PINISI.co.id- Sebuah kesempatan mengantarkan saya untuk mengunjungi Pulau Sebira, sebuah pulau kecil yang terletak paling luar pada gugusan Kepulauan Seribu. Meskipun masih termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, tapi tempat ini malah lebih dekat dengan Provinsi Lampung.
Kami berkumpul di Dermaga 6 Marina Taman Impian Jaya Ancol untuk siap-siap berangkat dengan kapal cepat. Karena berangkat saat musim angin kencang, perjalanan laut kali ini seperti sebuah “uji nyali”. Awalnya pelayaran dengan kapal kecil berkapasitas sekitar 35-an orang itu berlangsung mulus dan mengasyikkan, soalnya cuaca cukup bersahabat. Tapi begitu menjelang mendekati tujuan, tiba-tiba angin mulai berembus kencang, membuat kapal yang kami tumpangi seperti meloncat-loncat di tengah lautan.
Lumayan horor, karena kru kapal sampai menyuruh penumpangnya untuk memegang pelampung masing-masing.
Ombak yang tinggi kelihatan sangat jelas dari jendela, seolah seperti sedang berusaha keras menelan badan kapal. Karena terbanting-banting di permukaan air, kami yang ada di dalam kapal malah jadi pada bercandaan: “kok jadi berasa kayak lagi naik mobil lewat jalanan rusak ya..” hehe.. Tapi alhamdulillah, akhirnya semua berjalan lancar, dan setelah 3 jam mengarungi lautan lepas, kamipun tiba di tujuan.
Welcome to Sebira. Begitu turun dari kapan, yang terasa pertama kali adalah sensasi seperti berada di luar kota yang jauuuhh banget. Mungkin karena untuk mencapainya kami memang harus menyeberangi lautan. Padahal sebenernya ini kan masih termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta. Wah, tapi menarik juga rasanya bisa menikmati sisi lain dari Ibukota.
Pulau Bugis Bone
Pulau Sebira terhitung kecil, sekitar 9,5 hektar dan berpenghuni cukup padat, kurang lebih 500 jiwa. Penampilannya mirip-mirip beberapa perkampungan di Jakarta, cuma yang ini unik karena dikepung lautan. Kalau di Jakarta ada beberapa tempat yang namanya “Kampung Bugis” (karena banyak dihuni warga bersuku Bugis), maka Pulau Sebira ini kayaknya cocok kalau disebut sebagai “Pulau Bugis.” Ya, karena memang sekitar 90 persen-an penduduknya bersuku Bugis asal Bone, Sulawesi Selatan.
Menurut cerita, awalnya pada sekitar tahun 1974 pulau ini masih berupa hutan tidak berpenghuni, kecuali oleh petugas yang menjaga mercusuar, karena di Pulau Sebira ada mercusuar peninggalan Belanda, tapi ketika itu sudah sering didatangi warga Pulau Genteng untuk menangkap ikan.
Melihat potensi ikan yang besar, akhirnya seorang nelayan dari Pulau Genteng (bernama Joharmansyah) minta diijinkan untuk bermukim. Awalnya belum diperbolehkan, tapi setelah melalui proses panjang mulai mendapat ijin juga. Kebetulan pada tahun 1975 ada desakan supaya penduduk yang mendiami Pulau Genteng pindah bermukim ke tempat lain.
Sempat mendapat tawaran dipindah ke Pulau Pamagaran, tapi warga menolak karena dianggap tidak banyak ikan diperairannya. Singkatnya lalu warga jadi terbagi dua, sebagian pindah ke Pulau Sebira, sebagiannya lagi ke Pulau Kelapa Dua. Dari awalnya hanya berjumlah kurang lebih 20 KK ditahun 1975, sekarang berkembang menjadi banyak.
Joharmansyah yang menjadi pelopor, saat ini sudah meninggal, tapi isterinya, ibu Hj. Hertuti masih sehat dan menjadi pemuka masyarakat dengan kedudukan paling tinggi, sebagai ibu RW. Karena orang Bugis memang terkenal sebagai pelaut ulung, jadi dulu-dulunya dari Sulawesi Selatan sana bisa sampai pindah bermukim ke wilayah Kepulauan Seribu.
Nah, begitu mendarat dari laut, rombongan beristirahat sebentar dirumah ibu RW tersebut. Disambut suguhan “barongko” dingin yang segar plus teh manis hangat, stamina seluruh anggota rombongan pun langsung pulih setelah sebelumnya sempat drop gara-gara di-shakelautan. Lalu tanpa menunggu waktu lama, saya bersama beberapa orang temanpun kemudian segera “meluruskan kaki” dan menjelajahi pulau.
Destinasi pertama kami adalah mercusuar. Dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1869, mercusuar yang sekarang disebut sebagai “Menara Suar Jaga Utara” ini tingginya sekitar 50 meter, ditunggu oleh oleh 2 orang petugas (petugas resminya namanya Pak Joko, dan satu lagi adalah “pendamping”-nya namanya Pak Langgeng).
Mengobrol ke sana kemari, sayangnya Pak Joko tetap nggak bersedia menceritakan kisah para “penghuni” (tuan dan nyonya Belanda) yang konon menjaga di setiap lantai tower menara, padahal udah dipancing berkali-kali untuk cerita.
Sayangnya kondisi mercusuar ini cukup memprihatinkan, secara kasat mata kelihatan dipenuhi karat dan keropos disana-sini. Nggak tau kenapa, aset fungsional ini belum tersentuh peremajaan.
Selanjutnya kami mengitari sebagian sisi pulau. Dari belakang mercusuar kelihatan pemandangan laut lepas. Di luar kompkes juga ada sebuah masjid cukup besar, namanya Nurul Bahri yang sering dijadikan tempat berkumpul warga dalam banyak kesempatan.
Puskesmas ada. Sekolah SD dan SMP terpadu juga ada. Lumayan lengkap fasilitas sosialnya. Perekonomian masyarakatnya juga relatif cukup sejahtera. Di Jakarta daratan aja saya malah pernah liat daerah yang kondisinya jauh lebih parah kemana-mana dari pulau ini.
Terus juga ada dermaga apung yang terlihat menarik karena berwarna biru-kuning, serta sedikit pantai berpasir putih. Meskipun belum termasuk dalam daftar pulau tujuan wisata di Kepulauan Seribu, tapi menurut saya tempat ini cukup mengesankan.
Yang menjadi ciri khas menonjol Pulau Sebira adalah produk unggulan warganya berupa ikan asin selar. Produk olahan penduduknya konon termasuk nomor wahid, karena dibuat langsung menggunakan ikan segar hasil tangkapan nelayan.
Ikan selar memang lebih menguntungkan kalo dijual sebagai ikan asin dibandingkan segar, karenanya warga lebih suka mengolah tangkapan mereka dulu sebelum melempar ke pasar melalui pelabuhan Muara Angke di Jakarta Utara.
Jika sedang musim angin kencang, nelayan tidak melaut. Saat di luar musim ikan selar, nelayan biasanya lebih suka menjual tangkapannya langsung sebagai ikan segar tanpa mengolah menjadi ikan asin.
Sepertinya lumayan serius nih mau menjadikan tempat ini sebagai tambahan destinasi wisata di wilayah Kepulauan Seribu.
Yasudlah, akhirnya malam itu sayapun tidur dengan perasaan sedikit takjub. Terkaget-kaget dengan nyamannya suasana perjalanan ini.
( Riri Sudirman)