Tabungan Moral

0
346
- Advertisement -

Catatan Tammasse Balla

Di belantara kota yang kian dipagut modernitas, di antara beton-beton yang menjulang dan jalanan yang dihiasi lampu-lampu temaram, ada satu sudut kecil di mana kebaikan masih tumbuh seperti pohon rindang yang meneduhi siapa saja yang berlindung di bawahnya. Kompleks Citaland Tallasa City, Makassar, salah satu kawasan elit yang megah di Kota Daeng dengan regulasi ketat, seolah menjadi tembok yang membatasi siapa yang boleh dan siapa yang harus menepi. Namun, di antara tembok-tembok itu, ada hati yang tetap menebar cahaya, menjahit simpul-simpul kebaikan tanpa pamrih.

Hampir setiap kali roda mobilku melintasi gerbang penjagaan, langkah petugas yang bersiaga bak prajurit yang tak boleh lengah. Mata mereka menatap tajam, menggali setiap niat yang datang dengan penuh kewaspadaan. Namun, di balik wajah tegas mereka, ada perut yang mungkin kosong, ada lelah yang menggunung, ada rindu pada keluarga yang ditinggalkan demi menjalankan tugas. Di sanalah aku menitipkan sepotong kebaikan. Sepotong roti, sebungkus makanan kecil—tak seberapa nilainya, namun cukup untuk menyalakan api kecil di hati mereka, api yang menghangatkan malam-malam panjang di pos jaga yang dingin.

Aku tak pernah mengharap lebih, karena kebaikan bukan mata uang yang bisa ditukar secara langsung. Ia adalah air yang mengalir tanpa harapan kembali, adalah angin yang berhembus tanpa meminta upah. Namun, siapa sangka, setiap bulir yang kucicil dalam tabungan moral itu pada akhirnya tumbuh menjadi pohon yang berbuah lebat. Sebuah peristiwa kecil mengajarkan kepadaku bahwa apa yang kita tanam, cepat atau lambat, akan kembali kepada kita dalam bentuk yang tak terduga.

Pagi itu, langit Citaland dipayungi kabut tipis, mengiringi suara beton yang dituang dari delapan mobil molen ke lantai dua rumah di samping kediaman anak sulungku. Namun, takdir kadang bercanda dengan ketepatan waktu. Dua dari delapan mobil molen datang terlambat, terjebak dalam simpul kemacetan yang tak berujung. Jarum jam telah melewati batas yang diizinkan oleh aturan kompleks, pukul lima sore. Petugas jaga, seperti benteng kokoh, berdiri tegak di hadapan gerbang, menolak dengan tegas, memegang erat regulasi tanpa celah untuk tawar-menawar.

Pemborong gelisah, para pekerja meradang, dan aku hanya bisa menghela napas. Beton dalam molen tak boleh membeku, atau semua usaha hari itu akan sia-sia. Namun, tembok yang kokoh kadang tak bisa diruntuhkan dengan suara. Aku hanya berkata, “Biarkan aku salat Magrib terlebih dahulu.” Sesuatu dalam hatiku berbisik, ada tangan yang tak terlihat sedang mengatur segalanya.

- Advertisement -

Usai salam terakhir dalam salat, aku melangkah ke pos jaga, ditemani istri yang tak henti berdoa. Mobilku melaju perlahan, berhenti tepat di depan gerbang yang masih tertutup. Saat pintu terbuka, wajah-wajah tegas petugas berubah seketika. Seolah ada udara yang lebih hangat menyelinap ke antara kami. Mereka menatap nomor plat mobilku, DD 7 UM, seolah mengingat sesuatu yang telah tertanam di dalam benak mereka.
“Wah, Pak Haji! Apa yang bisa kami bantu?” suara mereka kini lebih ramah, lebih hangat, lebih hidup. Aku tersenyum, menjelaskan duduk perkara dengan sederhana. Mata mereka saling bertukar pandang, dan kepala pos jaga akhirnya mengangguk pelan. “Ternyata rumah Pak Haji, ya? Baiklah, silakan kedua mobil molen masuk.”

Saat itu, aku memahami bahwa tabungan moral tak pernah kosong. Setiap keping kebaikan yang kita berikan, sekecil apa pun, akan tumbuh menjadi jembatan yang menghubungkan hati-hati yang mungkin sebelumnya terpisah oleh tembok ketidaktahuan. Kebaikan adalah bahasa yang tak butuh terjemahan, tak perlu diteriakkan, cukup disampaikan dengan ketulusan.

Malam itu, beton mengalir, lantai dua berdiri selesai malam itu dan hati yang lelah kini dipenuhi rasa syukur. Aku dan istri melangkah pulang, membawa pelajaran yang lebih berat dari sekadar beban beton—pelajaran bahwa tangan yang memberi tak pernah kehilangan, justru semakin penuh dengan keberkahan.
Olehnya itu, jangan pernah berhenti menabung dalam rekening kebaikan. Karena pada saat yang paling tak terduga, tabungan itu akan menyelamatkan kita dengan cara hanya Tuhan yang tahu.

Makassar, 17 Januari 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here