Sudahkah Kita Bahagia

0
29
- Advertisement -

Kultum (Kuliah Terserah Antum)

Kolom Ashar Tamanggong

Akhir tahun sering kita rayakan dengan hitung-hitungan capaian duniawi. Target tercapai atau tidak, jabatan naik atau stagnan, kekayaan bertambah atau sekadar bertahan. Namun jarang kita mengajukan satu pertanyaan paling mendasar: sudahkah kita bahagia di hadapan Tuhan atau hanya sibuk terlihat berhasil di mata manusia?

Al-Qur’an mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, melainkan pada ketenangan hati. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (QS. ar-Ra’d: 28). Ayat ini sekaligus menjadi kritik keras bagi masyarakat modern yang memproduksi kegelisahan massal di tengah limpahan fasilitas hidup.

Kita hidup di zaman ketika bekerja tanpa henti dianggap ibadah, namun lupa bahwa ibadah sejatinya menata niat, bukan sekadar menumpuk hasil. Banyak orang lelah secara spiritual: shalat tergesa, doa sekadar formalitas dan zikir kalah oleh notifikasi. Agama tetap hadir di ruang publik, tetapi sering kehilangan daya korektifnya terhadap ketidakadilan dan keserakahan.

Di titik ini, refleksi akhir tahun harus berani menyentuh wilayah yang lebih dalam: apakah agama kita sudah membentuk kepekaan sosial, atau hanya menjadi identitas ritual? Sebab iman tanpa kepedulian adalah iman yang kering, dan kesalehan tanpa keadilan berpotensi melahirkan kemunafikan sosial.

Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa bukan kekayaan yang menjadi ukuran bahagia, melainkan kecukupan jiwa (ghinā an-nafs). Namun realitas hari ini justru memperlihatkan masyarakat yang selalu merasa kurang. Budaya konsumtif dipelihara, keserakahan dinormalisasi, dan keberhasilan diukur dari seberapa jauh seseorang mengungguli orang lain—bukan seberapa banyak manfaat yang ia tebarkan.

Ironisnya lagi, di negeri yang religius secara simbolik, ketimpangan sosial terus melebar. Masjid megah berdiri, tetapi fakir miskin masih tercecer. Acara keagamaan meriah, namun kejujuran kian langka. Ayat-ayat suci dibaca, tetapi pesan keadilan sosialnya sering berhenti di mimbar.
Padahal Al-Qur’an sangat tegas menghubungkan kebahagiaan dengan tanggung jawab sosial. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan yang tidak mendapat bagian” (QS. adz-Dzariyat: 19). Artinya, kebahagiaan personal yang abai pada penderitaan kolektif bukanlah kebahagiaan yang diberkahi.

Refleksi akhir tahun juga menuntut keberanian untuk mengkritik sistem hidup yang kita jalani. Apakah cara kita mencari nafkah masih halal dan bermartabat? Apakah struktur kerja dan ekonomi yang kita dukung ikut menindas yang lemah? Ataukah kita diam karena merasa semua itu bukan urusan pribadi?

Islam tidak mengajarkan kebahagiaan yang egoistik. Bahagia dalam Islam adalah ketika hidup berada di jalur kebenaran, meski tidak selalu nyaman. Ketika seseorang mampu berkata jujur meski berisiko, berbagi meski tidak berlebih, dan tetap lurus di tengah arus penyimpangan—di situlah letak kebahagiaan yang bernilai akhirat.

Maka, menjelang pergantian tahun, barangkali kita perlu mengubah cara bertanya. Bukan lagi, “apa yang sudah kita miliki?”, tetapi “apa yang sudah kita perbaiki?” Bukan sekadar, “apa yang sudah kita capai?”, melainkan “siapa yang telah kita ringankan bebannya?”

Akhir tahun bukan sekadar penutup kalender, tetapi pengingat bahwa umur berkurang dan hisab makin dekat. Jika sepanjang tahun ini kita masih memiliki hati yang takut berbuat zalim, masih terusik melihat ketidakadilan, dan masih berusaha menghadirkan agama sebagai rahmat—bukan sekadar simbol—maka di situlah letak kebahagiaan yang sesungguhnya.

Karena pada akhirnya, kebahagiaan tertinggi bukanlah saat kita merasa puas dengan dunia, melainkan saat kita siap menghadap Tuhan dengan hati yang jujur dan amal yang berpihak pada kemanusiaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here