Solata, Coto vs Konro, dan Badik: Tiga Film Makassar Menguak Takdir

0
615
- Advertisement -

Catatan Alif we Onggang

Film-film nasional dengan bahasa tutur budaya daerah Sulawesi Selatan (Bugis Makassar dan Toraja), khususnya dalam satu dekade terakhir ini, cukup mewarnai khazanah perfilman nasional. Menyusul sukses film Uang Panai yang dirilis pada 2016 dengan jumlah penonton setengah juta lebih, sejumlah film dengan konten lokal Sulawesi Selatan ingin menjajaki sukses serupa, termasuk film-film daerah lainnya yang berlatar budaya Jawa, Sunda, Batak, Padang, Flores hingga Maluku.

Tak heran, Harian Kompas pernah merilis kebangkitan film daerah dimulai dari Makassar, meski jauh ke belakang film dengan penceritaan tradisi Bugis Makassar sudah mengemuka sejak dekade 70-an. Adalah Sanrego, Ujung Badik, Latando di Toraja, Senja di Pantai Losari, — untuk menyebut beberapa — diterima pasar nasional terutama di Jakarta sebagai kiblat film nasional. Selain menyertakan artis nasional, juga menggunakan artis lokal dengan peran sepadan.

Terkait prospek tiga film yang digarap sineas Makassar yang rencana tayang pada Februari 2025, para pemangku kepentingan mengajak masyarakat untuk menyaksikannya. Ketiga film tersebut adalah Solata, Konro VS Coto dan Badik. Film-film ini kental akan lokalitas dan tradisi Bugis Makassar dan Toraja.

Dalam bincang-bincang yang diinisiasi Demi Film Indonesia dan KKSS, di Kafe Riolo, Jakarta (21/12/24) lalu, para insan perfilman berharap terbangun ekosistem perfilman agar membumi dan dicintai oleh masyarakat yang lebih majemuk dan beragam.

Diskusi berlangsung hangat dan dipandu Fachrul Muchsen, anak muda yang selalu antusias berbicara film.

- Advertisement -

Sineas Adi Surya Abdi, Irham Acho Bahtiar, produser dan sutradara Coto Vs Konro, Raira Mira, produser sekaligus artis film Badik, Yan Widjaya, pengamat, Ichwan Persada sutradara Solata berhalangan, dan wakil dari Kementerian Kebudayaan, masing-masing mengapresiasi dan melihat prospek ketiga film tersebut, dan tak lupa menyisakan sejumlah problem, khususnya dalam antrean tayang di bioskop XXI.

Pengamat film Hikmat Darmawan (21/12/24) dalam tulisannya di Kompas, mengungkapkan bahwa sinema sejatinya menciptakan pasar yang majemuk. Selama ini bioskop hanya terkonsentrasi di Jabodetabek. Tahun 80-an kita punya 6.600 layar, dan kini hanya tersisa 3000 layar. Belum lagi film terjegal distribusi.

Ditambah minimnya promosi dan kurangnya dukungan pemerintah. Pemrov Sulawesi Selatan misalnya tidak termasuk 5 provinsi yang paling peduli terhadap pemajuan kebudayaan. Dan film termasuk industri kebudayaan. Beruntung Menteri Kebudayaan Fadli Zon berjanji dan mendorong agar setiap kabupaten mempunyai bioskop.

Ini tantangan para pemangku perfilman. Walaupun kita tidak pernah ragu kapasitas dan kreativitas sineas Makassar.

Sejumlah film Riri Riza meraih penonton terbanyak pun sebagai film terbaik. Muhadkly Aco alias Makkatutu Temmaleng lewat film Agak Laen meraih box office dengan 9 juta penonton, terbanyak kedua sepanjang sejarah. Yandi Laurens dengan Jatuh Cinta Seperti di Film-film meraih film terbaik FFI 2024.

Tak ketinggalan Khozy Rizal melalui film Basri & Salma in a Never-Ending Comedy, menembus Cannes Film Festival di Prancis. Sebuah festival yang ideologinya berbeda dengan Piala Oscar. Cannes lebih bercita seni, dingin dan muram. Sebaliknya Oscar harus menonjolkan nilai-nilai Amerika, menghibur dan heppy ending.

Dukungan KKSS

Warga KKSS adalah entitas kebudayaan yang sejatinya harus mendukung nilai-nilai tradisi yang diusung sebuah film. Film diakui adalah media yang paling ampuh untuk menanamkan nilai-nilai yang dimaksud. Amerika dan Korea sukses mengglorifikasi industri kreatifnya: Film, sastra, musiknya mendunia. Dukungan pemerintahnya tak tanggung-tanggung.

Karena itu, Sekjen KKS A. Karim dan Wakil Ketua Umum KKSS Bidang Seni Budaya Jumrana Salikki telah berkomitmen agar film-film nasional asal Sulawesi Selatan dijangkau pula oleh warga KKSS yang tersebar di seluruh Indonesia.

Lebih dari itu, kultur Bugis Makassar dan Toraja tak pernah kehabisan narasi untuk dituturkan dalam bahasa film. Foklor, sejarah, mitos, legenda, kuliner, alam, tradisi, ketokohan. Semua komplet. Geografis dan alam Sulawesi Selatan, tak kalah dengan setting film Lord Of the Ring, atau Indiana Jones. Kisah epik Hercules tak kalah dengan cerita Saweri Gading atau Arupalakka dan Sultan Hasanuddin, perang Gowa sekiranya difilmkan tak kalah heroik dengan Apocalypse Now.

Ini tantangan para sineas bagaimana meramu cerita yang kuat menjadi bahasa visual yang memikat, didukung riset, dan tentu pendanaan yang longgar.

Mariki Cinta Budaya Sinema Sulawesi Selatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here