Kolom Zaenal Abidin
Ahad, 24 November 2024, penulis diundang oleh Depatemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter – PB IDI untuk menjadi penanggap dalam diskusi bertajuk, “Kiprah dr. Abdoel Rasjid: Perjuangan Bangsa dan Perintis Perthabin sebagai Cikal Bakal IDI.” Dokter Abdoel Rasjid pernah pernah menjadi ketua perkumpulan dokter pribumi zaman Belanda dan Jepang, sampai menjadi tokoh penting untuk lahirnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 5 tahun setelah Indonesia merdeka.
Keberadaan perkumpulan dokter di dalam suatu bangsa sangat penting menciptakan tatanan kesehatan bagi bangsa tersebut. Terlebih lagi perkumpulan dokter di Hindia Belanda, yang muncul akibat perlawanan terhadap birokrasi kolonial. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kelahiran dan keberadaan perkumpulan dokter di belahan dunia lainnya.
Persinggungan mereka yang intens dengan sains dan kemajuan mengilhami mereka turut aktif dalam pergerakan nasional dan membentuk perkumpulan sebagai wadah memperjuangkan nasionalisme.
Para dokter pribumi di samping menjadi aktor bangsa, aktor perkembangan keilmuan, dan juga harus memperjuangkan strata mereka atas diskriminasi yang diperoleh dari para dokter Eropa. Perbedaan kewenangan dalam dunia kerja, perbedaan gaji yang mencolok, dan diskriminasi sosial yang dirasakan oleh dokter pribumi, menjadikan sekelompok dokter pribumi sadar dan bertekad mendirikan sebuah asosiasi khusus untuk dokter pribumi sendiri.
Kesadaran dan tekad untuk bisa setara dengan dokter Eropa tidak hanya muncul dari kalangan dokter pribumi sendiri, namun juga atas dorongan rekan-rekan dokter Eropa di lingkungan STOVIA. Tercatat dr. H. F. Rool yang banyak mendorong para pelajar STOVIA untuk melanjutkan studi agar dapat menghilangkan hambatan birokrasi para pelajar yang akan melanjutkan studi ke negeri Belanda. Dokter H. F. Rool menginginkan agar para pelajar STOVIA untuk tidak merasa inferior dari dokter Eropa.
Berkat semangat dan motivasi tinggi dan dorongan dr. H. F. Rool, pemerintah kolonial kemudian membuka program studi lanjut bagi para pelajar STOVIA yang akan melanjutkan ke Belanda. Terdapat dua puluh orang generasi pertama yang melanjutkan studi di Belanda, diantaranya Abdul Rivai, Asmaoen, Mas Boenjamin, H.D. Jan Apituley, J. E. Tehupeiory dan W.K. Tehupeiory.
Selama menjalani studi di negeri Belanda para pelajar STOVIA tersebut melibatkan diri dalam perkumpulan sosial, budaya, dan politik. Mereka memperbincangkan kondisi pendidikan pribumi sampai kepada bagaimana memperbaiki kedudukan dokter pribumi dalam tatanan kesehatan.
Tanggal 17 September 1909, satu setengah tahun setelah berdirinya Boedi Oetomo, betempat di Aula STOVIA, yang dihadiri oleh banyak dokter pribumi, atas prakarsa dr. W. K. Tehupeiory dan dr. Raden Mas Boenjamin berdirilah asosiasi dokter pribumi pertama yang bernama Vereeniging van Inlandsche Geneeskundige (VIG). Dan, sejak diakuinya dalam Gouvernements Besluit, 29 September 1911 No. 58, VIG mulai lantang bersuara. VIG kerap mengirim surat pada Gubernur Jenderal menggugat besaran gaji dokter pribumi.
VIG yang dalam beberapa literatur sering ditulis secara bangantian Vereeniging van Inlandsche Arstsen, namun tetap menggunakan singkatan VIG. Mengenai kapan dan mengapa nama itu berubah atau sering disebutkan secara bergantian, kita serahkan saja kepada para sejarawan Indonesia dan sejarawan kedokteran untuk menjelaskannya. Yang pasti para pendiri VIG dan tokoh-tokoh sesudahnya, seperti dr. Abdoel Rasjid, semua bertujuan memajukan kepentingan dokter pribumi dan mempromosikan kesehatan penduduk pribumi.
Dr. Abdul Rasjid Tokoh VIG, Perthabin, dan IDI
Gejolak ekonomi atau malaise yang turut melanda Hindia Belanda tahun 1930, juga berpengaruh pada kemerosotan pelayanan kesehatan. Para dokter pribumi juga merasakan dampaknya. Anggaran kesehatan dan gaji yang mereka terima selama bekerja di rumah sakit maupun praktek pribadi menjadi tidak menentu. Keadaan ini juga berimbas pada stagnannya aktivitas VIG.
Namun, setelah delapan tahun kemudian, VIG kembali dihidupkan lagi oleh para anggotanya, dimulai pada 24 Desember 1938 saat VIG kembali mengadakan kongresnya di Semarang. Pada kongres ini terdapat tiga topik utama yang dibahas: Pertama, terkait posisi dokter pribumi pasca desentralisasi layanan kesehatan. Kedua, mulai menyuarakan untuk mengubah nama Vereeniging Indische Geneeskundigen.
Nama baru yang disepakai adalah Vereeniging Indonesische Geneeskundigen. Perubahan nama ini berkaitan dengan semakin menguatnya sentimen nasionalisme saat itu. Ketiga, topik bahasan yang memperoleh porsi yang cukup besar adalah mengidentifikasi tingginya tingkat kematian ibu dan bayi di Hindia Belanda.
Pada topik bahasan ketiga ini menimbukan perdebatan sengit para peserta, sampai akhirnya VIG menyimpulkan bahwa tingginya tingkat kematian ibu dan bayi di Hindia Belanda terjadi akibat dari masalah berkepanjangan atas kurangnya tenaga dokter dan bidan, sementara pemerintah sendiri lamban dalam menanganinya.
Selanjutnya, ketika VIG sedang tekunnya mengembangkan nasionalisme medis serta berintegrasi dengan pemerintah, internal korps dokter pribumi sendiri dilanda kekhawatiran. Hal ini terjadi karena sejak Geneeskundige Hoogeschool (GHS) meluluskan beberapa dokter, para petinggi VIG khawatir akan terjadinya perpecahan internal para dokter pribumi, akibat perbedaan strata lulusan.
Seperti ketahui, saat itu reputasi dokter lulusan NIAS yang masih berupa Sekolah Tinggi, stratanya dianggap masih rendah. Berbeda dengan lulusan GHS yang sudah setara dengan Universitas di Belanda. Karena itu, pada kongres VIG 1939 VIG di Semarang, tema utama yang menjadi sorotan adalah bagaimana melanjutkan perjuangan dr. Abdul Rivai agar NIAS dapat bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi.
Tahun 1940 VIG mengadakan kongres di dalem Z.H Susuhunan, Ngabean, Surakarta dan memilih dr. Abdoel Rasjid sebagai Ketua Dewan Pusat VIG. Di VIG, dr. Abdoel Rasjid bukanlah orang baru, sebab sejak tahun 1938 ia sudah aktif di VIG.
Kedudukan dr. Abdoel Rasjid menjadi makin strategis, sebab bersama kakak kandungnya Abdoel Firman Siregar Mangaraja Soeangkoepon (politikus) terpilih sebagai anggota Dewan Rakyat (Volksraad). Dokter Abdoel Rasjid menjadi anggota Volksraad menjadi selama 3 periode (1931-1935-1939). Sedang kakaknya menjadi anggota selama 4 periode (1927-1931-1935-1939).
Di Volksraad dr. Abdoel Rasjid semakin leluasa melancarkan agenda misinya. Ia mendapat kepercayaan dari para dokter untuk mengeritik rendahnya remunerasi dokter. Ia juga memimpin VIG untuk lebih serius meneruskan cita-cita Abdul Rivai memperjuangkan transformasi NIAS.
Pada kongres VIG di Purwokerto, 11-13 April 1941, secara kongkret membahas masalah teknis, pertimbangan strategi baru, sistem pendidikan dan anggaran yang akan dipersiapkan untuk transformasi NIAS.
VIG menyegerakan pengajuan ini pada Volksraad untuk mencegah potensi perpecahan dokter pribumi lulusan GHS dan STOVIA. Semua pertimbangan dan persiapan yang telah dimatangkan diputuskan bahwa 5 Juni 1941 Dewan Pusat VIG mengirimkan surat kembali pada Volksraad untuk pengajuan transformasi NIAS.
Saat VIG sedang berada dibawah kepemimpinan dr. Abdoel Rasjid yang progresif dalam program-program nasionalisme medisnya, Jepang datang menginvasi Hindia Belanda (1942). Akibat invasi tersebut, dr. Abdoel Rasjid dan para anggota VIG akhirnya memilih melunakkan diri dan mengubah nama VIG menjadi Persatuan Thabib Indonesia (Perthabin).
Pada masa pendudukan Jepang posisi politik dr. Abdoel Rasjid juga cukup penting. Tercatat pada tahun 1943, ia diangkat menjadi anggota Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbang Pusat) besama tokoh nasional lain, yang diketuai Ir. Soekarno. Walau Chuo Sangi-in tidak memiliki kebebasan mengkritik pemerintah seperti Volksraad, namun tetap memiliki arti penting dalam perjuangan. Terutama terkait kesehatan, mempertinggi derajat rakyat, Industri dan ekonomi, pendidikan dan penerangan, serta kemakmuran dan pemberian bantuan sosial.
Kembali ke perubahan nama VIG menjadi Perthabin, ini tentu merupakan strategi dr. Abdoel Rasjid dan koleganya untuk menghindari sentimen kolonial dengan penyebutan asosiasi dokter yang dianggap produk pemerintah Hindia Belanda. Pada 1943, Perthabin pun berubah nama menjadi Izi Hokokai atau Djawa Izi Hokokai di bawah kepemimpinan dr. Abdoel Rasjid yang dihadiri 240 dokter.
Dokter Boentaran yang saat itu juga dipercaya dalam Djawa Izi Hokokai mendesak para dokter untuk mengikuti pelayanan medis Jepang. Ia mempresentasikan beberapa inisiatif kesehatan di antaranya: penelitian diet, klinik ibu dan anak, norma nutrisi yang memadai, dan mengkampanyekan olahraga atau pendidikan jasmani.
Selain itu, juga fokus dalam hal penyelidikan khasiat jamu dan tanaman tradisional untuk menggantikan obat-obatan barat dan bahan kimia. Rekan dr. Abdoel Rasjid, dr. Raden Mochtar yang juga aktif dalam asosiasi ini menuliskan sebuah buku resep herbal. Buku yang ditulisnya membawa pesan yang kuat untuk merangkul orang Indonesia pada warisan pengobatan tradisional dan usaha patriotik untuk menghentikan penggunaan obat-obatan barat.
Peran dr. Abdoel Rasjid dalam melahirkan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter Indonesia sangatlah besar. Seperti diketahui, setelah Indonesia merdeka (sebelum IDI lahir) sudah terbentuk dua perkumpulan dokter. Perthabin sebagai kelanjutan VIG (dibubarkan oleh Jepang) dan Djawa Izi Hokokai (bubar setelah Jepang pergi), eksis kembali dan masih dipimpin oleh dr. Abdoel Rasjid serta Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI) yang dibentuk oleh dokter-dokter muda di bawah pimpinan dr. Darma Setiawan Notohatmodjo.
Dokter-dokter muda ini tidak bersedia menjadi anggota Perthabin karena dinilai berbau Jepang dan mayoritas anggotanya lulusan STOVIA dan NIAS. Namun, berkat moral tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan disertai kesadaran yang tinggi pula maka para tokoh Perthabin dan PDI dapat membawa penyelesaiaan yang mulia.
Menurut Bahder, andai tokoh kedua belah pihak tidak memiliki moral dan keinsyafan tinggi maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Hal ini tergambar pada rapat, 30 Juli 1950 di rumahnya dr. R. Soeharto, di Jl. Kramat 128 Jakarta (kini Apotek Titi Murni). Ketika itu dr. R. Soeharto menginisiasi rapat untuk membicarakan pendirian organisasi profesi Dokter Warga Negara Indonesia yang baru. Tokoh kedua organisi dokter pun diundang dan kedunya hadir.
Dalam rapat, ada usulan agar kata “dokter” diganti dengan nama “thabib”, namun usulan itu tidak diterima peserta rapat. Dokter R. Soeharto sendiri tidak mengusulkan penggunaan kata “persatuan” agar tidak terkesan PDI yang melebur ke dalam Perthabin. Dan juga tidak memilih kata “perkumpulan” agar tidak terkesan Perthabin yang melebur ke dalam PDI. Beliau lebih memilih jalan tengah dengan menggunakan kata “Ikatan” sebagai nama Ikatan Dokter Indonesia.
Atas usul dr. Seno Sastroamidjojo dibentuklah pantia penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia yang pertama di di Deca Park, 22-25 September 1950, yang diketua dr. Bahder Djohan. Sebulan setelah penyelenggaraan muktamar, tepatnya 24 Oktober 1950, dr. R. Soeharto yang menjadi panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI, atas nama diri sendiri dan atas nama Pengurus IDI lainnya, menghadap untuk mencatatkan IDI ke Notaris Notaris R. Kardiman guna memperoleh dasar hukum berdirinya IDI.
Tanggal 24 Oktober inilah yang kemudian disebut sebagai Hari Lahir IDI dan sekaligus menjadi Hari Dokter Nasional.
Pejuang Nasionalisme Medis
Dokter Abdoel Rasjid Siregar yang bergelar Magaradja Mahkota Soeangkoepon adalah dokter yang sebelumnya sangat aktif dalam Asosiasi Batak dan terlibat dalam pendirian Batak Studie Fonds. Lahir 1 November 1891 di Padang, Sumatera Barat, Hindia Belanda dan wafat 30 Juni 1951. Dokter Abdoel Rasjid berasal dari keluarga bangsawan Batak Angkola yang berakar di Sipirok.
Dokter Abdoel Rasjid mulai belajar kedokteran di STOVIA, 27 Desember 1910 dan lulus 8 Juli 1914 sebagai dokter pribumi (Inlandsche Artsen). Latar belakang sebagai bangsawan Batak dengan ikatan adat yang kuat ini mempengaruhi dr. Abdoel Rasjid dalam membawa kemudi VIG.
Pada saat memimpin VIG, segenap upaya dilakukan untuk menjunjung tinggi warisan budaya seperti mengekspolorasi dan merevitalisasi pengobatan lokal yang mulai terlupakan di kalangan medis Hindia Belanda. Ia menekankan agar asosiasi lebih fokus pada pembangunan kesehatan bangsa bukan hanya pada kepentingan anggota.
Dokter W. K. Tehupeiory sebagai perintis VIG pun mendukung gagasan dr. Abdoel Rasjid, bahwa dokter Hindia Belanda harus mundur ke lapangan ilmiah, tidak lagi banyak ikut campur dalam aktivitas politik karena kesehatan penduduk dan bangsa adalah yang utama.
Dokter Bahder Djohan, sekretaris senior di VIG mengakui bahwa VIG seolah terlahir kembali dengan semangat baru dan gagasan baru di bawah kepemimpinan dr. Abdoel Rasjid. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh dr. Boentaran Martoatmojo yang menekankan bahwa sejak Desember 1938 merupakan permulaan kembali dengan sebuah pemikiran dan pekerjaan yang lebih teroganisir.
Tahun 1935, dr. Abdoel Rasjid mengunjungi sebuah proyek demonstrasi kesehatan milik Yayasan Rockefeller di Kabupaten Banyumas dan dengan antusias mengadopsi prisinsip-prinsipnya sebagai dasar bagi nasionalisme medisnya. Yayasan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana kesehatan masyarakat miskin dan pedesaan dapat ditingkatkan melalui pendidikan kesehatan dan penyediaan perawatan medis dasar di klinik-klinik sederhana.
Pandangan dr. Abdoel Rasijid ternyata sejalan Yayasan Rockefeller bahwa langkah-langkah tindakan kesehatan masyarakat paling baik diterapkan secara lokal oleh individu dengan pengetahuan menyeluruh tentang adat setempat, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, penyakit, kebersihan, dan tubuh. Karena itu dr. Abdoel Rasijid memunculkan gagasan “nasionalisme medis”, yang mengasumsikan bahwa kesehatan berfungsi mempercepat produktivitas ekonomi dan meningkatkan kekuatan nasional.
Dokter Abdoel Rasjid seorang nasionalis yang ingin merombak kegiatan Dinas Layanan Kesehatan dengan memadukan perspektif sains akademik yang tidak melupakan adat dan warisan budaya Indonesia. Berkat dorongan dan pemikiran beliau sehingga terbuka banyak minat para dokter pribumi untuk meneliti herbal tradisional.
Menurut dr. Abdoel Rasjid, jamu dapat menjadi sebuah simbol kekuatan dan warisan nusantara yang dapat merepresentasikan nasionalisme medis. Jamu akan menjadi kekayaan bangsa jika dapat diteliti dan dikembangkan lebih jauh oleh para saintis kedokteran.
Kepemimpinan dr. Abdoel Rasjid yang moderat dan mau bekerja sama dengan pemerintah, membuat VIG menjadi lebih dekat dengan pemerintah. Gagasan nasionalisme medisnya serta langkah-langkah sistematis yang ingin ditempuhnya disampaikan pada Dinas Kesehatan. Tahun 1941 pemerintah kolonial mengabulkan keinginannya dengan membentuk sebuah komite studi obat tradisional atau jamu yang anggotanya terdiri dari Abdoel Rasjid, Raden Mochtar, dan Goelarso.
Tahun 1940, saat DVG mengalami puncak kondisi kekurangan dokter di berbagai wilayah, Dewan Pusat VIG mengorganisir para anggota dokter swasta yang tidak memiliki kontrak dengan DVG untuk membantu pemerintah. Selanjutnya VIG membuat Surat Edaran yang kemudian didistribusikan untuk mengingatkan anggota akan panggilan kemanusiaan. Dokter Abdul Rasjid melihat bahwa hal ini merupakan kesempatan terbaik untuk membuktikan bahwa para anggota VIG selalu tanggap terhadap situasi kesehatan penduduk.
Catatan Akhir
Para dokter pribumi yang menghimpun diri dalam satu perkumpulan benama VIG berkehendak untuk menggunakan status mereka sebagai anggota profesi medis yang kosmopilitan, guna menghapus perbedaan dengan kolega di belahan bumi manapun. Termasuk menghapus perbedaan strata antara sesama dokter pribumi.
Bahkan hendak menghapus perbedaan antar orang Eropa dan penduduk pribumi. Karena itu, mereka menyebarkan prinsip universalisme yang melekat pada dunia sains dan kedokteran serta prinsip egalitarianisme profesi medis, yang cenderung lebih menghargai keahlian, studi pelatihan, dan prestasi sebagai pembeda di antara mereka.
Bahkan setelah terjadinya fusi antara Perthabin yang dipimpin dr. Abdoel Rasjid dan PDI yang dipimpin dr. Darma Setiawan Notohatmodjo, yang kemudian berfusi dan melahirkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), semangat tersebut tetap dipertahankan, bahkan menjadi tujuan utamanya.
Banyak jasa dr. Abdoel Rasjid dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Terlebih lagi di dalam perkumpulan dokter pribumi mulai dari VIG sampai lahirnya IDI, yang tidak dapat dicatat satu persatu. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dr. Abdoel Rasjid merupakan tokoh penting (kunci) bagi keberlangsungan pendidikan dan pelayanan kedokteran/kesehatan pada masa pendudukan Jepang. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dotker Indonesia, periode 2012-2015 dan Ketua Umum Himpunan Dokter Fasyankes Dokter Indonesia