi Pancasila dan pembangunan ekonomi yang sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Sayidiman seorang yang jujur dan berani mengemukakan pendapat, gagasan dan sumbang saran mengenai masalah bangsa dan negara, meski tidak selalu sejalan dengan kemauan pimpinan nasional yang berkuasa. Buah pikirannya sebagai tokoh senior TNI dan cendekiawan di masa damai mengalir jernih semata-mata untuk kebaikan bangsa dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tidak ada kepentingan pribadi atau kepentingan politik apa pun yang dibawanya.
Dalam artikelnya berjudul Demokrasi Yang Cocok Bagi Bangsa Indonesia, ditulis tanggal 17 Agustus 2010 Sayidiman mengemukakan, “Dalam demokrasi Indonesia tidak hanya faktor Politik yang perlu ditegakkan, tetapi juga faktor kesejahteraan bagi orang banyak sebagaimana dikehendaki sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Bahkan sesuai dengan Tujuan Bangsa dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan dan kebahagiaan dan bukan demokrasi kekuasaan seperti di Barat. Semoga para pemimpin Indonesia menjadi sadar akan masalah bangsanya yang mendasar dan memimpin perjuangan yang makin nyata mendekatkan bangsa pada pencapaian Tujuan Nasional: masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Umat Islam dan Kemajuan Bangsa
Pada waktu berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) tahun 1990 yang mendapat persetujuan Presiden Soeharto, Ketua Umum ICMI Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie mengajak Sayidiman menjadi Pengurus ICMI. Sejak itulah Sayidiman duduk dalam kepengurusan ICMI sebagai Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat, Wakil Ketua Dewan Panasihat dan terakhir Dewan Kehormatan ICMI Pusat periode 2015 – 2020.
Kelahiran ICMI sempat mendapat tanggapan beragam karena dianggap sektarian dan eksklusif. Sayidiman menganalisa, semua atau bagian terbesar pihak yang mengecam berdirinya ICMI saat itu adalah bermotif politik. Sayidiman mempertanyakan, apa ukuran sektarian dan ekslusif yang dijadikan alasan ketidaksukaan sementara kalangan terhadap ICMI.
Sayidiman dalam satu forum mengatakan, “Setiap orang Indonesia yang cinta tanah air dan bangsa berkepentingan dengan majunya umat Islam di Indonesia, juga andaikan ia bukan beragama Islam. Sebab tidak mungkin Indonesia maju kalau lebih dari 88 persen penduduknya yang umat Islam tidak maju. Jadi kalau di Indonesia lebih dari 88 persen penduduknya tidak maju, tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera. Selain itu umat Islam yang maju pasti akan bersikap rasional dan moderat. Justru kemajuan umat Islam membawa hubungan antar-agama yang lebih harmonis, karena tentu semua pihak bersikap moderat dan rasional, jauh dari emosi dan sentimen golongan.”
Dalam artikel dan makalahnya yang dihimpun menjadi buku Pancasila Islam dan ABRI, Sayidiman menjawab kesangsian beberapa kalangan, apakah umat Islam dapat membawa kemajuan bangsa? Memang, – imbuhnya – setelah abad ke-18 tidak ada bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam dapat menunjukkan kehidupannya setingkat dengan bangsa-bangsa yang maju. Seakan-akan dibentuk dinding pemisah antara kehidupan agama dan kehidupan luar agama. Padahal kehidupan manusia adalah sesuatu yang utuh. Kalau umat Islam dapat menerapkan segala ajaran agama Islam untuk seluruh kehidupannya, maka akan terbentuk sikap hidup yang sesuai dengan keperluan pembangunan.
Lebih jauh dikemukakannya, sukar diharapkan terwujudnya kemajuan bangsa Indonesia tanpa adanya kemajuan yang memadai pada umat Islam Indonesia. Sebab lebih dari 80 persen dari penduduk Indonesia adalah umat Islam. Yang menjadi titik pangkal kemajuan bangsa adalah manusia dan masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi berpangkal pada manusia, demikian pula kehidupan beragama berpangkal pada manusia. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mengatur kehidupan kita lebih sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam kaitan itu, – lanjut Sayidiman – minat yang lebih besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan umat Islam adalah perlu sekali. Dalam ajaran Islam, khususya dalam Kitab Suci Al-Quran, terdapat banyak dasar untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab itu tidak mengherankan bahwa di masa lampau umat Islam menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan, imbuhnya.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah kemiskinan, – menurut Sayidiman – adalah dengan mengusahakan agar umat Islam juga kembali menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang dilakukan ketika umat Islam berada dalam masa jayanya.
Pada Kata Penutup buku Langkah-Langkah Perdjoangan Kita yang diterbitkan awal dekade 1970-an, Sayidiman mengingatkan bahwa kemelaratan dan kemiskinan tidaklah sesuatu yang permanent dengan rakyat kita. Oleh sebab kita dapat pula merasakan, bahwa rakyat kita itu memiliki kecerdasan yang cukup. Oleh karena itu kemiskinan dan kemelaratan itu hanyalah akibat dari keterbelakangan belaka yang dapat dikejar asalkan ada kemajuan dan tekad yang cukup kuat untuk memperbaiki nasib kita.
Satu ketika, menurut cerita Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, ekonom UI yang juga menantu Bung Hatta, Sayidiman mengutarakan kepada Sri-Edi: “Apa saya akan masih sempat menyaksikan rakyat sejahtera?”
Kurang dari setahun sebelum meninggal, tepatnya 7 Mei 2020 Sayidiman menulis impiannya tentang Indonesia Merdeka atau “Indonesia Yang Saya Inginkan”, antara lain sebagai berikut:
“Impian saya tentang Indonesia Merdeka adalah terbangunnya satu negara sebagai wahana bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kesejahteraan, kemajuan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Negara demikian harus menyelenggarakan pendidikan yang luas dan meliputi berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat ilmu pengetahuan maupun teknologi, yang menghasilkan ahli-ahli dalam teori tetapi juga pakar-pakar yang cakap dalam praktek, seperti memimpin dan mengelola pabrik. Namun di samping itu juga kuat karakternya agar tidak sekedar menjadi alat atau agen bangsa lain.
Saya ingin dalam Negara Republik Indonesia ada kehidupan bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Saya ingin bangsa Indonesia maju dalam kekayaan materialnya, dalam keuangan dan kebendaan. Akan tetapi kekayaan uang dan benda berada dalam kendali moralitas dan kewajaran hidup sehingga bukan uang dan benda yang menguasai kehidupan dan cara berpikir kita, melainkan kepatutan dan kewajaran atas dasar tenggang rasa. Saya tidak ingin di Indonesia terjadi kesenjangan lebar antara pihak kaya dan pihak miskin. Kalau ada yang miskin harus kita usahakan agar ia dapat meningkat ke orang yang tidak miskin.
Saya juga ingin ada organisasi kepolisian dan aparat hukum lainnya yang berfungsi efektif untuk menghadapi berbagai masalah keamanan dan pelanggaran hukum secara adil dan merata di seluruh bangsa. Dengan begitu kita dapat tegakkan dan pelihara kehidupan bangsa yang benar-benar tata tentrem karta rahardja sebagaimana petuah para leluhur kita. Di atas ini semua saya ingin agar kehidupan bangsa Indonesia selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.
Saya yakin bahwa Indonesia yang saya inginkan itu akan dapat menghasilkan Peradaban Indonesia yang amat bermanfaat bagi perkembangan umat manusia dan akan selalu tercatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Segala impian atau keinginan ini selalu kuat dalam pikiran dan perasaan saya hingga kini. Namun saya harus menerima kenyataan bahwa impian ini masih jauh, jauh sekali, dari kenyataan yang ada. Sebab itu sekalipun sudah tergolong lansia, buat saya Perjuangan Belum Selesai !.”
Dalam kaitan dengan perbaikan kualitas manusia dan masyarakat yang dicita-citakan, pendidikan agama diakui memiliki peranan besar. Menurut Sayidiman, selain perubahan mendasar dalam pendidikan, juga penting sekali adanya perubahan di dalam sikap kepemimpinan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Ia menggambarkan, bagaimana upaya menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, kita dapat mendidik anak untuk secara taat shalat lima waktu, tetapi mengapa kita kurang sanggup untuk menerapkan ketaatan itu di luar ritual shalat. Seperti ketaatan dalam bentuk disiplin, ketaatan untuk bekerja keras, untuk memelihara kebersihan, hidup jujur dan lain lagi. Pelajaran agama dan moral yang diberikan di sekolah agar lebih tertuju dan dihadapkan kepada kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Jadi, menurutnya, kalau Indonesia dapat mencapai kemajuan, itu tiada lain dari bukti keberhasilan Islam untuk menciptakan kemajuan bangsa.
Perginya Seorang Patriot Bangsa
Sayidiman tokoh yang langka karena pernah mengalami beberapa rezim pemerintahan sejak masa kolonial hingga lahirnya negara nasional. Sebagai guru bangsa ia mengalami aneka peristiwa dan perubahan politik di Tanah Air hingga era reformasi.
Tokoh yang produktif menulis hingga berusia lanjut itu berpesan kepada generasi muda bahwa peningkatan pengetahuan tidak mungkin hanya didasarkan pada pendengaran saja, tapi harus bersedia membaca, agar memiliki kecakapan yang bermutu. Dalam era digital, Sayidiman aktif menuangkan buah pikirannya melalui personal blog sayidiman.suryohadiprojo, perjuangan, pengabdian dan kesetiaan seorang prajurit.
Buku karyanya, antara lain: Taktik dan Teknik Infantri (edisi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, 1954), Suatu Pengantar Dalam Ilmu Perang: Masalah Pertahanan Negara (1964), Langkah-Langkah Perdjoangan Kita (1971), Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup (1982), Menghadapi Tantangan Masa Depan (1987), Pancasila, Islam, dan ABRI (1992), Membangun Peradaban Indonesia (1995), Kepemimpinan ABRI (1996), Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI, Sebuah Otobiografi (1997), Si Vis Pacem Para Bellum, Membangun Pertahanan Negara Yang Modern dan Efektif (2005), Rakyat Sejahtera Negara Kuat – Mewujudkan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (2007), Pengantar Ilmu Perang (2009), Mengobarkan Kembali Api Pancasila (2014), Sayidiman’s Collected Writings – in English, Dutch & Deutsch (2014), Budaya Gotong Royong dan Masa Depan Bangsa (2016), danbuku terakhir Masyarakat Pancasila (2019).
Dalam suasana silaturahim dan halal bihalal Idul Fitri tanggal 6 Juni 2019, saya mengunjungi Bapak Sayidiman di kediamannya. Saya membawa buku otobiografi Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI dan meminta tanda tangan beliau.
Sampai tutup usia Sayidiman senantiasa menghayati dan mengamalkan makna “membela keadilan suci kebenaran murni”, sesuai kata-kata pada lagu Hymne Taruna yang terakhir dinyanyikannya dan divideokan oleh cucunya sekitar bulan November 2020.
Pada tanggal 5 Mei 2020 Sayidiman menulis renungan berjudul Lansia dan COVID 19 di blog pribadinya.
Saya kutip beberapa alinea sebagai berikut:
“Buat orang yang umur 93 tahun mengalami gangguan Covid-19 adalah benar-benar satu musibah. Selain harus merasakan berbagai kekurangan yang dibawa oleh bertambahnya umur, seperti berkurangnya pendengaran, sakitnya lutut dan lainnya, sekarang juga harus waspada terhadap berbagai kemungkinan gangguan yang disebabkan merajalelanya virus itu terhadap kondisi badan. Keharusan melakukan isolasi sosial atau social distancing menimbulkan hal-hal baru yang harus dialami. Yang menonjol adalah keharusan untuk tinggal di rumah. Sekalipun sebelum ada masalah covid-19 saya sudah jarang pergi, tetapi sekarang ada hal baru. Anak dan cucu dan buyut tidak bisa datang untuk diajak omong-omong. Terasa sekali perubahan ini yang tak pernah terpikir sebelumnya. Akibatnya adalah Hidup Untuk Diri Sendiri. Ini membawa kita banyak berbicara dengan diri sendiri. Maka kita menjadi banyak termenung tentang Masa Lampau. Teringat hal-hal di masa itu yang menjadi terpikir yang tak akan terjadi bila tidak ada Isolasi. Merasa senang bila bisa hubungan dengan Teman Masa Lampau. Kalau kita terima WA dari mereka senang rasanya. Juga kalau kita WA dan ia menjawab. Yang jelas adalah bahwa kondisi Isolasi membawa Rasa Pasrah dan Ikhlas. Makin sadar akan Kekuasaan Tuhan dan bahwa segalanya akhirnya di Tangan-Nya. Dan karena umur terus bertambah menjadi bertanya seberapa lama Tuhan masih memberi peluang Hidup. Tapi tak ada gunanya berspekulasi kapan Covid-19 akan berakhir di Indonesia, sebab semua prediksi termasuk yang sok ilmiah akhirnya bersifat spekulasi. Tentu tak pernah abaikan Doa mohon Tuhan agar Covid 19 segera selesai. Tetapi kalau keadaan makin runyam karena covid-19 atau hal lain, yah kita pasrah saja dan menunggu apa yang dikehendaki Tuhan Yang Maha Kuasa. Termasuk seberapa lama kita masih ada di Alam ini.”
Selamat jalan patriot sejati. Semoga mendapat tempat yang penuh kebahagiaan di sisi Allah SWT.