Kolom Imran Duse
Samarinda, Jum’at, 12 November 2021, bertepatan Hari Kesehatan Nasional. Saya baru saja menunaikan salat Jum’at, ketika sebuah pesan whatsapp memaklumkan kabar duka itu: dr. H. Jusuf Serang Kasim telah kembali menghadap Rabbnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sesaat saya terperangah. Kematian memang sebuah keniscayaan. Ihwalnya hanya soal berbilang waktu. Namun kepergian sosok yang kita cintai, tetap saja menyisakan duka nelangsa.
Bahkan alam seakan larut dalam duka itu: hujan turun dan langit pun murung. Ribuan warga kota mengiringi almarhum ke tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Dwikora, Tarakan.
Dari video yang dibagikan di sejumlah platform media sosial, tampak warga berjejer di sisi jalan yang dilalui iringan pengantar jenazah. Malah kendaraan dari arah berlawanan di ruas sebelah ikut berhenti sebagai tanda penghormatan atas segala dedikasi almarhum.
Saya bersaksi, dr. H. Jusuf SK adalah orang baik. Wafat di hari yang baik. Di tempat yang selalu ia cintai: rumah sakit. Dan di saat seluruh negeri memperingati Hari Kesehatan Nasional –sebagaimana kita singgung tadi.
Saya tak punya kenangan atas sosok almarhum selain tentang kebaikan. Itu juga tergambar dari keterangan dan testimoni sahabat dan kolega almarhum.
Termasuk Gubernur Kaltara Zainal Arifin Paliwang, yang ikut mengusung keranda jenazah hingga mengurug tanah ke liang lahat. Sebagai penghormatan atas jasa almarhum, Zainal Arifin Paliwang akan menisbatkan nama dr. H. Jusuf SK pada RSUD Tarakan –di mana almarhum pernah menjabat direktur.
Almarhum juga sosok penting pemekaran Provinsi Kalimantan Utara. Terlebih lagi Tarakan, di mana almarhum pernah menjabat sebagai walikota (1999-2009). Rasanya, nama Jusuf SK dan Tarakan adalah satu tarikan nafas. Sebab, begitu kita berbicara Jusuf SK, maka kita langsung teringat Tarakan. Sebaliknya, saat bicara Tarakan, maka referensi historis kita spontan merujuk ke dr. H. Jusuf SK.
Disiplin dan Rendah Hati
Perkenalan saya dengan dr. H. Jusuf SK terjadi di pertengahan tahun 2001. Saya masih menetap di Jakarta dan sedang menyelesaikan penulisan biografi (almarhum) Luther Kombong. Di antara nama yang diajukan untuk saya wawancarai adalah Jusuf SK.
“Dia mampu menyulap rumah sakit AWS menjadi taman yang indah,” demikian kekaguman Luther Kombong kepada Jusuf SK.
Saya pun mendatangi ke Tarakan. Seorang staf Jusuf SK datang menjemput, dengan mobil kijang Krista, menuju rujab di kompleks kantor Walikota Tarakan. Belakangan saya baru mafhum, rupanya mobil itu yang sehari-hari digunakan almarhum.
Selama 4 hari menginap di rujab; selama itu saya bisa menyaksikan dari dekat keseharian penulis buku “Otonomi Daerah di Persimpangan Jalan” itu. Saya bisa sedekat itu karena istri almarhum adalah tante dari istri saya.
Kesan saya, almarhum adalah sosok yang disiplin namun rendah hati. Cara berkomunikasinya penuh empati. Daya juangnya tinggi, memelihara fokus, dan berorientasi pada hasil. Dengan kata lain, almarhum sosok yang bekerja dengan hati.
Satu kebiasaan yang saya perhatikan, setelah salat Subuh, almarhum mulai membuka catatannya. Lalu menelpon stafnya untuk mengecek perkembangan sesuatu hal atau pun memberikan arahan tertentu.
Suatu sore, saya diajak menghadiri sebuah kegiatan (dengan kijang Krista). Tak jarang, bila melihat “kejanggalan” di tengah perjalanan –misalnya sampah atau jalan berlubang— Jusuf SK langsung menelpon kadis terkait untuk segera membenahinya.
Totalitas dan integritas Jusuf SK rupanya menggoda Partai Golkar. Ia kemudian diajukan sebagai Calon Gubernur Kaltim di tahun 2008.
Momen kontestasi Pilgub Kaltim 2008 memberi saya ruang dan waktu lebih dekat dengan almarhum. Mendampinginya di berbagai kesempatan. Termasuk saat mengambil keputusan berpasangan dengan Luther Kombong, dalam sebuah kamar di Hotel Santika Petamburan, Jakarta.
Sejarah nampaknya belum berpihak pada pasangan “Julu” itu. Dalam kamar di Hotel SwissBell Samarinda, saya berdua bersama almarhum, ketika rapat paripurna KPU dilaksanakan di Hotel Senyiur.
Sekira pukul 10.00 WITA, Jusuf SK baru saja menunaikan salat sunnah. Mungkin salat dhuha. Setelah itu, ia menghampiri saya dan berkata, “Ananda, kita serahkan sepenuhnya kepada iradat Allah.”
Melahirkan Singa Kecil
Kepemimpinan Jusuf SK dalam membangun daerah rupanya menarik perhatian sejumlah kalangan. Ia dipandang mampu memanfaatkan peluang otonomi daerah. Obsesinya menjadikan Tarakan sebagai Singapura kecil.
Jusuf SK yakin akan potensi kota-pulau itu. Dengan luas 250 kilometer persegi –hampir separuh dari luas Negeri Singa— Tarakan berada di posisi strategis dan pusat transit perdagangan di kawasan.
Pertama-tama, alumnus Fakultas Kedokteran Unhas ini memberi perhatian khusus soal sampah. Baginya, mengelola sampah bukan hanya perkara kebersihan. Melainkan cerminan manajemen pemerintahan.
Karena tak ada kas pemerintah, ia pun mengumpulkan 11 orang pengusaha. Terkumpul dana 1,3 miliar. Jusuf SK pun berjanji mengembalikan dalam waktu setahun. Jauh sebelum Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik lahir, Jusuf SK sudah mempraktekkannya.
Tak mengherankan, jika Majalah Tempo memilihnya sebagai satu diantara 10 Tokoh 2008; bersama, antara lain, Joko Widodo, yang saat itu Walikota Solo. Ia menyisihkan lebih dari 400 walikota/bupati lainnya.
Salah satu capaian yang mengesankan ialah pertumbuhan ekonomi Tarakan yang sejak 2001 selalu di atas nasional. Bahkan, di akhir masa periode pertamanya, Tarakan mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi se-Indonesia, yakni 12,71 persen. Tarakan juga mendapat 40-an penghargaan, termasuk Kalpataru (Tempo, 22/12/2008).
Ia memberi perhatian pada pembangunan pendidikan, dari SD hingga universitas. Merintis Universitas Borneo hingga kemudian menjadi universitas negeri. Gedung-gedung sekolah dibangun megah, demi memberi rasa bangga pada guru dan rasa aman bagi orang tua siswa. Tenaga guru diberikan tunjangan, sesuai tingkatannya. Dan guru SD mendapat pendidikan tambahan hingga meraih gelar sarjana di Universitas Borneo. Semuanya dengan biaya pemerintah.
“Kami ingin profesi guru menjadi terhormat. Dan merekalah andalam kami dalam membangun sumber daya yang andal,” kata Jusuf SK kepada Tempo.
Kontras dengan gedung sekolah, kantor Walikota Tarakan justeru bukan prioritas. Bahkan, sebagaimana ditulis Tempo, dinding ruang kerja Jusuf SK dibuat hanya dari tripleks. Total biaya pembangunannya pun hanya 2,9 miliar, atau sepersepuluh biaya konstruksi Gedung SMP I.
Jusuf SK juga gemar membuat taman kota. Dilengkapi hotspot, deretan bangku pengunjung, dan menghidupi para pedagang makanan dan minuman setempat. Hingga pernah beliau dijuluki “wagiman” alias walikota gila taman.
Masih banyak capaian yang diraih Jusuf SK. Tapi saya yakin, jauh lebih banyak yang masih ia ingin kerjakan hingga waktunya untuk kembali tiba.
Setelah kepergiannya, saya merasa almarhum tetap saja menjadi bagian dari kita. Jusuf SK akan terus berbicara kepada kita melalui berbagai karya monumental yang ia torehkan. Kesederhanaan dan kesungguhannya menunaikan tanggungjawab akan selalu menginspirasi kaum muda.
Selamat Jalan Pahlawan Kota “Singa Kecil” Tarakan. Di sana ayahanda tak lagi gelisah oleh hasrat membangun taman, karena tempat ayahanda insya Allah di taman surga.
Penulis Sekretaris Forum Kebangsaan Kaltim