Kolom Jacob Ereste
Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) terkait pengujian UU Omnibus Law No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap banyak pihak, justru melegalkan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dengan sejumlah perwakilannya di daerah justru menganggap MK mempermainkan Konstitusi dan Rakyat. Masalah krusial yang runyam, UU No. 11 Tahun 2020 ini sudah dinyatakan melanggar konstitusi tetap saja diberlakukan meski hanya untuk sementara dua tahun saja.
Karena itu, putusan MK pada 25 November 2021 terkait dengan pengujian UU Omnibus Law No. 11 Tahun 2020 sangat terkesan cuma mengalihan konsentrasi pada masalah yang sama dari sudut pandang yang lain, sementara masalah pokoknya tetap sama mengganjal kaum buruh tetap dibentur oleh UU yang sama.
Karena itu putusan MK dalam amar putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan pada pokoknya: bahwa Pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkanā. Putusan MK ini sungguh sangat mengecewakan buruh yang mendambakan perlakuan adil di negeri Pancasila ini.
Berikutnya, MK menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Artinya, derita kaum buruh masih harus berlanjut, terus menanggung derita sampai dua tahun ke depan dengan tiada kepastian. Karena sangat mungkin akan kembali diabaikan akibat hinggar bingar Pemilihan Presiden tahun 2024 sudah harus pula dimulai.
Dalam putusan ini MK juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Jadi essensinya pun — setelah dua tahun berjalan — UU Omnobus Law itu pun tak memberi jaminan apapun untuk kepastian bagi kaum buruh yang akan menggunakan UU yang tidak jelas, mana yang berlaku dan mana yang sudah dibatalkan. Sebab proses perbaikan UU ini bila tidak tercapai atau tidak sama sekali hendak dilaksanakan, toh tidak ada sanksi apa-apa, kecuali kaum buruh juga yang dideranya.
Putusan MK yang membuat gerah sejumlah pihak ini secara tegas menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU No. 11 Tahun 2020 maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Masalahnya bagi kaum buruh yang nyaris selalu dirundung masalah dalam tata hubungan kerja ini menjadi semakin bingung untuk memegang UU yang tidak ada kepastian legalutasnya dan selalu berubah-ubah itu.
Pernyatakan MK menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, jelas tidak menguntungkan bagi kaum buruh. Sebab larangan yang dilakukan MK ini dilakukan tanpa sanksi, manakala pihak terkait melanggar larangan dari MK terdebut. Atas dasar inilah, putusan ini disikapi YLBHI (Yayasan Bantuan Hukum Indonesia) bersama 18 LBH perwakilan yang ada di daerah Indonesia lainnya seperti LBH Lampung, LBH Medan, LBH Aceh, Bandung dan lainnya tegas menyatakan bahwa (1) pemerintah dan DPR telah salah, karena telah melanggar Konstitusi dan melanggar prinsip pembuatan UU, walaupun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana Pemerintah masoh diberikan kesempatan untuk segera memperbaiki UU yang mencekik kaum buruh ini.
Bagi pemerintah dan DPR RI yang telah melakukan kesalahan secara institusi dan salah dalam melakukan tata cara pembuatan UU, toh tidak mendapat sanksi apa-apa — hanya sekedar harus memperbaiki saja– namun bagi kaum buruh tetap saja dipaksa untuk menerima sebagai beban yang dibelenggu oleh UU haram itu.
Dari sisi lain, pihak MK sangat terkesan telah melakukan pembiaran terhadap pemerintah yang semena-mena memanjakan investor asing berikut tenaga jerja mereka sendiri yang dibawanya dari negeri asalnya, hingga menggusur angkatan kerja lokal semakin sulit memperoleh kesemparan kerja.
Menurut YLBHI, putusan MK ini menggambarkan kekeliruan yang prinsipil. Selain itu (2) dari putusan MK ini cuma meminta pemerintah tidak memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan harus menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya.
Jadi jelas dan terang bagwa pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja, seperti yang dibatalkan MK ini. Katena pada saat UU Cipta Kerja tetap terus diberlakukan berikut seluruh PP turunannya, artinya MK pun telah melegalkan pelanggaran yang sangat prinsipil dalam tata pelaksanaan hukum dan perubdang-undangan di Indonesia.
Yang patut dan ideal tentu saja MK harus dan wajib untuk menghentikan UU No. 11 Tagun 2020 yang tidak berpihak bagi bangsa Indonesia karena justru memberi karvet merah bagi pengusaha dan tenaga kerja asing yang mau berinvestasi di Indonesia.
Demikuan juga untuk seluruh PP turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 ini harus dibatalkan juga agar tak sampai menimbulkan korban yang bisa berakibat pada kerugian besar yang terpaksa harus menjadi tanggungan segenap anak bangsa.
Putusan MK yang mengikat pihak pemerintah untuk segera dapat menghentikan proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup, toh masih dapat berlindung dibalik UU celaka ini. Meski UU Cipta Kerja ini sudah dinyatakan melanggar Konstitusi.
Kesalahan Pemerintah dan DPR RI terhadap konstitusi ini akan menjadi catatan sejarah terburuk dalam perjalanan proses penyusunan hukum di Indonesia. Jadi sepatutnya MK tidak bersifat ambigu, mendua dan tidak mencla-mencle dalam memberi putusan utamanya yang tidak berpihak pada rakyat sebagai pemberi amanah pada aparat penegak hukum maupun pemerintah.
Apalagi untuk jangka waktu dua tahun itu kaum buruh terus didera oleh derita yang terus berkepanjangan bersama anak, istri dan anggota keluarga mereka lainnya yang bisa menimbulkan azab bagi pembuat keputusan, baik pada proses pembuatannya maupun bagi siapa saja yang ikut andil melakukan pengesahan hingga menjadi UU yang menjerat napas kehidupan kaum buruh.
Jakarta, 25 November 2021