Tablik Budaya Saromase : Membumikan Lagi Nilai Luhur Peradaban Sulawesi Selatan

0
803
- Advertisement -

PINISI.co.id- Topada idi maneng tomatoa silesureng malebbiku, para ikatte passaribattangngan na si kamaseang, sirindo rondoai anna siwali parri, toddopuli temmalara, iya ada nagau, topada tindo, misa kada dipotuo pantan kada dipomate, kurre sumange.

Kalimat di atas adalah pembuka dari gelaran acara Tablik Budaya Saromase yang sudah dihelat empat kali. Sebelumnya di TMII bersama A. Pawennei adalah yang ketiga dan terakhir di kediaman Prof. Dr. M. Jafar Hafsah, Senin (3/4) sore hingga ditutup dengan buka bersama.

Hadir seniman dan budayawan Aspar Paturusi, Syafriiadi Cut Ali, Andi Idanursanty, Sulasmi Daeg Puji, Dhamawaty, Darwis Darlis, Hasbullah Ismail, Murham Ramli dan Muzakkir Muannas.

Menurut Jafar, pada intinya leluhur-leluhur Bugis, telah begitu banyak mewariskan nilai-nilai kearifan yang seharusnya menjadi roh untuk peradaban.

Khususnya bagi manusia-manusia Bugis, makassar, Toraja, Mandar maupun etnis lainnya dari Sulawesi Selatan.

- Advertisement -

“Bahkan nilai-nilai tradisionalitas seperti nilai-nilai Sulapa Eppa’ yang mencerminkan kearifan manusia Bugis. Seharusnya mampu ditransformasi ke dalam sistem berbangsa dan bernegara kita. Macca : cerdas, pintar, jenius
Malempu : jujur, obyektif, adil
Magetteng : tegas, teguh pada pendirian, tidak bisa dipengaruhi oleh iming-iming apapun,” jelas Jafar.

Ambil misal filosofi Warani. Ini, kata Jafar, bermakna berani mengambil resiko untuk menegakkan kebenaran, tidak takut dan tidak gentar oleh ancaman demi menegakkan kebenaran dan kebaikan bersama untuk orang banyak.

Menurut inisiator tablik Fiam Mustamin, program ini diagendakan satu tahun ke depan untuk 30 narasumber.

“Tablik budaya Saromase/TBS ini cukup lama menjadi impian untuk menghadirkan tokoh-tokoh yang dikenal memiliki pengalaman dalam kehidupan di setiap lingkungan dan profesinya dengan budaya Pangadereng dan etos kerja sehingga menjadikan mereka survive dengan pilihan profesinya,” ujar Fiam.

Terkait Tablik ini, Aspar Paturusi terkesan atas silaturahmi sesama perantau. “Di Tablik ini saya bertemu adik-adik yang menghimpun diri dalam suatu kelompok studi. Mereka hendak mengembalikan semangat pasompe, pelayar yang tangguh.

“Tempo dulu pelaut memiliki kemampuan membaca bintang, membaca tanda alam. Mereka terjemahkan dalam melayari kehidupan dan membina rumah tangga. Macca, lempu, warani, dan getteng tetap menjadi sebab utama dalam perantau,” kata Aspar.

Aspar menegaskan kita memang tidak berlayar lagi di lautan luas, tetapi kita semua berlayar di lautan ilmu dengan profesi kita masing-masing.

“Saya adalah pasompe di lautan sastra. Dunia penciptaan puisi. Untuk itu semua, kita harus kerja keras. Karena itu, macca, lempu, warani, dan getteng tetap menjadi sandaran utama dalam kehidupan perantau,” pungkas novelis dan aktor kawakan ini. (Lip)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here