PINISI.co.id-Pakar hukum tata negara Dr. Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang menolak pengujian formil terkait UU KPK hasil revisi sebagai sebuah keputusan kematian KPK yang dirasakan seperti menyaksikan “sentuhan akhir suatu kejahatan sempurna.”
Hal itu dikemukakan aktivis korupsi asal Makassar ini dalam uraiannya di Kompas, Sabtu (8/5/2021).
Setelah membaca secara saksama putusan MK, Zainal mengutip Jean Baudrillard, bahwa apa yang dilakukan MK semacam hyper-criminality. Tatkala kejahatan disusun sedemikian rupa, dikontrol oleh kekuasaan besar dengan manajemen kejahatan yang canggih dan permainan politik tingkat tinggi, MK menyempurnakannya melampaui hukum, moralitas kemampuan akal sehat dan nilai-nilai budaya yang diyakini.
Pria yang akrab disapa Uceng ini menjelaskan, pembacaan putusan MK sesungguhnya menunjukkan betapa serius problem konstitusional yang oleh MK dijawab secara tidak serius. Sistematisnya kejahatan membunuh KPK tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagi masa depan Indonesia, padahal putusan MK sebelumnya menegaskan KPK memiliki constitusional importance. Di sini, menurut Uceng, MK terkesan sengaja tidak membawa perspektif konstitusional yang seharusnya sangat penting.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM ini mengingatkan, kali ini dalam kejahatan pembunuhan KPK, bukan sekadar perfect crime, melainkan juga mengakibatkan adanya korban ganda. Bukan hanya mengancam kehidupan KPK sehingga berada di ujumg tanduk dan sekarat, melainkan juga menunjukkan kematian moralitas konstitusional MK.
“Putusan MK tentu tidak bisa dibaca terpisah dari posisi DPR dan Presiden dalam legislasi revisi tersebut. Semua terasa sebagai orkestrasi. Melodi yang dimainkan adalah ritme KPK boleh hidup tapi pemberantasan korupsi harus mati.”
Sebelumnya 72 profesor dan cendekiawan terkemuka Indonesia mendesak MK mengembalikan KPK kepada khitahnya, namun suara guru besar lintas perguruan tinggi ini dianggap hanya angin lalu oleh MK. Siapa yang meragukan integritas Prof. Andi Faisal Bakti, Prof. Emil Salim, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Franz Magnis Suseno, Prof. Akmal Taher, dan puluhan lainnya yang semata-mata berniat menjaga marwah KPK.
Inilah yang mengecewakan cendekiawan Yudi Latif yang menulis dengan masygul, bahwa penguasa datang silih berganti tetapi politik di negeri ini hanya satu rencana: rencana berkhianat.
“Kita perjuangkan reformasi dengan misi besar membasmi korupsi, kolusi dan nepotisme, namun sekarang begitu tega kita lumpuhkan kembali KPK,” tulisnya dalam Kompas, 7 Mei 2021. (Lip)