Oleh Ruslan Ismail Mage
Secara politik, Indonesia tahun 1998 mendapat berkah setelah gerakan reformasi melahirkan proses demokratisasi dihampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dikatakan berkah karena secara teoritik demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling bisa mendistribusikan keadilan dan mengalokasikan kekayaan alam yang merata kepada seluruh warga bangsa tanpa terkecuali.
Demokrasilah yang menjamin setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama dibidang politik, hukum, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Jadi lagi-lagi secara teoritik warga negara harus mensyukuri datangnya demokrasi yang membawa persamaan hak bagi setiap warga negara setelah terkungkung puluhan tahun.
Persoalannya kemudian, ternyata proses demokratisasi yang sudah berlangsung lebih 20 tahun di negeri ini belum sepenuhnya melahirkan warga negara yang konsisten mempertahankan ciri warga negara demokratis yang harus bersuara dan tidak boleh diam ketika melihat dan merasakan ada ketidakadilan. Sebagaimana kata Robert Dahl bahwa “warga negara yang diam akan menjadi racun bagi demokrasi dan menjadi berkah bagi pemerintahan otoriter yang korup”. Rocky Gerung menyebutnya demokrasi adalah “menggelang bukan mengangguk”. Artinya multivitamin demokrasi adalah suara kritis dari warganya, khususnya kaum intelektualnya dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang bersih.
Berdasarkan pengalaman pemilu 2019 lalu, polarisasi di tengah masyarakat terus meningkat suhunya sampai ambang mendidih. Data dan fakta menunjukkan polarisasi semakin tanjam menukik saling menyerang dan memojokkan untuk memperebutkan elektabilitas. Kekhawatiran pun muncul karena pola serangan antar pendukung calon presiden di ruang-ruang publik tidak jarang menggunakan narasi-narasi rendahan yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan politik, tetapi sebaliknya saling menyerang, mengejek, melecehkan, mengarah fitnah yang terkadang merampas akal sehat.
Kalau ini terus dibiarkan bisa jadi meracuni tumbuh kembangnya demokrasi yang sehat. Karena itulah, kaum intelektual yang bercirikan argumentasi akal sehat harus berdiri di tengah-tengah meluruskan demokrasi tetap berjalan di atas rel kebenaran tanpa di rusak oleh narasi-narasi rendahan mengarah ke fitnah demi meraih elektabilitas.
Hal ini menjadi penting, karena yang paling membahayakan masa depan suatu bangsa ketika orang-orang terdidiknya diam membisu dan larut dalam pusaran propaganda politik demi elektabilitas atas nama bonus jabatan (komisaris, direktur, staf ahli kementeraian,) walau harus mengingkari nilai-nilai intelektualitasnya. Sesungguhnya negara ini didirikan untuk menumbuhkan intelektualitas warganya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mungkin karena memilih menggeleng dengan narasi-narasi kritisnya, Rocky Gerung sering dipanggil polisi dengan tuduhan akal-akalan yang tidak bisa dibuktikan. Saya jadi teringat kepada Pierre Bourdieu intelektual Perancis, Antonie Gramsci intelektual Italia, dan Edward W Said yang menemukan momentum intelektualnya di Inggris. Ketiganya adalah intekektual sejati yang konsisten melakukan peran atas tanggungjawab sosial terhadap pengetahuan, skill, dan kemampuan lebih yang dimilikinya dalam menghadapi beberapa persoalan di negerinya. Ketiganya pemikir keritis yang meninggalkan zona nyaman di kampus untuk terjun langsung dalam geliat perlawanan terhadap praktik dominasi dan hegemoni rezim penguasa yang dianggap menindas, baik secara pemikiran maupun secara fisik. Ketiganya pun akhirnya ditangkap oleh rezim dan menjadikan penjara sebagai “rahim” karya besarnya.
Kalau kemudian kaum terdidik umumnya membisu dan hanya mampu menggerutu tanpa berbuat apa-apa dalam menyikapi kebijakan pemimpin yang berpotensi merugikan daerah dan negara, terus pers berlomba-lomba tengkurap atas nama kapitalis, kemudian intelektualitas kampus mandul atas nama elektabilas, maka itulah tanda-tanda demokrasi akan mendapat serangan jantung.
Karana itu, menuju 2024 saatnya kaum terdidik bangsa ini menemukan momentum intelektualitasnya dengan terus bersuara menggunakan akal sehat. Sehatkan kembali demokrasi yang sudah terkontaminasi dengan narasi-narasi rendahan dan logical fallacy. Dari titik inilah statement Rocky Gerung memarik direnungi, karena mungkin ada benarnya bahwa “akal sehat adalah satu-satunya mata uang yang berlaku dalam perdebatan politik, bukan elektabilitas atau nomor rekening”. Statement Rocky Gerung ini menjadi menarik dan penting, karena Yudi Latif dalam bukunya “Negara Paripurna (Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila)” menjelaskan bahwa “kesalahan menajemen kekuasaan di beberapa titik dapat menimbulkan retak-retak pondasi kebangsaan”.
Tulisan ini perlu dimaknai dalam konteks kekinian Indonesia, karena menurut Bung Hatta “Kaum intelegensia tidak boleh bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada siapa yang kebetulan menduduki jabatan”. Pernyataan Bung Hatta ini jelas mengisyaratkan bahwa kalau ada yang pantas disalahkan akibat salah pengelolaan negara, itu adalah kaum intelektual yang hanya diam, membisu, dan hanya menggerutu tanpa mengambil peran intelektualitasnya mendengarkan dan menyuarakan kebenaran. Karena itu, saatnya temukan momentum intelektualitasnya. Jangan sampai tergadai lagi kepada kapitalis atas nama elektabilitas.
Penulis: Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku politik