Sobat Denny JA, Penggerak Peradaban Literasi Menuju Bangsa yang Berkebudayaan

0
571
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

INI kalimat apresiasi yang saya tuliskan di buku SENIOR dan SAHABAT untuk sobat Denny JA.

Saya merasa terhormat ikut terundang dari Adinda Prof Musdah Mulia di acara anugerah Satupena Award 2022 kepada dua penulis berdedikasi dalam mengabdikan kecintaan pada negerinya.

Musdah, yang guru besar memperoleh award untuk karya-karya keilmuan non fiksi, kemudian Eka Budianta yang sastrawan dengan karya-karyanya yang bersifat fiksi.

Anugerah itu dilakulan di Galeri Cemara Prof Toeti Heraty, di Jalan Cokroaminoto, Jakarta, Kamis, 12 Januari 2023.

- Advertisement -

Tiga nama tokoh Denny, Musdah dan Eka tidak asing bagi saya, meskipun interaksi fisiknya tidak intensif.

Sobat Denny JA, Ketua Umum pergerakan peradaban literasi Satupena telah saya kenal namanya dan membaca tulisan-tulisannya di berbagai media sejak tahun 1980 di Taman Ismail Marzuki.

Saya dari daerah Sulawesi Selatan yang serba terbatas pengetahuannya, berusaha keras untuk banyak membaca sebagai jalan untuk mengenal lebih lanjut siapa sosok penulisnya dari bacaan itu.

Termasuk aktif menyaksikan pentas dan pameran kesenian serta mendengarkan pembicaraan kebudayaan di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Kemudian di awal Pilpres pertama 2004 saya mengikuti pooling analisis sobat Denny mengenai siapa Capres yang berpeluang ketika itu.

Nama lain yang akrab dengan Denny seperti Ilham Bintang, Wina Armada dan Nasir Tamara juga saya kenal.

Lalu dengan Prof Musdah Mulia ini adalah yunior di paguyuban kekeluargaan etnis Sulawesi Selatan (KKSS) di masa kepemimpinan Beddu Amang, dekade 90 an.

Sekian lama tidak jumpa, namun terus mengikutil lakon pergerakan pemikirannya yang kritis dan pergerakan aktivisnya di panggung publik.

Kritis dengan pemikiran kesetaraan gender, pembelaan dan memperjuangkan hak-hak asasi perempuan.

Hampir semua teman-teman yang saya temui dengan menyebut nama Musdah, mereka mengatakan orangnya vokal kritis dan berani.

Lalu saya tambahkan bahwa di entitas Bugis itu ada yang disebut Magetteng … artinya kukuh pendirian.

Tentu saya ikut senang merespon itu dan mengatakan bahwa Musda adalah adik saya.

Adik ini mewarisi karakter leluhurnya dari tanah Bugis Bone. Di sana ada empat raja/pemimpin wanita yang bernyali berani/magetteng yang tak ragu dengan apa diyakini kebenarannya, ia tampil di medan perang seperti I Tenriawaru Besse Kajuara, raja Bone yang mengusir Belanda keluar dari wilayah kerajaan Bone.

Dari adinda Musdah ini saya mendapatkan sejumlah buku bukunya termasuk Ensiklopedia Muslimah Reformis, pemikiran dan tindakannya.

Buku tebal 846 halaman itu, saya khatam intensif membacanya sebulan penuh dengan meresumenya setiap bab apa yang menjadi penekanan dari teks itu.

Sungguh suatu pengalaman dengan kesabaran membacanya, tidak tergesa gesa untuk bisa menghayati makna yang dibaca tersirat maupun yang tidak tersurat/dipertanyakan dalam batin ( nawa-nawa ).

Dengan itulah saya menjadi terbiasa membaca buku tebal kategori referensi dan memberi respon tulisan tulisan teman dan senior yang membutukan komentar.

Pengalaman ini mengasah kepekaan dalam memaknai suatu teks narasi, kenikmatan membaca intens saya temukan pada tulisan Yacob Oetama di editorial/tajuk rencana Harian Kompas.

Lalu dengan sobat Eka Budianta, kepadanya juga saya berikan buku dengan tulisan ; Sobatku, ketekunan dan kesabarannya menjalani tantangan, memotivasi semangat kreatif generasi bangsa.

Awal mengenalnya sosok sastrawan yang santun ini pada Pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia di Makassar tahun 1980 an.

Kami bertiga dengan teaterawan Ikranegera ke Tanah Toraja dan menginap di rumah jabatan Walikota Parepare, Ida Yusuf Madjid, seniwati tari.

Di goa Londa Tator itu, Ikranegara dengan lakon topengnya melakukan pentas spiritual/ one men play dengan bahasa Bali leluhurnya.

Kami berdua dengan Eka yang menyaksikannya, suasananya yang sunyi dan sejuk dalam goa dengan aroma wangi dupa.

Saya tidak bertanya ke Ikra apa yang terwujud dalam lakon itu, kemudian saya buat reportase itu di hari Pos Sore Jakarta.

Sobat Eka yang datang disertai istrinya Melani, menghadiahi buku puisinya yang terbaru SUNGAI SEJATI Surabaya Zaman Omikron, 2022.

Di buku itu ada testimoni yang memberi apresiasi dengan karyanya. Anak remaja 15 tahun ini minggat dari rumahnya di Malang ke Surabaya, kemudian balik lagi, berkat ikhtiar guru agamanya, Frater Florentinus yang terus berdoa dan bepuasa sampai anak remaja yang sensitif dan salah paham dengan nasehat bapaknya balik ke rumahnya.

Di arena anugerah Satupena Award itu, saya menemui Mas Putu Wijaya yang didorong dengan kursi roda oleh penyair Jose Rizal Manua, sahabat saya.

Mas Putu diundang khusus oleh Denny bersama Ilham dan Wina
yang berhalangan.

Kepada Mas Putu saya menyampaikan bahwa di buku testimoni Rahman Arge Mate Nisantangi, mengutip pandangannya ; … sosok Rahman Arge, Beruang Bugis yang mampu merebut apa yang hendak dicapainya yang dilakukan dengan lurus, Arge adalah teladan, lelaki yang tenang serta berwibawa.

Kembali ke sobat Denny, pelopor dari gerakan Satupena yang telah melangkah berjalan dengan cita-cita bersama terciptanya bangsa yang berperadaban terhormat dan termuliakan menjadi harapan kita semua, aamiin.

Kebesaran itu tercipta dari pemikiran besar dan literasi itu adalah
karya besar.

Bagaimana mewujudkannya, itu adalah proses kerja tekun dan sabar.

Catatan kecil, mungkinkah gerakan Satupena tampil menghimpun sejumlah kerifan lokal bangsa ini dari nilai demokrasi kepemimpinan yang telah dipraktikkan leluhur kita sebelumnya.

Merujuk ke beberapa daerah yang memiliki peradaban kuno seperti Batak, Minang, Palembang, Jawi, Sunda, Bali, Kalimantan,Ternate, Bugis dan lain-lain dapat menjadi acuan pembanding yang memperkuat dan memperkaya kepemimpinan bangsa yang sedang kita perjuangkan.

Legolego Ciliwung 13 Januari 2023.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here