Kolom Imam Shamsi Ali
Tulisan ini adalah bagian dari catatan Ramadan yang telah saya sampaikan pada berbagai kesempatan ceramah di bulan Ramadan. Pengingat (dzikra) untuk kita semua jika Ramadan hendaknya tidak saja dijadikan sebagai bulan ritual rutinitas semata. Apalagi sekedar menjadi ajang (seolah) sedang hitung-hitungan dengan Allah SWT.
Ramadan atau bulan puasa, sebagaimana ibadah-ibadah dalam islam lainnya, kerap disikapi secara terbatas dan parsial. Saya menilai ini karena memang ada kesalahan Umat dalam memandang Islam itu sendiri. Umat masih memandang Islam sebagai sekedar agama. Dalam artian Islam seolah hanyalah tuntunan ritual untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas semata. Padahal Islam adalah agama kehidupan atau agama yang menjadi petunjuk hidup secara menyeluruh (way of life).
Dan karenanya untuk membenahi kesalah pahaman tentang ibadah-ibadah ritual dalam Islam, menjadi penting bagi Umat ini untuk membenarkan wawasan atau cara pandang tentang Islam itu sendiri. Bahwa Islam harusnya dipahami sebagai “jalan hidup” dan bukan sekedar tumpukan ritual yang kerap menjadi ritunitas hidup semata.
Dalam konteks inilah kemudian harusnya kita memahami puasa dan ibadah-ibadah lainnya dalam Islam. Bahwa puasa bukan sekedar amalan ritual yang terpisah dari hidup dan kehidupan manusia. Justeru puasa menjadi bagian dari akar hidup seorang Muslim.
Pada tataran ini pula saya selalu menekankan agar Ramadan atau bulan puasa harus menjadi bulan pembelajaran (month of learnings). Bahkan harusnya menjadi bulan yang dapat membawa kepada perubahan mendasar (inherent change) dalam hidup manusia. Perubahan mendasar inilah yang saya istilahkan dengan transformasi hidup (life transformation).
Beberapa bentuk transformasi yang harus terjadi selama Ramadan itu, antara lain:
Satu, transformasi spiritualitas (spiritual transformation).
Ketika kita mendefenisikan manusia maka manusia itu adalah “spiritual being in a physical body” (manusia adalah wujud spiritulitas yang bertengger pada wujud fisikalnya).
Ini menunjukkan bahwa kemanusiaan (insaniyat) itulah sesungguhnya yang menentukan siapa dan bagaimana manusia. Dan ketika kita berbicara tentang kemanusiaan (insaniyat) manusia maka esensinya ada pada aspek spiritulitasnya.
Sayangnya dunia kita saat ini didominasi oleh aspek material (physical) kehidupan. Dunia kita adalah dunia materilistik dan berpaham materialisme. Sehingga manusia dalam banyak hal melupakan esensi kemanusiaannya (humanity). Manusia nampak seperti manusia tapi bukan manusia karena hampa dengan kemanusiaan (insaniyat).
Dengan puasalah manusia kemudian bermujahadah (bersungguh-sungguh) untuk mengembalikan kekuatan spiritualitasnya. Yang dengannnya esensi kemanusiaan itu kembali hidup. Esensi kemanusiaan itulah sesungguhnya yang dikenal juga dengan fitrah (nilai-nilai kesucian) manusia.
Ketika manusia kuat secara spiritulitas maka fitrahnya akan hidup dan menjadi kendali hidupnya. Di sanalah kemudian manusia akan tajam dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk dalam hidupnya. Kemampuan memilah antara kebaikan dan keburukan atau kebenaran dan kebatilan dikenal dengan “al-Furqan” (pembeda).
Ketika hidup manusia tidak lagi disinari oleh Fitrah atau al-Furqan maka yang terjadi adalah hidup “chaotic” (hidup yang kacau balau). Itulah yang kita saksikan dalam kehidupan ril dunia kita saat ini. Yang baik sering dianggap buruk. Sebaliknya yang buruk seringkali dianggap baik bagi kehidupan.
Ibarat orang yang sakit, rasa kemanusiaan manusia itu menjadi terbalik. Yang lezat menjadi tidak enak. Dan yang pahit terkadang menjadi enak di tenggorokan. Begitulah manusia yang fitrahnya tertimbung oleh berbagai hawa nafsu jahat. Mereka sedang sakit (hati) yang parah.
Transformasi spiritulitas juga dimaknai dengan terbangunnya koneksi intim (intimate connection) dengan Sang Khaliq. Terjadi koneksi ruhiyah yang kokoh. Dengan ibadah puasa yang sangat personal itu menjadikan seseorang terpaut dengan “Dia” yang mengendalikan segalanya dalam hidup ini.
Al-Qurbah (kedekatan) atau al-ma’iyah (kebersamaan) dengan Allah ini akan membangun energi positif yang luar biasa dalam hidup manusia. Di sìnilah orang-orang beriman akan memiliki motivasi hidup yang dahsyat yang takkan goyah oleh situasi dan keadaan bagaimanapun.
Di Tengah goncangan hidup saat ini, khususnya dengan Covid 19, manusia pastinya memerlukan pegangan hidup yang kokoh. Jika tidak maka manusia akan goyah dan terombang ambing oleh berbagai perubahan yang terjadi. Tanpa pegangan yang kuat, yang lebih dikenal dalam Al-Quran dengan “al-urwah al-wutsqa” manusia rentang mengalami goncangan hidup yang dahsyat.
Karenanya puasa menjadi benteng sekaligus motivasi hidup yang kokoh di tengah goncangan hidup yang semakin kencang tak terkendali.
New York, 18 Mei 2021, Presiden Nusantara Foundation