Sengkuni Sang Penguasa Negeri, Mati Terlaknat, Mata terbelalak, Mulut Menganga, Perut Membuncit

0
49
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

Hei kamu…
Apa yang telah kamu perbuat untuk kami, rakyat yang tak berdaya ini? Kami hidup berjuang mencari nafkah dengan peluh dan keringat, siang hingga malam. Kami dan keluarga bertahan hidup untuk sekadar makan, menyekolahkan anak, dan berobat ketika sakit.

Hei kamu…
Apa yang telah kamu perbuat? Kamu tak pernah merasakan penderitaan kami, sementara hidupmu bersenang-senang dari pajak hasil keringat kami. Berhentilah memalak dan menyiksa kami dengan segala aturan sesat yang tak masuk akal. Jika tidak, maka kamu memang layak disumpah dan dilaknat.

Daya Kritis Suara Langit Anak Bangsa

Manusia yang bernyali dan berkeyakinan tak akan dapat dibungkam oleh ancaman kekuasaan atau sogokan. Itulah sejatinya manusia merdeka—mereka yang berani menyuarakan kebenaran dan akal sehat.

Dalam filosofi Bugis, keyakinan dan ketangguhan tidak akan tergadaikan: Toddopuli Temmalara, Iya Ada Nagau — Satunya kata dan perbuatan.

Saat ini, dalam pengamatan, telah muncul sejumlah figur intelektual putra bangsa yang kritis dan lantang bersuara tentang perilaku serta kebijakan pejabat negara yang tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat.

Mereka antara lain: Rocky Gerung, Said Didu, Abraham Samad, Refly Harun, Egy Sudjana, Emha Ainun Najib, Eros Jarot, Fery Amsari, Dedy Muliadi, Khoziudin, Roy Suryo, Rismon S, Tifa, Faisal Assegaf dan lainnya.

Suara kritis mereka tersiar dan terpublikasi ke jutaan rakyat. Pertanyaan yang menggelisahkan bagaimana implementasi kehidupan berkeadaban setelah 80 tahun kemerdekaan (17 Agustus 1945 – 2025)? Pertanyaan ini lahir dari pemahaman adab dan peradaban Minangkabau, Sumatera, Sunda, Jawa, Bugis, Sulawesi, Maluku, Papua, hingga Bali.

Negara yang terdiri dari ratusan etnik, ribuan pulau, dan ratusan juta jiwa ini pantas mengedepankan pertanyaan tersebut.

Saatnya Bertindak

Kini saatnya bagi kita semua, terutama mereka yang mendapat anugerah pemahaman hakikat berbangsa dan bernegara, untuk tidak berdiam diri—apa pun posisinya. Hadirlah memberikan suara demi kemaslahatan bangsa, khususnya bagi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan.

Menyuarakan kebaikan dan kebenaran adalah bagian dari syiar ibadah. Pembiaran terhadap kemungkaran akan berujung pada perhitungan di pengadilan Yaumil Akhirat.

Kini pula saatnya kelembagaan masyarakat adat hadir sebagai rujukan dalam kehidupan kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara. Perannya tidak boleh sekadar menjadi bahan pembicaraan akademis, seminar, atau retorika dalam sambutan pejabat, tetapi benar-benar hadir memberi arah dan teladan.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here