Kolom Fiam Mustamin
Perjalanan pulang kampung kali ini terasa istimewa. Selain untuk menghadiri Pertemuan Saudagar Bugis Makassar ke-25 dan Musyawarah Besar ke-12 Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) yang berlangsung pada 10–11 Maret 2025 di Makassar, saya juga memenuhi ajakan dua sahabat terhormat: HM. Yasin Azis, Ketua Umum Kerukunan Keluarga Daerah Barru (KKDB), dan Idrus Marham, mantan Menteri Sosial, Sekjen DPP Partai GOLKAR, sekaligus mantan Ketua Umum DPP KNPI.
Ajakan dua tokoh ini menjadi kehormatan besar bagi saya, yang sesungguhnya bukan siapa-siapa. Dalam forum Mubes KKSS kali ini, saya hadir sebagai peserta peninjau dari Dewan Penasehat Lembaga Seni Budaya KKSS.
Kembali ke Kampung Halaman
Perjalanan menuju kampung kelahiran saya di Tajuncu, Soppeng, dapat ditempuh sekitar 3–4 jam melalui jalur pegunungan Camba, Maros, dan Bulu Dua, Barru. Alternatif lainnya adalah melalui jalur pesisir menuju Parepare, lalu dilanjutkan ke Sidenreng Rappang.
Di kampung, saya tidak hanya hadir untuk urusan organisasi, tetapi juga menyaksikan dua peristiwa adat yang tak saya rencanakan sebelumnya: penyematan batu nisan (dalam istilah Bugis disebut mattampung) untuk seorang kerabat bangsawan wanita yang telah wafat beberapa bulan lalu, serta prosesi pemakaman seorang kerabat bangsawan wanita lainnya yang berpulang saat saya berada di sana.
Prosesi Adat yang Masih Lestari
Pada malam sebelum pemakaman, suara gong, gendang, dan bebunyian bambu terdengar semalaman. Semua ini merupakan bagian dari ungkapan duka yang mendalam, sebuah tradisi yang masih terpelihara dengan baik.
Saya berkesempatan melayat dan bertemu dengan keluarga besar di Saoraja Watanlipu, rumah bangsawan yang masih berdiri kokoh di Tajuncu. Jenazah disemayamkan dalam kelambu khusus yang dihiasi secara khidmat, mencerminkan penghormatan terakhir dari keluarga dan masyarakat sekitar.
Keesokan harinya, Jumat pagi, jenazah dishalatkan di Masjid Nur Ihsan, kemudian diarak menggunakan lawasoji—usungan khusus untuk jenazah bangsawan—menuju kompleks pemakaman keluarga.
Dalam arak-arakan tersebut, terdapat empat wanita kecil yang menaburkan benno (beras) di sepanjang jalan yang dilewati. Ini melambangkan doa dan pengharapan agar perjalanan arwah menuju alam baka dipenuhi keberkahan.
Setibanya di pemakaman, peti jenazah dibuka dan wajah almarhumah dihadapkan ke arah kiblat. Setelah itu, prosesi pemakaman dilanjutkan dengan penimbunan tanah oleh para kerabat terdekat.
Warisan yang Terjaga
Begitulah gambaran tradisi adat pemakaman bangsawan di Tanah Bugis yang masih terus dipelihara hingga hari ini. Sebuah warisan budaya yang tidak hanya menyentuh sisi spiritual dan emosional, tetapi juga memperlihatkan kearifan lokal dalam menghormati leluhur.
Semoga tradisi ini tetap lestari, menjadi identitas dan kebanggaan generasi Bugis masa depan.
Saoraja Watanlipu, Tajuncu, Soppeng
17 April 2025