PINISI.co.id– Selain pandemi Covid-19 yang belakangan kembali meninggi yang juga mesti diwaspadai adalah DBD. Sebabnya setiap tahun pada musim hujan terdapat banyak kasus demam berdarah dengue.
Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS dr. Zaenal Abidin mengingatkan bahwa sebelum pandemi Covid-19, orang Indonesia sudah “memiliki” virus langganan yang selalu mengancam yaitu virus dengue. Melihat masih terdapatnya kasus setiap tahunnya maka ini pertanda bahwa virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah masih tetap eksis.
“Nyamuknya masih aktif menjalankan tugas untuk menyebarkan virus mematikan ini melalui gigitannya. Dan juga masih aktif berkembang biak setiap ada musim dan kesempatan. Artinya, nyamuk Aedes aigypty dan nyamuk Aedes albopictus sebagai vektor belum pension,” kata Zaenal.
Hal itu terungkap dalam Webinar yang dihelat Kami [Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, BPP. KKSS, Literasi Sehat Indonesia (LiSan), Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Bakornas Lembaga Kesehatan (LKMI-HMI), dan www.sadargizi.com] bertajuk “Waspada, Acaman Demam Berdarah Dengue di Tengah Pandemi Covid-19, (23/4 2021).
Prof. dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc., Ph.D., pada awal paparannya mengatakan kepadatan nyamuk aedes sp di suatu wilayah memiliki pengaruh kritis terhadap tingginya penyakit DBD. Karena itu pengendalian kepadatan nyamuk (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) merupakan cara mengeleminasi penyakit tular nyamuk, seperti DBD ini.
“Memang program pengendalian nyamuk seperti 3M dan abatesasi (Temephos 1% sebagai larvasid) dan fogging (penyemprotan dengan insektisida Malathion 5%) sudah dilakukan secara rutin, namundalam penelitiannya, sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Jumlah penderita berfluktuasi cenderung meningkat dan penyebaran daerah endemiknya semakin meluas,” kata guru besar guru besar dan peneliti entomologi nyamuk dari Unhas ini.
Dalam penelitian Hasanuddin, ia mencatat 83% penurunan insiden kasus demam berdarah di Kota Makassar, selama periode 8 tahun terkait dengan intervensi fogging pra-penularan berbasis data surveilans kasus DBD dan nyamuk secara terintegrasi. Aplikasi fogging tunggal tidak menghasilkan perlindungan tahan lama dan kemungkinan rendah mempengaruhi populasi nyamuk aedes dan penyakitnya. Karena itu, dampak maksimum untuk mengurangi populasi nyamuk dapat dicapai ketika intervensi pengendalian dilaksanakan dengan cakupan tinggi dan diintegrasikan dengan strategi pengendalian lainnya.
Hasanuddin menyarankan perlunya pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengendalian nyamuk. Seluruh komponen masyarakat sekolah mengaktifkan program kesehatan sekolah dengan siswa pemeriksa jentik sebagai upaya mengurangi siklus penularan DBD. Kegiatan pemantauan jentik meningkatkan kesadaran dini akan keberadaan nyamuk DBD di lingkungan sekolah.
“Terdapat pengaruh penyampaian informasi dengan pendekatan modul modifikasi terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan tindakan pengendalian nyamuk vektor DBD. Efektifitas peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan tertinggi pada kelompok yang menerima pelatihan dan modul modifikasi dibandingkan dengan pelatihan dengan modul konsvensional,” katanya.
Menutup paparannya, nara sumber yang merupakan peneliti nyamuk dan virus ini merekomendasikan tiga strategi pengendalian nyamuk yang terbukti efektif mengurangi kepadatan nyamuk dan berkontribusi terhadap eliminasi penyakit DBD; yaitu pertama, manajemen pengendalian nyamuk terpadu dengan fogging sebelum musim hujan (penularan) berbasis surveilans pemantauan kepadatan jentik;
Kedua, Strategi pengendalian nyamuk mengaktifkan program kesehatan sekolah dengan siswa pemeriksa jentik di Sekolah Dasar; ketiga Modifikasi Ovitrap dengan zat atraktan untuk mengurangi kepadatan telur dan jentik nyamuk Aedes sp.
Sekalipun menurut catatan kementerian kesehatan di atas terjadi penurunan kasus DBD dan kasus kematian akibat DBD hingga bulan Juni 2020, dibanding pada periode yang sama tahun 2019, namun tentu tidak ada yang menginginkan kejadian tersebut. Tidak ada di antara kita yang ingin anggota keluarganya sakit atau meninggal karena sakit DBD. Karena itu, prinsip “lebih baik mencegah dari pada pengobati” harus harus menjadi tujuan dan semangat bersama kita.
Selain Prof. Hasanuddin Ishak, lima penanggap yang cukup memahami seluk-beluk demam berdarah, yakni dr. Eifel Faheri, Sp.PD-KHOM (Dosen Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Andalas) dan dr. Kamaruddin Askar (Ketua IDI Bekasi Kota). Serta tiga penanggap jurnalis senior, yakni: Rr. Laeny Sulistyawati (Republika), Uyung (Redaktur Pelaksanan Detikhealth), dan Faturahman S. Kanday (Aco).