Kolom Dr. Wnardi, M.Si.
Headline harian Kompas Kamis 16 Juli 2020 yang mengangkat tema “Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan Kian Dalam”. Ada hal yang menarik untuk diulas ketika tingkat kemisikinan dikaitkan dengan kondisi pandemi Covid-19. Pandemi ini membuat suhu perekonomian tidak stabil dan berpotensi mendongkrak angka kemiskinan di Indonesia.
Pandemi Covid-19 telah mengubah orientasi perilaku masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi. Masyarakat mulai mengurangi dan membatasi pengeluaran hanya untuk konsumsi kebutuhan pokok serta kebutuhan yang sifatnya urgent. Pada Kuartal I 2020 pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 2,84 persen. Bila kondisi ini terus berlanjut sampai akhir tahun 2020 maka bukan tidak mungkin akan membuat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi lebih dalam.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat akibat kelesuan di hampir semua sektor, tidak terkecuali sektor industri. Kelesuan ini akan memaksa para pelaku usaha memutar otak bagaimana agar kegiatan usahanya tetap jalan. Salah langkah terakhir yang biasa mereka tempuh adalah pengurangan jumlah karyawan yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK). Bila opsi PHK banyak ditempuh maka indikator-indikator ekonomi yaitu tingkat pengangguran dan kemiskinan akan melonjak naik tidak terhindarkan. Suatu hal yang tidak pernah dinginkan oleh negara manapun.
Keberhasilan pemerintah menurunkan angka kemiskinan dari tahun 2007 (16,58 persen) menjadi 9,22 persen di akhir 2019, harus mengalami kenyataan tingkat kemiskinan berbalik naik di bulan Maret tahun 2020. Merujuk data BPS Maret 2020, jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah menjadi 26,42 juta orang atau 9,78 persen. Di samping itu, penduduk yang masih rentan terhadap kemiskinan dan paling terdampak dengan adanya pandemi Covid-19, yaitu penduduk dalam kategori hampir miskin yang bekerja di sektor informal dengan jumlah tidak sedikit, yaitu 12,15 juta orang. Oleh karena itu, apabila diasumsikan pandemi berlangsung lebih lama, CORE (Center of Reform on Economics) memprediksi jumlah penduduk miskin akan meroket antara 11,7 persen 12,8 persen. Sejalan dengan CORE, Smeru Research Institute juga memperkirakan penduduk miskin akibat pandemi akan naik antara 11,4 persen – 12,4 persen.
Naiknya angka kemiskinan saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor situasional akibat pandemi, dan mudah-mudahan hanya bersifat temporal yang singkat. Faktor situasional artinya kemiskinan disebabkan oleh faktor di luar kendali setiap individu atau kelompok masyarakat. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan untuk mengerem lonjakan tingkat kemiskinan juga solusi yang tidak biasa, tetapi solusi yang sifatnya ekstraordinary dan holistik dari ujung ke ujung.
Pemerintah telah merespon cepat kondisi ekonomi saat ini. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya mengatasi perlambatan ekonomi nasional akibat pandemi. Kebijakan tersebut dikemas dalam bentuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program yang terkait langsung dengan upaya menahan laju peningkatan angka kemiskinan antara lain, program perlindungan sosial, pemberian insentif ke pelaku usaha dan program dukungan bagi UMKM.
Program jangka pendek yang paling dibutuhkan masyarakat terdampak adalah program yang langsung mampu menambah daya beli masyarakat atau minimal kebutuhan dasar masyarakat tercukupi. Program tersebut sebenarnya saat ini yang sedang berjalan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sosial, program prakerja, diskon listrik, bantuan logistik/pangan/sembako, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa. Hasil implementasi dari program tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan kebutuhan pokok dan layanan bagi masyarakat terdampak sehingga laju angka kemiskinan bisa diperlambat.
Sementara itu, program jangka panjang perlu dipikirkan lebih jauh agar ketika pandemi berakhir tingkat kemiskinan kembali turun seperti sebelum pandemi. Ini tentu suatu tantangan yang tidak mudah, mengingat kegiatan sektor ekonomi, khususnya sektor yang menyerap banyak tenaga kerja tidak bisa langsung pulih seperti sebelumnya. Butuh proses recovery yang relatif tidak singkat.
Di sisi lain, kegiatan usaha akan menggeliat kembali apabila permintaan masyarakat terhadap barang/jasa meningkat. Permintaan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan daya beli masyarakat, sementara daya beli masyarakat terus menurun. Oleh karenanya, sisi supply dan demand perlu diseimbangkan dengan intensitas yang lebih tinggi sehingga titik kesembangan baru dapat diraih di ujung pandemi. Harapannya, pertumbuhan ekonomi kembali melejit lebih cepat pada 2021.
Secercah cahaya di ujung terwongan selalu dinanti. Semoga saja peningkatan angka kemiskinan di masa pandemi ini tidak melonjak sesuai prediksi.
Penulis adalah ASN Kementerian Perindustrian