Kolom Dr. Andi Jaya Sose
Politik transisi memerlukan karakter dan strategi. Indonesia sedang menunggu keajaiban dan keajaiban itu hanya bisa dihasilkan dari mereka yang punya harapan.
Jadi menantilah dalam kecemasan karena itu tabiat manusia, tetapi memastikan perubahan itu adalah panggilan dari langit.
Dari beberapakali peralihan kepemimpinan nasional selalu ada ruang perdebatan kritis yang menyisahkan suatu problematika, khususnya kualitas demokrasi. Apakah transisi ini hanya sekadar pertukaran kuantitif belaka.
Kepemimpinan adalah sebuah kombinasi antara strategi dan karakter. Jika harus bertindak tanpa salah satu dari keduanya, lebih baik bertindak tanpa strategi kata Norman Schwarzkopf.
Pertanyaan mendasar untuk melihat karakter kepemimpinan di beberapa kali peralihan kepemimpinan nasional terutama rezim Orde Baru saat itu bisa diajukan dengan kutipan di atas; kira-kira, perilaku rezim Soeharto menunjukkan karakter atau strategi?
Saya cenderung menjawab dengan gamblang bahwa Soeharto lebih berpikir soal karakter dalam menerima masukan dari tokoh-tokoh civil sociaty ketika itu sehingga pergantian dirinya dalam rangka demi stabilitas politik dapat terjaga sehingga BJ Habibie melanjutkan meskipun sangat drastis perubahan politik Habibie otokratik ke demokratisasi dengan segala efek sampingnya.
Begitu juga di era reformasi demokrasi parlemen melahirkan sosok Gusdur yang sebagian pengamat menyatakan suatu ekses politik ketika itu Megawati sangat kuat yang muncul sebagai figur simbol dari kekerasan Orde Baru yang sulit dibendung termasuk stigma pemimpin wanita yang tidak diperbolehkan oleh kalangan agama terutama umat muslim ketika itu.
Akhirnya Gusdur dilengserkan juga dalam hitungan waktu yang sangat cepat dan digantikan oleh Megawati, di era reformasi. Lambat laun demokratisasi menjadi pilihan sebagai harapan menjadi negara modern.
Peralihan dari Mega ke Susilo Bambang Yudoyono lewat kontestasi politik dimenangkan oleh SBY dan selanjutnya dari SBY ke Jokowi suatu proses kontestasi yang cukup membuang energi, akan tetapi SBY tetap juga memperlihatkan suatu katakter untuk tidak mempergunakan kekuasaanya untuk
meletakkan mahkota pilihannya.
Pertanyaan mendasar untuk melihat karakter kepemimpinan rezim Jokowi saat ini bisa diajukan dengan kutipan di atas; kira-kira, perilaku rezim akhir-akhir ini menunjukkan karakter atau strategi? Saya cenderung menjawab dengan gamblang bahwa rezim lebih berpikir soal strategi dalam rangka mengamankan hasil kerjanya ketimbang memperlihatkan kebesaran jiwanya sebagai karakter murni yang diperlukan seorang pemimpin. Negarawan akan menonjol dan dicintai rakyat karena posisi politiknya selalu berpihak kepada kepentingan umum.
Tetapi ketika seorang pemimpin hanya berpikir bagaimana menyelamatkan kroni dan kekuasaannya serta memperlihatkan keberpihakannya kepada kelompok tertentu, dapat dipastikan bukan hanya tak memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, tapi juga strategi yang salah dalam mengakhiri kekuasaannya.