PINISI.co.id- Sekalipun Indonesia sudah merdeka 75 tahun, namun masih banyak menyisakan ironi, tak hirau ironi itu dialami oleh para pahlawan yang sedikit banyak telah berjasa buat negara.
Apabila orang lain memeringati hari kemerdekaan dengan suka cita, Wasimah Salman Sapo, yang akrab disapa Wasimah Arland merayakannya dengan perasaan was-was dan pikiran campur aduk. Inilah kado kemerdekaan yang begitu pahit dan mengiris hatinya.
Siapa duga, perempuan kelahiran Maros, Sulawesi Selatan, 26 September 1943 ini, sepatutnya di usia senja, hidup tenang dan mengemong cucu. Tapi, sekarang ia masih terus berjuang mempertahankan hak dasarnya sebagai manusia; terkait kepemilikan rumahnya di Komplek Kodam Jatiwaringin, Jakarta Timur. Ia selama dua tahun ini lebih banyak mengungsi di rumah anaknya, tak jauh dari permukiman yang sudah ia diami selama 42 tahun.
Suara bulldozer yang meraung-raung, membuatnya trauma sehingga ia kerap dijangkiti mimpi buruk. Pasalnya, pada tengah malam alat berat itu merangsek dan sudah meratakan 20 unit rumah dengan tanah di kompleknya. “Dan ini tanpa ganti rugi,” tutur Wasimah dengan suara tercekat.
Wasimah, adalah pensiunan TNI AD berpangkat Peltu (Pembantu Letnan Satu). Ayahnya, Kapten Salman Sapo, adalah pejuang yang bersama Andi Mattalatta dan M. Jusuf mengangkat senjata di Yogya. Ia juga merupakan cucu KH. Abdullah, pendiri Muhammadiyah di Sulawesi. Saat Buya Hamka ke Makassar; Buya acap menginap di rumah nenek Wasimah.
Gerombolan anak buah Kahar Muzakkar yang hendak menculik ayahnya, dan tak pernah berhasil, mendorong Wasimah untuk masuk Kowad TNI AD.
Saat dinas di kemiliteran, ia pernah bertugas di Tanzania, Afrika Timur, dan mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat. Lebih dari itu, Wasimah adalah wanita pertama dari Sulawesi Selatan yang mendapat brevet — wing penerjun yang disematkan Letjen Sarwo Edi, ayah Kristiani Herawati, istri SBY, Presiden Ke-6 Indonesia.
Pensiun dari militer, Wakil Ketua Departemen Peranan Wanita BPP KKSS, 1995-1999, ini menjadi Sekretaris Letjen Solihin GP, mantan Pangdam Hasanuddin yang menjabat Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan, 1997-1992, dan berkantor di Bina Graha, selama 18 tahun, kantor bersama dengan Presiden Soeharto. Ia juga sempat menjadi pengawal Ibu Negara Tien Soeharto beberapa lama.
Adapun suaminya, Suwardi Arland, kesohor sebagai playmaker kawakan era keemasan PSM dan PSSI tahun 50-60-an. Di PSM, Suwardi adalah trio maut bersama Ramang dan Noor Salam yang paling ditakuti di Tanah Air dan sering tampil memukau di turnamen Asia. Suwardi pernah membela dan melatih PSM hingga menjadi juara nasional beberapa kali, dan pelatih tim nasional yang membawa PSSI sebagai salah satu skuat terbaik di Asia.
Pensiun dari sepak bola, Suwardi bekerja sebagai komentator bola di stasiun TV. Apa boleh buat, ia kecewa karena mengaku tidak mendapatkan penghargaan setimpal dari apa yang telah ia sumbangkan pada kemajuan sepakbola Indonesia. Ia pun menghadap Sang Kuasa pada tahun 2005.
Tak dimungkiri, banyak atlet nasional yang mengukir reputasi internasional, namun tidak memperoleh kelayakan di hari tuanya. Atlet nasional Gurnam Singh, peraih 3 emas Asian Games, menjadi gembel dan melarat sampai akhir hayatnya. Ellysas Pical, juara dunia tinju yang pada masa pensiunnya jadi satpam dan sempat terjerat narkoba.
Karena itu, berbagai jasa yang telah mengharumkan nama daerah dan bangsa agaknya tak cukup menolong Wasimah yang sewaktu-waktu bisa terusir dari rumahnya. “Penghuni di sini banyak yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Saya terus berjuang mempertahankan hak saya ke pengadilan. Rumah yang tidak seberapa luas ini, hanya 180 meter persegi, hasil pembelian dari honor suami saya waktu masih aktif di sepak bola,” kata Wasimah lirih.
Di permukiman seluas 21 hektar ini, terdapat 400 unit rumah yang dihuni oleh pensiunan TNI, para warakawuri – janda TNI, dan anak turunan pejuang, termasuk cucu Mayjen TNI Nana Narundana, Pangdam Kodam Wirabuana pada 1985. “Beberapa rumah pensiunan jenderal juga di sini, entah bagaimana ke depannya,” sahutnya cemas.
Namun buat pebisnis, tanah strategis ini selalu diincar dan menggiurkan buat lahan komersil. Terbayang kelak, lokasi ini peruntukannya buat apartemen, blok, berikut mal, — bakal menambah sesak Jakarta oleh ratusan mal, kota di dunia yang terbanyak memiliki pusat perbelanjaan.
Semula Wasimah menetap di kawasan Roxy, Jakarta Barat, lalu difasilitasi oleh Kodam Jaya pindah ke hunian sekarang. Kawasan Roxy dibeli oleh Probosutedjo, adik Presiden Soeharto untuk lahan bisnis.
Kini, di lokasi sekarang, tempat tinggal Wasimah, yang merupakan hasil jerih payah dia dan suaminya, sedang dibidik untuk lahan komersil. “Mau pindah ke mana lagi? Saya sudah tua, 77 tahun dan inilah harta satu-satunya selain dua anak dan tiga cucu,” katanya sedih.
Wasimah tak bisa menghilangkan kerisauannya, ia belakangan jarang tidur pulas, alih-alih bermimpi indah. Dia tak kuasa membayangkan nasibnya di hari-hari berikutnya. Betapapun ia dan penghuni lainnya berjuang di pengadilan untuk kepemilikan rumah di tanah negara ini, ia lamat-lamat berpikir, semoga hukum tidak bisa digadai dan jangan sampai ia tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kalau begitu, benar kata aksioma, bahwa di Ibu Kota Jakarta, jangankan yang hidup, yang mati pun sering terkena gusur.
Tampaknya, ‘bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, sekonyong-konyong menyayat dirinya, dan hanya sebuah slogan sumbang. Nenek tiga cucu ini sekarang terlunta-lunta diombangkan nasib yang tiada menentu.
“Kita mau jadi gelandangan atau tidur di bawah kolong jembatan kek, tak ada yang peduli,” sungut Ari, putra Wasimah.
Wasimah rupanya belum merdeka dari ancaman penggusuran.
Apakah di atas tanahnya bakal berdiri perkantoran dan mal dengan congkaknya, — dibangun dari tanah yang diperjuangkan dengan peluh keringat, tetes darah dan air mata?
[Alif we Onggang]