Kolom Prof. Dr. Ahmad M. Sewang
Ada pertanyaan mengenai usulan pembubaran Majlis Ulama Indonesia (MUI). Saya jawab dengan tegas bahwa MUI masih sangat dibutuhkan untuk memberi guidance pada umat, paling tidak sampai saat ini. Tidak baik berpikir secara berlebihan seperti satire seorang tua bijak, “Marahkan tikus rengkiang dibakar.” Hanya saja MUI sebagai sebuah hasil produk manusia, pasti memiliki kekurangan dan itulah yang memerlukan evaluasi untuk disempurnakan, setelah stigma kecurigaan dalam masyarakat menyusul salah satu anggotanya ditangkap densus 88.
Karena itu, rekrutmen sebagai pengurus MUI, perlu dilengkapi persyaratannya selain syarat yang harus dimiliki sebagai pewaris Nabi, yaitu STAF (siddiq, tablig, amanah, dan fatanah) juga perlu persyaratan ideal lainnya, kuhususnya dalam menghadapi masyarakat plural yang rawan perbedaan. Maksudnya MUI berperan aktif memelihara persatuan umat dan bangsa. Persyaratan ideal itu, yaitu: 1) Independensi, 2) Non-sektarian, 3) Inklusif, dan 4) Toleransi.
Dalam sebuah artikel tentang sejarah pendirian MUI disebutkan sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan, cendekiawan muslim. Salah satu usahnya, yaitu Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketika seseorang menjadi pengurus pengurus MUI dengan sendirinya dia sudah menghindarkan diri dari hal yang berbau sektarian sebab yang dihadapi bukan lagi sebatas sektenya, tetapi masalah yang lebih besar, seperti masalah keumatan dan kebangsaan. Sama dengan ketika seseorang terpilih sebagai pejabat negara seharusnya berubah menjadi seorang negarawan dengan berpikir lebih luas bukan lagi berpikir sempit sektarian atau partisan. Kesulitan pengurus MUI justru diangkat karena posisinya sebagai pengurus ormas, bahkan saat struktur disusun masih memperdebatkan masalah asal muasal ormas yang bersangkutan (cara ini tercium sampai ke luar). Seharusnya perlu keberanian meninggalkan kepengurusan inti di ormas atau cukup sebagai anggota biasa ketika mendapat amanah di MUI, untuk memelihara bahwa MUI adalah organisasi independen, non-sektarian, inklusif, dan toleransi. Peristiwa penankapan densus 88 adalah momentum bagi MUI melakukan evaluasi diri, sebab semua mata sekarang tertuju padanya. Memang, mungkin terasa berat, namun itulah yang seharusnya dilakukan, jika ingin mencapai sesuatu yang ideal sebagai khadimul ummah, pewaris para Nabi, ummatan wasatan, dan rahmatan lil ‘alamin.
Saya sudah pernah mencari seorang pemimpin pemersatu umat. Kemudian memang dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa umat begitu bervariasi dalam masalah paham, mazhab, organisasi, partai politik, dan kepentingan lainnya. Itulah kenyataan yang bisa jadi batu sandungan sehingga sulit menemukan kata sepakat. Sebagai seorang yang optimis, tidak ada satu pun yang sulit asal berikhtiar optimal di samping selalu berdoa mohon pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, insya Allah selalu saja ada jalan keluar. Caranya dengan berupaya menemukan salah seorang yang dianggap terbaik dari semua ormas dan paling memenuhi kriteria seperti di atas. Setelah itu baru dibikin kontrak pada yang bersangkutan, yaitu;
- Diminta kesadaran barunya bahwa dia bukan lagi pemimpin sebuah ormas tertentu bahkan dengan diangkatnya sebagai pemimpin umat, maka di ormas yang ia pernah tempati, paling tidak dia hanya sebagai anggota biasa.
- Dia juga menyadari bahwa bahwa dia sudah sampai dimaqam tertentu, yaitu menjadi pemimpin semua umat dan bangsa secara kesuruhan, tanpa membedakan. Sekarang, fokus utamanya adalah menyatukan dan mencerahkan umat dan seluruh bangsa. Dengan kata lain dia sudah menjadi seorang negarawan. Menurut saya, siapa pun mendapat amanah sebagai pemimpin umat atau pejabat negara (mulai dari kepala negara, menteri, sampai dekan, dan KUA) masih berpikir sempit sektarian atau partisan, inilah yang sering membuat gaduh di tengah masyarakat. Sebaliknya, seorang yang mendapat amanah dari umat dan negara seharusnya sudah jadi seorang negarawan, mengayomi semua tanpa membedakan, sehingga bisa menjalankan misi kenabian sebagai rahmatan lilalamin.
Inilah jawaban yang bisa saya berikan pada si penanya dengan kemampuan terbatas. Tentu saja saya merasa sangat senang jika ada di antara netizen bisa melengkapi bahkan mengkritisinya, terutama dari para sahabat pengurus MUI yang saya hormati. Saya percaya pada teori trial and error dari Thorndike bisa digunakan dalam membawa kepada sebuah kesempurnaan MUI. Terakhir, saat berbincang dengan seorang pemerhati MUI, beliau menitip sebuah pesan bahwa sudah waktunya MUI membuat pedoman umum atau kode etik pengurusnya.
Wasalam, Makassar, 22 November 2021