Kolom Imam Shamsi Ali
Presiden Amerika yang ke 43 itu memang orangnya sangat percaya diri. Di tengah kerumunan para tokoh kota New York dan warga, dan lebih khusus lagi para keluarga korban serangan 9/11, Bush masih memperlihatkan senyuman dan keramahan. Seolah tak nampak kesedihan dan kemarahan di wajahnya.
Sambil berdiri di atas onggokan sebuah reruntuhan beton dari gedung WTC, Bush berteriak memakai pembesar suara genggam (megaphone). “Hari ini Amerika sedang bersedih. Tapi hari ini juga Amerika membuktikan kekuatannya. Terima kasih New York, New Jersey dan Connecticut atas kekuatan yang anda semua telah perlihatkan”…..demikian Bush memulai pidatonya.
Bush berpidato sambil memeluk pundak Kepala Pemadam Kebakaran kota New York. Sementara petinggi New York lainnya, termasuk Gubernur Patdan Walikota Giuliani hanya berdiri di depan sang Presiden.
Tiba-tiba dari arah luar, di selah-selah yel-yel itu khalayak ramai berteriak: “we can’t hear you”. (Kita tidak bisa mendengar suaramu”.
Bush tentu saja menghentikan pidatonya. Lalu membalikkan badannya ke arah khalayak ramai. Lalu dengan suara lantang berteriak: “I can hear you!” (Saya bisa mendengarmu).
Orang-orang tertawa gemuruh mendengar itu, diiikuti oleh tepuk tangan yang ramai. Tapi Bush kembali dengan suara lantang berteriak: “And the Whole World hear you…!” (Dan seluruh dunia mendengarmu…!).
Yel-yel USA, USA, USA, dan “Live America” kembali menggema diiringi oleh tepuk tangan yang panjang.
Tapi nampaknya Bush masih menggunakan momentum itu untuk menyampaikan pesan-pesan penting. Sambil menarik napas, menengok ke arah Gubernur Pataki yang hadir persis di depannya, dia kembali berteriak: “and the people who knocked down these buildings will hear you soon”. (Dan orang-orang yang meruntuhkan dua gedung ini akan mendengar kalian sebentar lagi).
Sejujurnya saya tidak terlalu fokus dengan pidato Bush. Saya justeru hanyut dengan lamunan saya sendiri tentang reruntuhan kedua gedung itu. Terlalu banyak pertanyaan yang timbul saat itu.
Kok bisa ya gedung setinggi dan sekokoh WTC itu bisa ambruk, runtuh bagaikan sekedar onggokan debu. Sedemikian kuatkah serangan sebuah pesawat itu? Apakah bensin sebuah pesawat cukup membakar sebuah gedung yang tingginya lebih seratus tingkat?
Di sisi lain di kepala saya juga terbayang, seolah nampak di depan pelupuk mata saya orang-orang tak bersalah (innocent) yang mati dalam peristiwa itu. Saya berimajinasi bagaimana beratnya keadaan ketika mereka terperangkap dalam gedung dengan asap dan kebulan api. Mereka yang karena tidak tahan lagi kemudian melompat keluar melalui jendela-jendela di ketinggian gedung itu.
Bahkan saya membayangkan bagaimana jasad para korban yang masih ada di timbunan reruntuhan kedua gedung itu. Membayangkan kalau saja ada di antara mereka di dalam reruntuhan itu yang masih hidup.
Di tengah lamunan panjang itu tiba-tiba pundak saya ditepuk oleh teman saya, Imam E Pasha. “Get ready Imam” (kita bersiap Imam). Rupanya kita Sudah diarahkan menuju mobil yang mengantar kita.
Sambil berjalan keluar area Ground Zero itu saya ingat kata-kata terakhir Bush tadi. “Those who knocked down these buildings will hear us soon” (mereka yang meruntuhkan gedung ini akan mendengar kita dalam waktu dekat).
Sejujurnya saya tidak terlalu paham dengan kata-kata itu. Selain karena Inggris saya juga seadanya, juga karena aksen Inggris Bush adalah aksen Cowboy Texas. Maka saya memberanikan diri bertanya sambil berbisik ke Imam E Pasha. “Apa yang dimaksud itu Imam?”.
Imam Pasha tersenyum dan menjawab singkat: “itu deklarasi perang” (that’s a war declaration).
Mendengar itu tiba-tiba saja lamunan saya terbang ke beberapa negara. Saya membayangkan orang-orang Afghanistan yang sangat sederhana, umumnya miskin. Makan dan minum saja susah. Saya tahu benar keadaan mereka. Karena selama jadi mahasiswa di Pakistan, saya pernah mengajar murid-murid Afghanistan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Saudi Arabia.
Kita pun menaiki mobil yang telah menunggu kita. Di depan kita ada mobil
Polisi. Di depannya lagi ada dua motor polisi NYPD. Sementara rombongan Presiden Bush telah duluan cabut untuk kembali ke Ibukota, Washington DC.
Di mobil itu semua tokoh agama saling bicara dengan kawan masing-masing. Ada serius. Ada pula yang sekedar saling bersenda gurau, bahkan terbahak-bahak.
Di rombongan itu ada puluhan Rabbi Yahudi. Ada juga puluhan pendeta Kristen. Sementara Muslim (imam) hanya Imam Pasha dan saya sendiri.
Saya sendiri selama bersama pada tokoh agama itu lebih banyak diam. Khawatir keluar kata-kata yang sensitif. Tapi sejujurnya juga karena memang masih malu banyak bicara dalam bahasa Inggris. Maklumlah bahasa Inggris saya adalah bahasa “Maklish” (Makassar Inggris).
Kita kemudian diturunkan di depan geraja St Patrick Cathedral kembali. Di sanalah para tokoh agama itu kembali ke rumah masing-masing. Ada yang dijemput pakai limo. Ada yang dengan mobil pribadi yang rata-rata mewah. Imam E Pasha sendiri mobilbya merek Lincoln dengan Plakat NYPD. Beliau memang adalah Chaplain atau pejabat kerohaniaan di NYPD.
Saya sendiri setelah salaman dengan Imam Pasha berjalan kaki menelusuri jalan 5th Avenue hingga 59th Street. Lalu berjalan ke arah 2nd Avenue ke ujung jembatan “Queens Borough”. Di sanalah saya janjian dengan seorang teman untuk dijemput.
Sesampai di rumah, saya baru merasa lelah dan lapar yang sangat. Maklum dari pagi hingga sore hari itu saya hanya makan sebuah bagel dengan keju (cream cheese bagel). Tentunya dengan segelas kopi susu panas alas New York.
Saya pun makan sore dengan lahap. menjama’ makan siang dan makan malam sekaligus. Saya sangat menikmati makanan itu. Selain karena memang lapar, tentu karena merasa puas dengan aktifitas saya hari itu.
Setelah itu saya kembali saya menyalakan TV. Hampir semua kanal TV, baik lokal maupun nasional bahkan internasional menyiarkan acara di Ground Zero. Tapi tak satupun menyiarkan pertemuan kami dengan Bush sebelumnya.
Belakangan saya ketahui bahwa memang pertemuan Bush dengan tokoh-tokoh agama itu tidak direncanakan. Hanya memang karena Bush cukup beragama, Evangelical Christian, maka sebelum ke Ground Zero dia ingin menyapa tokoh-tokoh agama New York.
Malam hari saya istirahat pulas. Memimpikan esok hari yang tersenyum. Tapi ternyata malam itu menyisakan mimpi buruk. Ternyata hari-hari di pertama dan kedua adalah hari-hari yang menyeramkan…..
Apa gerangan yang terjadi?
Sehari setelah serangan WTC di kota New York, di beberapa tempat di kota New York terjadi kekerasan-kekerasan kepada Komunitas Muslim. Beberapa masjid dan Islamic Center juga mendapat serangan.
Di sebuah pertokoan di daerah Harlem ada dua orang Islam dari Ghana ditikam. Mereka diselamatkan oleh orang lain yang kebetulan lewat.
Di depan masjid Mus’ab bin Umaer di Brooklyn ada dua wanita Muslimah asal Mesir dan Yaman dipukuli dan dipaksa melepaskan jilbabnya. Untung kejadian itu di siang hari di saat banyak orang yang lalu lalang. Sehingga beberapa orang menelpon 911 atau telpon darurat keamanan.
Di Staten Island pada hari Kamis, tiga hari setelah serangan itu ada seorang Muslim keturunan Palestina ditembak. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.
Pada hari yang sama di sebuah persinggahan pompa bensin di Texas terjadi penembakan kepada seorang warga India. Dia bukan Muslim. Dia beragama Sikh. Hanya saja karena di benak orang Amerika ketika itu Islam identik dengan sorban maka orang Sikh ini disangka Muslim dan tewas tertembak.
Kembali ke New York, sebuah masjid di Stainway Astoria queens dilempari kepala babi. Dindingnya dicoret-coret dengan kata-kata kasar dan kotor.
Jauh ke Ohio ada sebuah masjid yang indah sengaja ditabrak oleh sebuah mobil truk, menjadikan masjid itu seolah dibelah dua.
Demikianlah hari-hari awal pasca serangan 9/11 itu. Hari-hari yang berat dan mencekamkan bagi kami Komunitas Muslim di Amerika.
Semakin kokoh dalam keimanan
Dalam situasi demikian itulah iman seorang Muslim teruji. Syukur Alhamdulilah, mayoritas Umat ini kokoh dalam keimanan dan keislaman. Bahkan banyak yang menjadi lebih sadar agama pasca 9/11 ini.
Satu contoh yang ingin saya berikan adalah Bro. Sharif El-Gamal. Beliaulah sesungguhnya sosok di balik masjid yang dikenal dengan masjid Ground Zero yang pernah heboh itu. Bahkan sempat menjadi isu internasional. Presiden RI ketika itu, Bapak SBY sempat memberikan dukungannya secara langsung dengan menuliskan surat dukungan melalui Dubes Dino Patti Djalal.
Sharif El-Gamal datang ke US dari Mesir ketika masih berumur sekitar 5 tahun. Sebagaimana lazimnya banyak imigran lainnya, Sharif tumbuh tidak terlalu peduli dengan agama. Tapi dia sukses dan menjadi bisnisman di bidang properti.
Sebelum 9/11 Sharif hampir tidak pernah sholat, bahkan Jumatan. Hingga terjadilah 9/11 itu di mana Islam diekspos secara buruk (ugly exposure). Rupanya rasa kepemilikan di hatinya itu masih ada. Dia merasa bahwa agama ini adalah agamanya. Dan dia adalah bagian dari Komunitas Muslim.
Mulailah dia hadir di Jumatan di kawasan Downtown dekat WTC saat itu. Masjid di mana dia Jumatan saat itu bernama Masjid Manhattan. Imamnya kebetulan dekat dengan kami juga. Imam Mustafa dari Mesir.
Ketika Jumatan masjid itu membludak hingga ke tangga dan pinggir jalan. Suatu ketika Sharif terlambat dan hanya sholat di pinggir jalan berdebu. Saat itulah tiba-tiba di benaknya ada keinginan untuk membeli gedung yang baik untuk dijadikan masjid.
Singkat cerita dia membeli sebuah gedung yang tadinya dimiliki oleh perusahaan Bloomingdales. Dan letaknya sangat strategi karena hanya dua blok dari lokasi Ground Zero. Gedung itu beliau beli secara tunai 4 juta US$.
Sebagai bisnisman yang visioner Sharif memiliki rencana besar dengan gedung itu. Yaitu ingin membangun sebuah Islamic Center yang lengkap. Termasuk dapur/restoran, Kolam renang, bahkan musium WTC dan Islam Amerika. Tentu termasuk di dalamnya masjid. Perkiraan harga yang diperlukan mencapai ratusan US Dollar saat itu.
Sayang ketika niat mulia itu dimulai terjadi eksposur yang tidak proporsional. Sebagian bahkan menjadikannya sebagai isu politik alias dipolitisir. Maka hebohlah New York bahkan Amerika. Terjadi resistensi keras terhadap rencana pendirian Islamic Center itu.
Itu hanya satu contoh betapa di tengah tantangan Islamophobia pasca 9/11 itu justeru menjadi awal penyadaran Islam kepada orang-orang Islam sendiri. Orang seperti Sharif El-Gamal ini berbalik dari tidak peduli agama menjadi pejuang agama.
Mengganti nama
Akan tetapi pada sisi lain, betapa tidak sedikit juga orang-orang Islam di Amerika yang “over worried” (ketakutan berlebihan) sehingga mereka merasa dipaksa untuk menyembunyikan identitas keislamannya.
Ada beberapa wanita yang menanggalkan jilbab. Padahal dukungan sebagian warga Amerika saat itu luar biasa. Di beberapa universitas mahasiswi-mahasiswi non Muslims yang sengaja memakai hijab atau jilbab untuk sekedar memberikan dukungan (solidaritas) kepada wanita-wanita Muslimah.
Ada juga yang selama ini menganggap janggut sebagai simbol keislaman dan kebanggaan baginya, kini mereka mencukur habis janggutnya. Atau mennganti style pakaian mereka dari pakaian traditional Asia Selatan misalnya (shalwar gamiz) ke pakaian ala Texas (Jeans).
Bahkan tidak sedikit orang Islam ketika itu merasa harus mengganti nama untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Dari Daud menjadi David. Yunus menjadi Jones, Musa menjadi Moses, bahkan Mohammad menjadi Mo.
Ada cerita lucu yang biasa saya sampaikan di mana-mana. Sekitar sebulan setelah serangan 9/11 saya diundang menjadi salah seorang pembicara tentang hubungan antar agama pasca 9/11 di Princeton University. Sebuah acara yang cukup mendebarkan hati saya. Maklum saya akan mewakili Islam yang saat itu dituduh sebagai agama teror.
Sebelum masuk kampus Saya sempatkan singgah di sebuah kedai Dunkin Donat untuk sekedar membeli segelas kopi. Ketika masuk di kedai itu saya melihat pelayannya seorang pria berwajah Pakistan. Tapi di nama pengenalnya (name tag) bertuliskan “MO”. Mirip nama China.
Ketika saya akan membayar kopi itu saya saya mengulurkan tangan menyerahkan uangnya sambil bertanya: “what is your name?” (Siapa namamu?”.
Dia tersenyum dan memperlihatkan kartu pengenal di dadanya: MO.
Saya kemudian bertanya: “where are you from?” (Berasal dari mana?”.
Dia jawab jujur: “I am from Pakistan” (saya dari Pakistan).
Saya kemudian tersenyum padanya dan berkata: “Brother, I lived in Pakistan almost 7 years. But I never encountered any Pakistani with Chinese name”. (Saya pernah tinggal di Pakistan hampir 7 tahun dan belum pernah saya temukan orang Pakistan yang memiliki nama orang China).
Dia melihat saya serius, lalu berkata: “Brother, you know I am working in a public place. So I am worried people will identify me as a Muslim”. (Saudaraku, saya kan kerja di tempat umum. Saya khawatir orang-orang akan tahu kalau saya Muslim).
“So what?” (Lalu kenapa?), tanyaku.
“They will not come or will do something wrong or harm to me” (mereka tidak akan datang ke restoran, atau akan melakukan hal-hal yang membahayakan saya), jawabnya.
Saya kemudian menyampaikan kepadanya bahwa apa yang dia rasakan itu seperti ketakutan, perasan terancam, dan lain-lain adalah sesuatu yang tidak perlu. Dia takut sebelum ada yang menakutinya. Dia merasa terancam tanpa ada yang mengancamnya.
Itu hanya sekelumit keadaan Umat ketika itu. Di satu sisi ada yang semakin sadar agama dan menjadi solid dalam beragama. Tapi di sisi lain ada juga yang Imannya anjlok dan kehilangan “self confidence” (percaya diri) dalam berislam.
Di tengah-tengah meningginya kekerasan-kekerasan yang kita hadapi saat itulah yang mendorong Komunitas Muslim di Amerika, dan saya pribadi salah satunya, untuk melakukan segala hal yang memungkinkan untuk mengurangi dampak negatif peristiwa 9/11 itu. Saat itu di benak kami adalah meminimalisir kesalah pahaman dan kemarahan publik Amerika akibat serangan ini.
Maka pada pertemuan dengan Presiden Bush itulah, seperti yang disebutkan sebelumnya, saya menyampaikan permintaan khusus kepadanya agar jika memungkinkan Presiden Amerika mengeluarkan statemen publik yang menegaskan bahwa serangan 9/11 itu tidak ada hubungannya dengan Islam dan Komunitas Islam.
Bush berkunjung ke Islamic Center DC
Saya tidak tahu, dan memang saya tidak yakin, jika karena permintaan sayalah pada saat bertemu di sebuah geraja New York sehari sebelumnya sehingga Presiden Bush melakukan kunjungan ke Islamic Center di Washington DC keesokan harinya. Di sana Presiden diterima oleh beberapa tokoh Nasional Muslim. Selain Imam Islamic Center yang didanai oleh Saudi Arabia itu, juga ada Nihad Awad (CAIR), Perwakilan ISNA, MAS, dan beberapa tokoh-tokoh Muslim lainnya.
Lalu apa saja yang disampaikan Bush di Islamic Center? Apa Urgensi atau signifikansi kunjungan itu? Dan Bagaimana keadaan di Amerika dan kota New York pada hari-hari berikutnya? (Bersambung…..).
New York, 18 September 2020 Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation