Kolom Imran Duse
Pertanyaan itu datang tak terduga. Dengan nada penuh kesangsian, anak saya yang masih kelas 2 SMP itu menanya: “Kapan aku sekolah, pa?”
Sejujurnya, saya butuh waktu beberapa saat untuk menjawabnya. Secara natural, saya dapat mengatakan, “Tunggu pengumuman sekolah, nak”. Atau, “Nanti kalau pagebluk corona ini sudah membaik”. Lagi pula, bukankah selama ini ia bersekolah?
Tapi tidak. Saya kira, bukan jawaban itu yang Aurora, anak saya itu, harapkan. Mungkin saja ia sedang ingin berbagi nelangsa dan kegundahannya atas model pembelajaran daring selama ini. Sejak ia masuk SMP itu, belum pernah ia belajar di kelas layaknya kondisi normal.
Karena itu, betapa gembiranya ia usai kenaikan kelas yang lalu. Bukan karena ia naik kelas dua. Tetapi karena guru kelasnya berinisiatif mempertemukan mereka di sebuah restaurant siap saji. Sungguh saya terharu melihatnya. Sehari sebelumnya, ia bahkan sudah menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan.
Apa yang dialami putri kami, boleh jadi merupakan pengalaman (dan kegelisahan) jutaan siswa lainnya: tak ada penaikan bendera, Pramuka, baris-berbaris atau pun rapat OSIS. Tak ada kesempatan maju ke depan kelas untuk menjawab soal di papan tulis. Atau sekedar bermain petak umpet.
Di daerah yang jauh dari sapaan “signal”, persoalan itu bisa lebih besar. Kesulitan mengakses jaringan internet akan membuat anak-anak sekolah di daerah semakin kesulitan belajar. Dan akan berdampak secara psikologis.
Mereka kini tak punya ruang bersosialisasi dan bergaul dengan teman sebaya mereka. Pemberlakuan PPKM Level 4 beserta seluruh turunannya, apa boleh buat, kini jadi prioritas utama demi memutus transmisi virus Covid-19.
Selain larangan berkerumun (dan makan gak boleh lebih 20 menit), tak kalah pentingnya adalah merakit sinergi semua komponen bangsa menjadi “orkestra”. Di sana, peran Dirigen tentulah amat vital. Ia mesti cakap dan awas dalam membelek “bunyi” semua alat musik.
Dengan kata lain, ia perlu mendengar aspirasi dan pandangan berbeda untuk kemudian disinergikan dalam sebuah simponi yang memukau –yang boleh jadi mengheningkan derap Covid-19.
Tulisan ini bermaksud urun rembug –dan membatasi diri– seputar sinergi antara orang tua dan guru. Semoga dengan cara itu, pertanyaan (dan kecemasan) Aurora akan dapat terjawab.
Peran Orang Tua
Sebagaimana telah disinggung, anak siswa-siswi saat ini bersekolah melalui layar digital. Melalui gawai cerdas itu, mereka menerima pelajaran dan (kebanyakan) tugas ini-itu yang harus diselesaikan sembari melewati masa “isolasi”.
Banyak pakar dan pemerhati pendidikan yang sudah memberikan perspektif soal tidak efektifnya model demikian. Karena kurang menyentuh aspek pengembangan karakter anak didik. Toh kita tak boleh mengutuk malam. Sebab beginilah realitas dan route yang memang harus dijalani.
Barangkali juga ada utilitas. Bahwa anak-anak menjadi familiar dengan dunia digital. Bahkan banyak yang “mengalahkan” orang tuanya dalam hal kelihaian berselancar di jagat maya itu.
Sekiranya orang tua memberikan intensi untuk berkomunikasi dan “bermain”, boleh jadi akan lahir generasi yang jauh lebih hebat dari yang dibayangkan banyak orang. Bukankah dalam masa normal saja, peran orang tua di rumah begitu sangat penting?
Dalam sejarah, kita tahu, pernah ada seorang Ibu yang secara mandiri “mendidik” anaknya sendiri. Rumahnya ia sulap menjadi sekolah. Gurunya adalah dia seorang; dan muridnya adalah putranya seorang juga.
Sang Ibu melakukan itu setelah suatu hari anaknya pulang dari sekolah dengan membawa sepucuk surat dari sekolah. Isinya mengabarkan pihak sekolah tak sanggup lagi mengajari anaknya. Karena bodoh, selalu tertinggal dan kurang fokus terhadap materi pelajaran.
Hati Nancy Matthews, ibu itu, remuk. Tapi ia masih mengumpulkan energi untuk tersenyum ketika anaknya menanyakan apa isi surat itu. Katanya, pihak sekolah memuji anaknya sebagai murid cerdas dan memiliki bakat. Dan karena itulah, ia sendiri yang akan mengajarinya di rumah.
Sejarah pun mencatat, dua dekade setelah sang Ibu “membacakan” surat dari sekolah, Thomas Alva Edison –anak yang sering ketinggalan pelajaran itu— kini mencatatkan patennya sebagai penemu bohlam lampu pijar. Thomas Alva Edison juga dikenal sebagai salah seorang pemilik hak paten terbanyak di dunia. Mencapai lebih dari seribu paten.
Berkat penemuannya itu, kita kini bisa menikmati indahnya malam. Dan kontribusi itu memberi dampak besar bagi perubahan wajah kebudayaan dan peradaban manusia.
Komitmen Kolaboratif
Kisah Thomas Edison di atas barangkali bisa menginspirasi kita, –orang tua, guru, dan masyarakat– untuk memaksimalkan situasi penuh keterbatasan akibat pandemi belakangan ini.
Dengan masih tingginya angka yang terpapar Covid-19, membuat proses pembelajaran tahun ini masih menggunakan metode daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Diketahui, metode seperti ini banyak menyertakan kendala yang dihadapi peserta didik. Baik teknis maupun non-teknis. Bahkan kendala juga dialami oleh para guru. Sinyal yang sering bermasalah, kuota terbatas, gawai yang trouble, hingga masalah psikologis yang dialami siswa akibat kebosanan atau tugas yang menumpuk.
Selain itu, metode ini juga menyebabkan proses pembelajaran berlangsung secara tidak interaktif. Sejumlah penelitian bahkan menunjukkan banyaknya siswa kesulitan memahami materi pelajaran. Celakanya, pada saat bersamaan, siswa juga kesulitan untuk bertanya kepada guru.
Dalam kaitan itulah kita berpendapat perlunya dibangun suatu kerjasama kolaboratif antara orang tua dan guru. Tugas dan beban guru di sekolah dapat dibagi dengan orang tua yang setiap waktu bersama anak di rumah.
Bagaimana caranya?
Mungkin bisa dibuat pertemuan virtual secara berkala (misalnya sekali sebulan) antara para orang dengan guru. Melalui itu, guru bisa mengkomunikasikan target capaian pembelajaran. Materi dan tugas apa saja yang akan diajarkan secara daring dalam kurun waktu tertentu itu.
Secara demikian, guru dan orang tua akan memiliki pemahaman yang sama atas target capaian yang akan dituju. Dalam pertemuan selanjutnya, dilakukan evaluasi serta penyampaian target untuk bulan berikutnya.
Masing-masing pihak pun akan terikat dalam komitmen yang dibangun secara berkala itu. Sehingga, selain siswa belajar daring, para orang tua dan guru juga harus meluangkan waktu berkomunikasi secara daring dan berkala.
Barangkali model ini akan terlihat sebagai hal sepele dan biasa saja. Karena itu, kita kembali mendengar apa yang pernah dikatakan Thomas Alva Edison: “Kesempatan emas seringkali dilewatkan banyak orang karena selintas terlihat seperti hal yang biasa-biasa dan sepele saja”. Barangkali itu!
Imran Duse, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda dan mantan Pemred Majalah PINISI BPP KKSS)