Teladan dan Kisah Sufi Membersihkan Hati

0
124
- Advertisement -

Kolom Arfendi Arif

Tasauf adalah pengalaman hidup beragama manusia dalam menuju pembersihan hati. Kita kutip pernyataan Buya Hamka yang mengatakan arti tasauf adalah shita ul qalbi yaitu membersihkan hati, membersihkan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji (Hamka, Pustaka Panjimas, l990:202). Terutama tasauf itu memberikan pendidikan kesederhanaan hidup, tidak bermewah dan hidup hanya untuk sekedar yang perlu saja.

Apa tujuan yang ingin didapat dari tasauf. Menjawab hal ini Dr.Harun Nasution (Bulan Bintang, l978: 56) menjelaskan, tasauf atau sufisme mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat-Nya.

Jika seseorang ahli tasauf atau sufi dalam perjuangannya berhasil membersihkan hati, maka bentuk relasinya dengan Tuhan bisa dalam berbagai bentuk, seperti mahabbah (cinta pada Tuhan), ma’rifah (dekat dengan Tuhan),ittihad (menyatu dengan Tuhan) dan lainnya.

Namun, untuk mencapai puncak-puncak hubungan yang dekat dengan Tuhan tersebut para sufi harus menempuh beberapa jalan yang disebut maqamat atau stations. Apa saja maqamat tersebut, para ahli tasauf mengutarakan pendapat yang tidak sama, namun jika kita mengutip Imam Ghazali maqamat atau stasiun tersebut adalah para sufi harus menempuh beberapa fase yang harus dilalui untuk meraih kedekatan dengan Allah yaitu melalui taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat dan ridha atau kerelaan.

Di atas adalah jalan untuk memperoleh kedekatan dengan Allah melalui proses perjuangan yang berat, yang terutama melawan segala dorongan nafsu yang menggiring manusia pada hidup yang tidak disukai Allah, dan bahkan melawan perintah Allah dengan berbuat maksiat dan kejahatan.

- Advertisement -

Sekilas petikan kisah

Untuk meraih kedekatan dengan Allah para sufi umumnya menjuhi kehidupan yang mewah dan kehidupan dunia. Bahkan, mereka rela meninggalkan posisi penting atau jabatan istimewa di dunia ini.
Ibrahim bin Adham, seorang tokoh zuhd , misalnya, berasal dari seorang anak raja di Persia, namun meninggalkan kerajaannya dan hidup mengembara. Salah satu perkataannya,” tinggalkan dunia ini. Cinta pada dunia membuat orang tuli dan buta, hanya menjadi budak”,ujarnya.

Tokoh sufi terkenal dalam Mahabbah yaitu Rabi’ah al ‘Adawiah. Mulanya ia seorang budak atau hamba milik tuannya. Sebagai budak wanita ia berpindah dari satu laki-laki kepada laki-laki lain, namun itu bukan kehendaknya, hanya karena statusnya sebagai budak. Ia sangat ingin jadi manusia merdeka, namun tidak punya harta untuk memerdekakan diri. Dalam doanya kepada Allah ia mengadu,seperti dikutip dalam buku Ustaz Abd Halim Abbas Bagaimana Menjadi Wali (Desember 1991)” Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintah –Mu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku. Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan siang dengan melakukan ibadah kepada-Mu. Tetapi apa yang boleh aku buat karena Kau jadikan aku hamba kepada manusia”.

Tuhan mengabulkan doanya sehingga ia mendapat kebebasan. Selanjutnya, ia banyak bertobat dan menjauhi kehidupan dunia. Rabiah hidup dalam kemiskinan dan menolak bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Dalam berdoa kepada Allah ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi. Ia menempuh hidup zuhd dan hanya ingin dekat kepada Allah.

Salah satu ucapannya yang terkenal,” Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya”.

“Tuhan ku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, bakarlah aku di dalamnya, dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku dari padanya, tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal dari diriku” (Dr.Harun Nasution,hal.72).
Karena cintanya kepada Tuhan, Rabi’ah al-‘Adawi’ah menolak hidup berumah tangga atau kawin, ia menolak lamaran laki-laki dan berkata, bahwa dirinya adalah milik Tuhan yang dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta izin dahulu kepada Tuhan.

Menjadi Sufi tanpa dicari baik Rabi’ah ‘Adawiah maupun Ibrahim bin Adham serta yang lainnya adalah sufi yang mendapat derajat dekat dengan Allah melalui perjuangan dan usaha diri yang serius. Namun, ada juga hamba Allah atau sufi yang mencapai dekat dengan Allah melalui cara kilat dan mudah yang disebut Mauhibah.

Abu Yazid Al-Bistami sejak dalam kandungan sudah mendapat tanda-tanda bakal menjadi sufi yang masyhur. Ketika ibunya mengandung dirinya, ibunya selalu mendapat perlindungan dari Allah terhindar dari makanan yang haram. Apabila ibunya diberi makanan halal maka tangannya dengan mudah mengambilnya. Tetapi, bila diberikan makanan yang tidak halal, tangan ibunya spontan menolak.

Perlindungan dari Allah ini berlangsung hingga Abu Yazid Al- Bistami baligh dan dewasa hingga cintanya dipenuhi kepada Allah. Itulah ilmu yang didapat melalui Mauhibah hingga Abu Yazid menjadi sufi yang masyhur dan terkenal.

Dalam buku Bagaimana Menjadi Wali juga dikisahkan tentang Bisyru Al Haafi( Bisyru yang tidak beralas kaki) yang menjadi wali Allah melalui Mauhibah.Bisyru adalah seorang hartawan dari Baghdad. Namun, dengan kekayaannnya itu ia hidup bermewah-mewah, berpoya-poya dengan arak dan wanita. Hidayah Allah masuk ke dalam dirinya setelah ditegur oleh seorang tamu yang tidak dikenal.

Ketika sedang bersenang-senang di rumahnya, ia didatangi seorang tamu yang mengetuk rumahnya dengan keras. Seorang hamba sahaya atau pembantunya membukakan pintu. Terjadilah dialog,” Yang punya rumah ini orang merdeka atau hamba”. Pembantu menjawab,” Seorang merdeka dari golongan pertuanan”. Sang tamu menimpali, “ Kamu benar. Kalau ia seorang hamba tentu ia akan melakukan adab-adab seorang yang hamba. Bahkan ia akan meninggalkan segala macam permainan yang sia-sia itu karena takut akan Tuhannya”.

Kata-kata yang disampaikan tamu tidak dikenal tersebut disampaikan oleh hambanya kepada Bisyru. Bisyru tergoncang mendengarnya dan spontan mengejar tamu tersebut tanpa beralaskan kaki. Setelah tamu yang dicari itu bertemu, Bisyru meminta tamu tersebut mengulangi kata-katanya. Setiap mendengar kata-kata tersebut Bisyru merasa terguncang jiwanya. Pada saat itulah ia mulai insaf,tersadar dan mulai meninggalkan gaya hidupnya yang bermewah-mewah dan berpoya-poya itu. Bisyru merasakan ketenangan batin yang hakiki. Bisyru tidak lagi menjadi budak dunia, tetapi menjadi orang yang merdeka. Diserahkan dirinya kepada Allah, maka Allah pun memberikan perlindunagan kepadanya. Allah juga memancarkan Iman dan dan kelazatan keyakinan kepadanya. Bisyru telah menjadi seorang sufi yang karena ilmunya berasal dari cahaya Allah dan diperoleh secara cepat melalui Mauhibah.

Bagi kita kehidupan para sufi dengan kecintaan, kedekatan dan kesucian hatinya untuk mendekati Allah, merupakan contoh yang hendaknya menjadi motivasi kita untuk selalu berusaha meningkatkan kualitas Ibadah dan amal shaleh kita. Kalau itu rutin dan telaten kita lakukan dengan berusaha taat kepada Allah bukan mustahil dalam diri kita tumbuh kecintaan dan kedekatan kepada Allah. Kita mencintai Allah dan Allah pun mencintai kita. Allahu ‘alam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here