Presiden Diminta Tunda UU Cipta Kerja, Didi Irawadi Syamsuddin: Cacat Prosedur

0
761
Aksi unjuk rasa yang menolak UU Cipta Kerja. (Foto Tempo.co).
- Advertisement -

PINISI.co.id- Kalangan masyarakat sipil, para akademisi, dan dua ormas NU dan Muhammadyah meminta Pemerintah dan DPR membuka diri terkait UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pekan lalu.

Terkini, Forum Rektor Indonesia (FRI) juga berharap pemerintah dan DPR untuk membuka diri guna menampung aspirasi dan masukan-masukan kritis dari para pihak yang sama-sama bergerak atas dasar cinta kepada bangsa Indonesia.

FRI akan memberikan masukan ke pemerintah dan DPR khususnya hal-hal yang krusial yang menjadi perhatian masyarakat sehingga pemerintah dapat mengambil langkah solusi alternatif yang dimungkinkan secara hukum.

Para pengritik mendesak pemerintah transparan, mengingat sejumlah klarifikasi dari pemerintah terkait UU sapu jagat ini tidak jujur, parsial dan simpang siur, lantaran dipicu ketidakjelasan draf RUU yang beredar.

Karena itu, pemerintah diimbau membuka draft RUU versi final serta tidak melanjutkan pembahasan rancangan peraturan turunan sebelum ada kepastian draft yang final. Sampai hari ini draft resmi yang mendapat penolakan belum dapat diakses publik, sebagaimana dilansir Kompas, Senin (12/10/20).  

- Advertisement -

Anggota DPR Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan pembahasan RUU Cipta Kerja cacat subtansi dan prosedur.  Sekalipun tak ada keharusan di dalam tata tertib DPR untuk membagikan naskah UU yang akan disetujui di dalam paripurna, sudah menjadi konvensi  bahwa setiap anggota DPR dibagikan naskah RUU yang akan diambil keputusan.

“Harusnya pimpinan DPR memastikan naskah RUU yang begitu penting dan krusial yang berdampak pada buruh, pekerja, UMKM, lingkungan hidup, sudah di tangan DPR,” kata putra Amir Syamsuddin, Dewan Pakar KKSS.

Sementara pernyataan sikap keluarga besar dan mitra ICRP (Indonesian Conference on Religiion and Peace ) yang diketuai Dr. Musda Mulia, yang juga Dewan Pakar KKSS menilai penetapan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru di tengah konsentrasi kita bersama melawan pandemi Covid-19.

Sebab itu, ICRP meminta kebesaran hati Presiden untuk membuka ruang-ruang dialog solutif dan komunikasi lebih luas dengan pihak-pihak terkait.

Surat pernyataan  tertanggal 10 Oktober 2020 ini, berharap presiden menunda dengan mekanisme yang berlaku sampai situasi menjadi kondusif.

Akan halnya editorial Koran Tempo, Senin (12/10/20) menegaskan, tak ada gunanya terburu-buru memberlakukan UU Citpa Kerja meski telah disahkan DPR. Presiden sebaiknya menerbitkan Perpu untuk kemudian membahas ulang UU ini dari awal.

UU ini disusun tanpa banyak melibatkan partisipasi publik. Aturan baru banyak mengakomodasi kepentingan pengusaha, memarginalkan pekerja, mengabaikan kelestarian lingkungan, dan cenderung mengarahkan negara kembali ke kekuasaan sentralistik.

Sepandangan dengan Tempo, Kompas dalam tajuknya hari ini berpendapat, publik belum mendapat akses pada naskah RUU Cipta Kerja. Apabila pemerintah dan DPR bersungguh-sungguh menyusun RUU Cipta Kerja untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu saja, hendaknya segera mengunggahnya di laman DPR. Pengecekan pun dapat dilakukan untuk mencegah masuknya pasal-pasal susupan sebelum RUU ditandatangani Presiden.

Hal ini selaras dengan usulan pakar hukum tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar bahwa Presiden masih dapat bersikap terhadap UU Cipta Kerja yakni tidak menandatangani UU Cipta Kerja, setidaknya menunjukkan sikap yang mendengarkan aspirasi publik. (Lip)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here