PINISI.co.id- Sungguh sayang, masih banyak orang Sulawesi Selatan yang belum pernah naik perahu pinisi. Perahu tradisional asal Bulukumba itu hanya dikenang sebagai perahu yang malang melintang berlayar ke seluruh nusantara, bahkan merasa bangga pinisi bisa berlayar hingga ke Kanada, dan Jepang.
Jauh-jauh dari negaranya, kini banyak turis dari mancanegara bisa menumpang perahu pinisi sebagai kapal pesiar mewah di Bali, Labuan Bajo dan di Jakarta. Di Makassar dan Bulukumba sendiri tampaknya belum ada perahu pinisi yang dikhususkan bagi turis untuk tur wisata. Padahal buat turis pinisi adalah perahu yang begitu eksotis dan mengagumkan.
Nah, bagi yang ingin menjajagi perahu pinisi, di Ancol sudah tersedia perahu kayu ini untuk mengantar Anda keliling Teluk Jakarta. Tentu harus merogoh kocek yang lumayan, namun sesuai dengan harapan bagaimana sensasinya naik perahu pinisi.
Kapal pinisi milik manajemen Augustine Phinisi yang beroperasi di Taman Impian Jaya Ancol.
Wahana pariwisata tersebut menyediakan sensasi perjalanan tersendiri. Pengunjung bisa berlayar sambil santap siang, disuguhi pemandangan indah laut di Teluk Jakarta.
Wisata yang tergolong masih baru di Ancol ini cukup menarik perhatian. Selain unik,interiornya juga bagus untuk menjadi latar berswafoto ria baik bersama teman maupun keluarga.
Di dek utama, terdapat sebuah meja makan memanjang berbentuk segi empat dengan 12 kursi. Piring dan gelas telah ditata rapi di atas meja yang dihiasi oleh taplak berwarna putih bersih.
Di ruang tersebut juga tersedia televisi pintar dengan layar datar 50 inch serta pengeras (speaker) di kanan-kiri yang suaranya cukup menggelegar jika dipakai berkaraoke ria.
Dari dek utama, pemandangan laut di kanan dan kiri kapal masih terlihat dengan jelas karena seluruh jendela kecil di sana berwarna bening sehingga masih tembus pandang hingga ke luar.
Tapi jika mau cari angin, kita bisa menuju buritan kapal yang lebih dekat dari ruang makan itu. Di sini sudah tersedia tempat duduk memanjang di kanan dan kiri sehingga bisa diduduki lebih dua hingga tiga orang.
Atau yang lebih menarik adalah pemandangan di geladak utama. Ada “bean bag” dan sofa panjang empuk berwarna khaki disertai bantal.
Bisa juga memilih duduk di sana karena bisa “selonjoran” sambil merasakan gemercik air laut ketika mencium dinding kapal yang melaju di bawah langit biru.
Jika ingin tidur, manajemen Augustine Phinisi menyediakan empat buah kamar VIP yang dilengkapi tempat tidur berkapasitas dua orang, berpendingin ruangan serta menghadap ke laut.
Di setiap kamar memiliki kamar mandi yang menyediakan “shower” air panas dan dingin, toilet duduk dan wastafel.
Ternyata pemilik kapal yang terbuat dari kayu itu adalah gadis manis berusia 26 tahun bernama Diandra Hadi. Ia memiliki cita-cita menjadi pelaut sejak usia belia.
Cita-cita itu pun tercapai pada tahun 2020 setelah terbangunnya kapal pinisi milik pribadi yang diberi nama Augustine Phinisi sesuai nama Oma Augustine, nenek Diandra.
Kapal yang pembangunannya memakan waktu kurang lebih setahun itu kini sudah beroperasi pada Maret 2021 di dermaga Hotel Putri Duyung, Taman Impian Jaya Ancol.
Diandra mengenang keberangkatannya ke Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dia bertemu dengan “panrita lopi”, sebutan ahli kapal bagi warga setempat.
Menurut Diandra, negara kepulauan seperti Indonesia seharusnya lebih mengembangkan kolaborasi pariwisata laut menggunakan kapal.
Sudah bukan saatnya lagi masing-masing individu atau organisasi untuk berlomba-lomba menjadi yang paling terbaik. Tapi kini saatnya berlomba-lomba untuk berkolaborasi, terutama di masa sulit seperti saat ini.
“Tidak bisa tidak, kita harus bekerja bersama untuk memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat,” kata Diandra dinukil Antara.
Terkait pemilihan jenis kapal, Diandra memilih pinisi karena kekagumannya pada sejarah kapal lincah yang pernah berjaya di Nusantara pada tahun 1.000-an.
Sebuah cerita menyebutkan bahwa nama itu diambil dari nama sebuah kota pelabuhan di Italia, Venesia (Venicia). Dalam dialek Konjo, namanya disebut “penisi” yang akhirnya menjadi pinisi.
Versi lain mengungkapkan bahwa pinisi berevolusi dari kata Bugis, panisi, yang artinya menyisipkan. Bentuk lain dari kata ini adalah “mappanisi” yang artinya “menyisipkan” dan “menyesuaikan diri”.
Kata ini juga sesuai dengan teknik yang digunakan dalam membangun kapal pinisi, yaitu menambal semua sambungan papan dinding dan kapal dengan bahan tertentu sehingga air tidak bisa masuk ke kapal.
Dengan kapal tersebut, para pelaut pedagang Bugis membawa beras berwarna putih dan emas serta menukarnya dengan pakaian dari Cambay, Bengal dan Keling, yang merupakan bagian dari India.
Layaknya sistem pelayaran pada masa itu, para pelaut Bugis mengandalkan kemampuan membaca angin muson timur dan barat serta posisi matahari dan rasi bintang untuk membantu mereka dalam navigasi maritim yang memungkinkan mereka mengarungi dunia.
Selain itu, mereka mengandalkan pengamatan karakteristik laut, seperti arus dan pergerakan gelombang, perubahan warna dan suhu air laut, jenis ikan yang ditemukan di perairan tertentu, bahkan pola terbang burung.
Tradisi
Meski abad itu telah berlalu, sejarah pelaut Bugis dan pinisi mereka tetap hidup di hati Diandra.
Ia semakin kagum ketika pada tanggal 7 Desember 2017, Sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Takbenda dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan seni pembuatan kapal pinisi asal Sulawesi Selatan sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan.
Sebutan tersebut merupakan pengakuan UNESCO terhadap pinisi sebagai bagian dari seni berlayar yang tak ternilai harganya di Nusantara, mengingat proses pembuatan kapal yang kaya akan nilai budaya dan spiritual, di samping menerapkan teknologi dan bentuk yang canggih dan unik pada masanya dan berlanjut hingga saat ini.
Pinisi milik Diandra memiliki dua tiang utama dengan tujuh layar.
Dua buah layar utama berbentuk trapesium dipasang di tengah. Layar utama pada tiang depan disebut “sombala bakka”. Sedangkan pada tiang belakang disebut “sombala riboko”. Kedua layar utama dan lima “jib” adalah ciri khas pinisi.
Diandra mengatakan proses membangun kapal dilakukan dalam lima bulan riset dan 10 bulan pembangunan oleh perajin kapal layar di sana dari nol.
Tahap pertama yang dilakukan adalah proses menghitung hari baik mencari kayu untuk pembangunan kapal, yang biasanya pada hari kelima dan ketujuh setiap bulan.
Setiap hari memiliki makna yang baik, seperti “rezeki ada di tangan” dan “selalu terima rezeki” masing-masing.
Proses pencarian kayu dipimpin oleh seorang kepala perajin kapal. Selanjutnya kayu untuk lunas akan ditempatkan menghadap timur laut. Balok lunas bagian depan melambangkan laki-laki, sedangkan punggung diartikan sebagai perempuan.
Setelah dibilang cukup, maka proses pemotongan diawali dengan menggunakan gergaji mesin yang harus terus bergerak hingga kayu terpotong.
Tahap berikutnya adalah pembuatan dek, kabin, pemasangan tiang, layar utama, jib, dan proses penyelesaian, dan akhirnya, peluncuran pertama di laut.
Semua tahapan tersebut sudah menjadi tradisi yang mencerminkan nilai-nilai sosial budaya kehidupan sehari-hari berupa kerja kolektif, kerja keras, keindahan dan apresiasi terhadap lingkungan alam.
Selain di Tana Beru, proses pembuatan pinisi tradisional masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, antara lain di Bira dan Batu Licin.
Di masa pandemi saat ini, Diandra mengatakan hanya melayani pemesanan secara paket saja dan tidak bisa memesan secara individu. Satu paket biasanya terdiri dari 10 orang.
Ia mengatakan pemesanan secara paket itu untuk mencegah terjadinya penularan COVID-19 di atas kapal. Asumsinya, jika dilakukan secara paket, maka setiap pengunjung pasti saling mengenal satu sama lain dan saling menjaga diri satu sama lain dari kontak dengan penderita COVID-19.
Sementara di atas kapal hanya ada kru yang terdiri dari para pelaut di Pulau Sulawesi. Mereka tinggal dan tidur di atas kapal saja setiap hari untuk meminimalisir kontak erat dengan orang luar.
Selain itu, pihak Taman Impian Jaya Ancol juga menerapkan pengawasan terhadap setiap penumpang yang akan menaiki kapal agar negatif COVID-19 dulu sebelum naik kapal melalui hasil tes usap (swab test).
Terkait perangkat pengamanan lainnya, Diandra juga menyediakan 30 jaket pelampung, satu unit sekoci yang bisa menampung 25 orang, 4 unit karet pelampung, kotak P3K dan alat pemadam api (fire extinguisher).Kolaborasi PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dengan manajemen Agustine Phinisi diharapkan dapat menghidupkan kembali gairah pariwisata bahari di Indonesia, khususnya di Teluk Jakarta.
Apalagi, kapal tersebut juga memiliki paket perjalanan hingga ke Kepulauan Seribu. Ini tentu dapat menjadi pintu baru bagi masuknya wisatawan ke lokasi pariwisata yang keindahannya tak kalah dari Pulau Bali tersebut. (Aco/Antara.com)