Kolom Zaenal Abidin
Judul tulisan ini angkat dari poin-poin sambutan sekapur sirih yang penulis sampaikan pada saat membuka Training Kepemimpinan IDI yang berlangsung di Tangerang, Banten 2-5 April 2015. Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB. IDI) waktu itu, penulis sangat berkeinginan membuat “Sekolah Kepemimpinan Dokter Indonesia. ”Berharap kelak di kemudian hari, IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi para dokter di Indonesia memiliki institusi tersendiri, yang dikelola secara mandiri sebagai tempat pengembangan atau penggemblengan kepemimpinan anggotanya. Ketika itu, IDI telah memiliki model dan cikal bakal “Sekolah Kepemimpinan Dokter Kecil”, yang merupakan rangkaian program Dokter Kecil Aword IDI.
Keinginan kuat di atas tentu saja sangat berlasan, sebab IDI mempunyai struktur kepengurusan wilayah di setiap provinsi dan juga memiliki sturtur kepengurasan cabang di hampir setiap kabupaten dan kota di Indonesia. Belum lagi kepengurusan di semua perhimpunan profesi yang ada di lingkungan IDI, baik itu perhimpunan dokter spesialis, pehimpunan dokter seminan, dan pehimpunan dokter umum. Semua pehimpunan itu memiliki kepengurusan dari tingkat pusat sampai tingkat cabang. Bahkan, ada perhimpunan yang membentuk komisariat seperti perhimpunan dokter umum.
Selain alasan di atas tentu masih banyak alasan seperti: terjadinya ketidak-merataan kemamuan kepemimpinan di jajaran IDI, banyaknya persoalan yang dihadapi oleh IDI dan anggotanya, serta adanya kebutuhan bagi IDI untuk selalu menyediakan kader-kader baru. Dan, tentu saja karena memang merupakan program kerja Bidang Leadership Training PB. IDI yang diketuai oleh Dr. Muhammad Akbar, Sp.S., Ph.D. Di sisi lain ada kebutuhan bangsa akan lahirnya pemimpin yang memiliki visi kebangsaan serta mempunyai pemahaman luas mengenai sehat dan kesehatan.
Barkaitan ketidak-merataan kemampuan kepemimpinan di lingkungan IDI. Memang ada pengurus IDI di tingkat cabang, wilayah, maupun perhimpunan yang amat bagus. Di mana hampir semua masalah mampu dihadapi dan diselesaikannya sendiri, sehingga PB. IDI tinggal menerima laporannya. Namun, ada pula yang belum mampu sehingga selalu harus meminta bantuan ke pengurus wilayah atau bahkan minta ke PB. IDI untuk menyelesaikannya. Keterbatasan pengurus ini meliputi, antar lain: aspek pemahaman organisasi, aspek pengalaman kepemimpinan, aspek keterampilan manajerial, aspek keterampilan memimpin, aspek komitmen terhadap organisai, dan tentu saja aspek pendanaan organisasi. Akibat dari keterbatasan tersebut, penyelesaian masalah harus bertumpu ke atas, ke Pengurus Wilayah IDI atau bahkan ke PB. IDI.
Semakin banyak persoalan yang bertumpuh ke PB. IDI tentu beban PB. IDI menjadi makin berat. Hal ini sangat tidak menguntungkan organisasi secara keseluruhan. Tidak menguntungkan bagi cabang dan wilayah sebab akhirnya tidak terlatih menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan juga tidak menguntungkan bagi PB. IDI sebab tugas yang ringan pun harus menjadi urusan PB. IDI. Dan itu berarti akan menambah beban tugas PB. IDI. Sementara PB. IDI sendiri yang sudah mempunyai sejumlah agenda internal organisasi mapun ekstenal (Nasional, MASEAN, CMMO, WMA).
Profesi kedokteran pada saat itu dirasakan menjauhi khittah sejarahnya. Dokter-dokter di Indonesia menjadi semakin jauh masuk ke dalam dunia yang sempit sehingga dirasakan semakin terpisah dari masyarakat yang melahirkannya. Masyarakat yang seharusnya ia bimbing dan dididik agar menjadi sehat dan sejahtera. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya dokter yang muncul sebagai tokoh dan pemimpin di tengah masyarakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Di satu sisi, hal ini dapat dilihat sebagai upaya dokter untuk menjaga profesionalitas dan kemudian berusaha tetap terpisah dari hiruk pikuk dunia sosial politik, tapi di sisi lain hal ini menunjukkan keterpisahan dan ketidakmampuan para dokter untuk tetap terlibat dalam usaha memperbaiki derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat secara lebih luas.
Persoalan lain, para dokter dalam menjalankan pengamalan profesinya seringkali berujung sengketa medis. Salah satu kasus yang secara jelas menguji level-level kepemimpinan dan dokter dalam menghadapi masalah adalah kasus Dr. Ayu dan kawan-kawan pada November 2013. Meskipun pada akhirnya kasus ini ditutup dan para dokter yang terlibat diputuskan tidak bersalah, namun proses yang terjadi memperlihatkan bahwa kasus ini tidak perlu terjadi jika dokter memiliki kemampuan kepemimpinan, komunikasi, dan advokasi yang baik. Berbagai isu yang menyudutkan profesi dokter pada saat itu juga tentu tidak terlepas dari lemahnya kemapuan ini.
Terkait soal kepemimpinan, penulis teringat dengan ucapan Prof. F. A. Moeloek saat beliau menjabat Ketua Umum PB. IDI. Di hadapan kami pengurus, beliau sering mengatakan: “Ada ribuan persoalan Bangsa namun tidak mungkin bisa dikerjakan/dikerjakan satu persatu. Kita harus cari persoalan pokoknya yang bila itu dapat diselesaikan maka persoalan yang lain dapat ikut terselesesaikan. Apa Itu ? Leadership/kepemimpinan Bangsa.“ Pernyataan Prof. Moeloek ketika tentu saja lebih tertuju kepada lingkungan organisasi IDI sebagai bagian dari bangsa ini. Artinya, bila IDI dan para dokter ini ingin berkiprah dalam penyelesaian persoalan bangsa maka kuncinya adalah persiapkan leadership.
Atau kita kembali menengok pernyataan Soetomo (Dr. Soetomo) dalam buku yang berjudul, “Kenang-Kenangan Dokter Soetomo.” Pendiri Perkumpulan Boedi Oetomo ini mengatakan: “Pemimpin yang berhasil dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang menghasilkan pemimpin baru, bukanlah pemimpin. Pemimpin semacam itu telah kandas dengan pimpinan.”
Selanjutnya, perhatikan pula pendapat Oliver W. Holmes, yang mengatakan: “Hal terbesar di dunia ini bukan terletak pada tempat mana kita berada tapi pada arah mana kita melangkah”. Menurut Oliver W. Holmes pemimpinlah yang menentukan arah dengan langkah suatu organisasi. Karena itu, sangat tepat dan wajar bila agama mengajarkan bahwa, “Setiap individu adalah pemimpin dan Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas tingkatan kepemimpinannya.” Siapa pun pemimpin itu ia wajib dimintakan pertanggungjawabannya baik di dunia mau pun di akhirat kelak, sebab merekalah yang menentukan arah masyarakat atau kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Empat prinsip kepemimpinan, yakni: 1. Kita semua akan memimpin sepanjang waktu. 2. Kepemimpinan itu timbul dari dalam. 3. Kepemimpinan itu cara hidup kita. 4. Untuk menjadi pemimpin adalah proses pengembangan diri secara terus menerus. Karena merupakan proses pengembangan diri secara terus menerus maka tidak salah bila Rick Warrer berkata :“Begitu kita berhenti belajar, kita tidak lagi memimpin.”
Sementara itu, dalam bahasa Inggris dikenal sebutan lead, yang bermakna harus pergi. Karena itu pemimpinlah yang harus pergi terlebih dahulu dengan visi/gagasan kemajuan kemudian membawa serta organisasi dan anggotanya. Kebesaran organisasi tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran dari pemimpinnya. Karena itu, tidak salah bila Napoleon Bonaparte mengeluarkan kalimat sakti, sebagai berikut: “Kalau Anda berperang jangan melihat berapa jumlah tentara musuh, tetapi lihatlah siapa jenderalnya. Kalau kita kalahkan jenderalnya, kalahkan seluruh pasukannya.”
Pemimpin itu tidak memerintahkan keunggulan, melaikan membangun keunggulan. Untuk mencapai keunggulan seseorang harus mengawali dengan menjadi pemimpin yang baik. Keunggulan dimulai dengan membangun kepemimpinan yang baik, berkarakter kuat, yang terlibat dalam keseluruhan proses kepemimpinan. Dan proses pertama itu adalah dengan menjadi pemimpin berkarakter dan terhormat.
Pada masa depan diperlukan pemimpin yang memiliki karakter: jujur dan dapat dipercaya, bersih dan bertanggung jawab, kompeten dan profesional, visioner, memiliki integritas (cerdas dan tulus), komitmen dan konsisten, kooperatif (teratur dan terbuka), tegas dan berwibawa, dan memiliki reputasi yang baik.
Kembali kepada kepemimpinan dokter Indonesia. IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia, secara umum tentu saja perlu mengembangkan kepemimpinan yang berkaitan aspek keterampilan memimpin dan keterampilan manajerial, dengan selalu berpatokan pada pengembangan kepemimpinan berkarakter di atas.
Keterampilan memimpinan meliputi: kemapuan pendelegasian wewenang dan tugas, mengarahkan dan memotivasi dan, keterampilan berkomunikasi secara asertif dan persuasif. Sementara untuk keterampilan manajerial meliputi: kemapuan membuat konsep dan perencanaan; kemapunan menjalin hubungan antara anggota, sejawat, dan tim (teamwork dan teambuilding); serta kemampuan melakukan pekerjaan teknis.
Berangkat dari masalah di atas maka setelah penutupan rangkaian Leadership Training ketika itu, penulisberpesan agar IDI memilikirkan pembentukan sekolah kepemimpinan sendiri, sebagaimana yang disebutkan pada awal tulisan ini. Sekolah kepemimpinan yang diharapkan mampu menggali dan mengembangkan potensi kepemimpinan dokter yang selama ini terpendam. IDI harus melahirkan pemimpin bangsa yang berkarekter dari kalangan dokter, mengembalikan antusiasme dan optimisme dunia kedokteran di Indonesia yang berbasis pada tradisi dan kebutuhan profesi kedokteran di Indonesia.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, perode 2012 – 2015, Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS