Terkait UU Cipta Kerja, Zainal Bintang dan Zainal Arifin Mochtar Minta Ketegasan Presiden

0
913
Unjuk rasa mahasiswa di depan Gedung DPR menolak UU Cipta Kerja. (Foto Pikiran Rakyat).
- Advertisement -

PINISI.co.id- Ratusan akademisi baik guru besar hingga dekan dari berbagai universitas menyesalkan pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan DPR dan Pemerintah, Senin, 5 Oktober 2020 kemarin. Mereka menyampaikan surat keberatan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, para menteri, serta DPR RI.

Pakar hukum tata negara UGM kelahiran Makassar, Zainal Arifin Mochtar menyoroti pembentukan UU ini tidak mengundang partisipasi publik. Bahkan dia menyebut banyak lembaga negara yang tidak diikutsertakan dalam pembahasan.

“UU ini dibuat dengan cara yang luar biasa tidak melihat partisipasi publik, karena kemudian partisipasi di dalamnya nyaris tidak ada. Yang kedua, transparansi juga tidak ada. Publik sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dari proses perumusan undang-undang. Jangankan publik, sebagian lembaga negara saja tidak menerima,” ujarnya seperti dilansir Detik.com, Rabu (7/10/2020)

Menurut pegiat antikorupsi ini, pembahasan yang dibuat juga dengan proses yang tidak melibatkan stakeholder yang terkait. Itu yang disebut dengan partisipasi. Padahal pelibatan itu menjadi penting. “Saya melihat gejala yang dilibatkan itu adalah pihak-pihak yang sudah selektif, dipilih berdasarkan orang-orang yang mendukung ini dan kemudian menegasikan orang-orang lain,” lanjut Zainal.

Sementara Dewan Pakar KKSS H. Zainal Bintang menulis di PINISI.co.id (7/10/2020) mengingatkan, mayoritas menyebutkan UU Cipta Kerja merugikan pekerja. Pemerintah dan DPR bersikukuh menyebut UU itu akan memperlancar masuknya investasi berskala besar ke Indonesia.

- Advertisement -

Sejumlah pakar hukum mengatakan model Omnibus Law tidak dikenal di dalam sistem hukum di Indonesia dimana satu UU baru dibentuk untuk menyederhanakan sejumlah UU lainnya, dalam konteks ini disebutkan ada 72 UU yang diperas paksa menjadi satu.

“Pasalnya, pada faktanya UU Cipta Kerja itu tidak hanya terbatas bekerja di wilayah ketenagakerjaan, tapi malah merangsek masuk ke substansi lain. Memasuki sektor seperti, tata ruang, tenaga nuklir, hak adat, soal imigrasi, hak paten, produk halal. Hal mana membuat UU itu berwatak etatisme,’ tulis wartawan senior ini dalam esai Bagaimana Demokrasi Mati.

Zainal yang juga dikenal sebagai tokoh Golkar, mengutarakan, pemerintah dan DPR berhasil “memenangkan” pertarungan politik di parlemen melalui metode voting dengan senjata pamungkasnya yang bernama suara terbanyak. Dan kegaduhan sudah tersulut. Unjuk rasa merebak di banyak daerah. Isunya bergeser menjadi “mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR.

Namun demikian, untuk jangka panjang, kata Zainal mengingatkan, sejauh pola ini selalu dijadikan palu godam pemukul untuk kepentingan subjektif jangka pendek (politis), maka ia adalah racun yang pelan-pelan akan membunuh demokrasi dan melumpuhkan tubuh sebuah bangsa.

Dalam kaitan itu, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono menyoal UU pertanahan yang disebutnya berpihak kepada kepentingan perusahaan dan abai terhadap reforma agraria.

“Dari segi subtansinya, untuk UU Pertanahan nyata sekali bahwa rumusan itu bias pada kepentingan pengusaha dan abai terhadap reforma agraria,” kata Maria dalam webinar pernyataan sikap akademisi terhadap UU Cipta Kerja, Selasa (7/10/2020).

Akan halnya, Prof. Susi Dwi Harijanti, Ph.D mengungkapkan proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas Prof. Ir. Yonariza, M.Sc, Ph.D, juga menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurutnya, substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme, neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat, serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.

Lepas dari prokontra, pemerintah menawarkan jalan keluar, kepada yang menolak UU itu dapat menggugat melalui uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi).

Cuma, kata Zainal Arifin Mochtar, selain uji materi di MK, ada cara lain yakni sikap tegas Presiden. “Presiden masih dapat bersikap terhadap UU Cipta Kerja yakni tidak menandatangani UU Cipta Kerja, setidaknya menunjukkan sikap yang mendengarkan aspirasi publik,” kuncinya kepada Kompas, Rabu, (7/10/2020). (Lip)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here