Prof. Hafid Abbas dan Prof Nasaruddin Umar, Guru Sufi yang Terus Mendidik, Bagaimana Rahasianya

0
516
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

SAYA bersyukur menjadi salah seorang yang mengenal dekat dengan beliau, ketika menjadi Sekretaris Pelaksana periode awal kepengurusan Ketua Umum BPP KKSS Prof. Beddu Amang.

Ketika itu Beddu Amang didaulat menjadi Ketua Umum Yayasan Pendidikan Latimojong bersama sejumlah tokoh masyarakat Sulsel yaitu A. Amiruddin, Muh Jafar Hafsah, Hafid Abbas, Mannawi, Ahmad Kalla Dll.

Saya yang dipercayakan oleh Pak Beddu untuk menangani administrasi sekretariatnya yang menyatu dengan KKSS.

Begini cara Pak Beddu mendidik dan mengkader saya, yang bagi saya saat itu cukup berat.

- Advertisement -

Saya dilibatkan rapat-rapat, mengurus program kerja beasiswa, penggalangan dana dan pembangunan SMU Unggulan di Malino.

Rutin bertemu Guru Sufi Nasaruddin Umar dan Hafid Abbas pada tablik Tauisyah Puasa Ramadhan di majlis KKSS dan Institut Lembang Sembilan.

Sejak itu, saya tidak ingin kehilangan momentum kapan dan di mana kedua tokoh mentor saya itu bersyiar.

Kemudian juga saya menyadari keterbatasan untuk menyerap ilmu kedua beliau itu. Lalu saya merenungkan dengan cara apa saya bisa memiliki pemahaman apa yang dituliskan dan ditausyiakan beliau.

Lalu saya tafakkur berdoa memohon : ya Allah jadikanlah berkah pemahaman dan kemanfatan dari ilmu kedua guru sufi itu, aamiin.

Menunggu 20 Tahun, Baru Memulai Kontinu Menulis.

SELAMA sekian lama sebagai operator pekerja organisasi, saya lebih banyak melakukan hal hal teknis belum punya analisis renungan yang mendalam. Saya harus bekerja efektif dan sistimatis, orang mengenalnya saya sebatas operator.
.
Untuk menulis yang bermakna tidak cukup hanya yang didengar lewat percakapan, tapi perlu melengkapi diri dengan bacaan bacaan literatur tefrensi.

Karena itu dalam lima tahun ini, alhamdulillah saya dapat membaca literatur klas esiklopedia yang ratusan halaman, sungguh sebuah tatangan dan saya harus memulainya.

Resume Testimoni Tiga Karya Besar

IZINKAN saya mengutip dua testimoni Guru Sufi ini dari tiga buku refrensi ;
Jati Diri Manusia Bugis, Mashadi Said, 2016 sebagai berikut :

Karya itu merupakan konstruksi teoritis Manusia Bugis sebagai suatu wujud kebudayaan berupa kompleksitas ide, gagasan, nilai nilai dan peraturan yang dianggap baik dan benar oleh masyarakat Bugis dalam katagori pandangan Koentjaraningrat yang membagi wujud kebudayaan itu ke dalam tiga kategori : 1. wujud kebudayaan berupa gagasan, ide ide, nilai nilai dan peraturan ; 2. wujud kebudayaan sebagai kompleksitas kegiatan , aktivitas sehari hari berupa kelakuan yang berpola pada masyarakat, dan ; 3. wujud kebudayaan berupa benda benda hasil karya masyarakat.

Konstruksi teoritis tentang Manusia Bugis yang dibangun penulis dalam buku ini, merupakan usaha yang patut dihargai sebagai suatu karya yang dapat mengingatkan generasi Bugis dan memberikan penyadaran serta pemahaman kepada generasi baru Bugis akan jati dirinya.

Peradabsn Bugis atau dikenal sebagai ; Pangadereng, yaitu bagaimana seorang Bugis memandang dunia realitas , bertutur kata, berperilaku dan berkarya yang diuraikan penulis dalam buku ini.

Inti peradaban Bugis itu adalah Siri dam Pesse yang semakin menemukan dirinya dalam dunia global saat ini.

Siri adalah harga diri atau harkat dan martabat mamusia yang selalu dijunjung tinggi sebagai manusia (tau) dan Pesse atau driving force, yaitu motivasi tinggi untuk berprestasi, bertindak dan memperjuangkan Siri yang diuraikan sercara baik oleh penulis buku ini.

Tentunya sangat sesuai dengan semangat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta filosofi negara negara maju pada umumnya.

Nilai nilai yang dikemukakan penulis merupakan galian dari Lontara, naskah klasik Bugis, serta ungkapan klasik yang masih terserakan di kepala para tetua Bugis.

Salah satu epik sastera klasik terpanjang di dunia yang saat ini diabadikan dengan sangat baik oleh KTLV di Leiden Universty.

Prof, DR. KH. Nasaruddin Umar, M. A ., Menjadi Selebriti Langit :

PADA pertengahan 2004, ketika masih Direktur Jenderal di Direktorat Jenderal Perlindungan HAM Kementerian Kehakiman dan HAM RI, saya berkesempatan mengunjungi Pesanteren Al Ikhlas yang berlokasi di Desa Ujung, Kecamatan Dua PoccoE, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Pesantren ini didirikan oleh Prof. DR. KH. Nasaruddin Umar untuk memberi pelayananan pendidikan berkualitas dan berasrama bagi siswa usia pendidikan dasar hingga menengah yang tidak hanya dari daerah setempat tetapi juga dari daerah lain seluruh wilayah tanah air.

Keberadaan lembaga pendidikan di pedesaan ini mengingatkan saya pada tuturan seorang Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Marthin Luther King 1964 atas perjuangannya membebaskan warga kulit hitam di Amerika Serikat dari segala bentuk keterbelakangannya.

Saya sangat tersentuh membaca tulisan yang terpahat di museum depan pusaranya di Atlanta, Amerika.

Martin tertembak mati 4 April 1968 karena perjuangan pembelaanya pada kaum kulit hitam yang tertindas.

Prof. Nasaruddin Umar hadir untuk mencerahkan kehidupan masyarakat pedesaan terpencil.

Sekolah adalah jendela utama perluasan wawasan anak desa menjadi anak kota kemudian berwawasan nasional, regional dan global.

Kumpulan kuliah Ramadhan Prof. Nasaruddin dengan beragam tema dan topiknya adalah mosaik yang penuh warna menggambarkan latar belakang kebhinekaan akademik, keagamaan, pemerintahan dan kemasyarakatan untuk bangsa, umat dan negaranya.

Akan halnya Prof Hafid adalah penulis yang produktif. Delapan jilid buku Esiklopedi Pemikiran Yusril Ihsa Mahenra, (2016) yang dieditori oleh Prof. Hafid Abbas bersama M. Saleh mude dan kawan kawan dari Pro deleader akan diurai tersendiri dalam empat bagian penting diantaranya : Karya Yusri begitu mengakar pada nilai nilai reliugitas dan kebhinnekaan nilai nilai budaya dan adat istiadat yang terbingkai dalam bhinneka tunggal ika dan idologi Pancasila.

Legolego Ciliwung 19 Juli 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here