PPP di Persimpangan, Mencari Jalan Tengah atas Dualisme Kepemimpinan

0
60
- Advertisement -

 

Catatan Muchlis Patahna

Ketua Dewan Pembina KKSS)

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali dihadapkan pada situasi klasik, yakni dualisme kepemimpinan. Fenomena ini bukan pertama kali terjadi dalam sejarah politik kita. PPP sebagai partai tua yang menjadi salah satu simbol aspirasi umat Islam, kini kembali terguncang karena perebutan kursi ketua umum yang melahirkan dua kubu.

Beberapa waktu lalu, salah satu faksi mengusulkan figur Andi Amran Sulaiman untuk tampil sebagai ketua umum. Pada kesempatan itu, saya sempat menyarankan bahwa langkah tersebut sebaiknya dilakukan dengan pertimbangan matang, mengingat PPP bukan sekadar kendaraan politik, tetapi juga rumah besar umat yang membutuhkan stabilitas dan soliditas.

Di tengah kondisi ini, Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral dalam menyikapi dualisme. Namun, menurut hemat saya, sikap netral pemerintah justru dapat memperpanjang ketidakpastian. Pemerintah tidak boleh menjadi penonton. Negara, melalui Kementerian Hukum dan HAM, memiliki kewenangan penuh untuk menilai mana kepengurusan yang konstitusional berdasarkan AD/ART dan hasil forum musyawarah tertinggi partai.

Mengulur keputusan hanya akan melemahkan soliditas PPP dan membuat kader di bawah bingung menentukan arah. Jadi perlu segera mencari jalan keluar agar dualisme kepemimpinan ini terurai dengan baik.

Pertama, peran aktif pemerintah. Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam atas dasar hukum internal partai, kemudian mengesahkan salah satu kepengurusan yang sah. Sikap tegas ini penting untuk mencegah PPP terbelah berkepanjangan. Dan umat pasti jadi korbannya.

Kedua, jalur rekonsiliasi internal. Faksi-faksi yang bertikai harus membuka ruang dialog dengan melibatkan tokoh senior PPP maupun ulama sebagai penengah. PPP tidak bisa terus-menerus diposisikan sebagai partai yang selalu bermasalah menjelang kontestasi politik. Sebagai partai berbasis agama, sudah semestinya perbedaan diselesaikan melalui musyawarah dan semangat ukhuwah.

Ketiga, reorientasi visi partai. PPP perlu kembali pada khitah perjuangan, yaitu menjadi partai Islam yang memperjuangkan aspirasi umat dalam bingkai kebangsaan. Jika hanya disibukkan dengan perebutan kursi ketua umum, PPP akan semakin ditinggalkan pemilih dan menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik.

Karena itu, kisruh dualisme ini hendaknya menjadi momentum introspeksi. PPP seharusnya tampil sebagai partai yang memberi teladan, bukan sekadar ikut dalam pusaran perebutan kekuasaan. Pemerintah wajib hadir memberi kepastian hukum, sementara kader PPP harus mengedepankan persatuan.

Sejarah akan mencatat, apakah PPP memilih jalan pecah atau kembali tegak sebagai partai yang menyatukan umat. Wallahu alam.

Perth, 1 Oktober 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here