Kolom Fiam Mustamin
DI KURUN waktu tahun 1970 an itu, orang orang yang berprofesi seniman atau wartawan yang bermukim di kota kabupaten atau provinsi terobsesi untuk hijrah ke ibu kota Jakarta. Paling tidak bisa tinggal beberapa saat sampai mendapatkan atribut pengakuan sebagai orang pusat yang bisa berdampak dan membawa karyanya berlevel nasional.
Anggapan ini tidak berlaku pada diri budayawan, wartawan dan penulis novel H. Zainal Bintang. Jakarta baginya adalah kota jelajah sejak masa remajanya, sebagai putra sulung pengusaha dan sastrawan H. Labintang.
Taman Ismail Marzuki (TIM)
SEJAK era tahun 1970 an TIM dikenal sebagai pusat perbincangan pemikiran kebudayaan, pergelaran kesenian berskala lintas daerah dan internasional, pameran seni rupa dan penayangan film film/kine club berkualitas dari manca negara.
Di TIM Zainal Bintang yang dari Makassar melebur dengan para begawan budayawan intelektual anggota Akademi Jakarta (AJ). Dengan para seniman lintas disiplin dalam komunitas Anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Di area TIM ini berdiri Lembaga Pendidikan Kesenian (LPKJ) Pusat Dokumentasi Satera HB Yassin dan Wisma Seni.
Tak ayal, di TIM, predikat kepala suku disematkan oleh peserta loka karya Penataran Wartawan Seluruh Indonesia, pada 1973-1974. Sebutan kepala suku masih melekat hingga kini. Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, salah satu peserta dari majalah TEMPO, mengomentari Zainal adalah lelaki Bugis yang ganteng dan cerdas
Di Wisma Seni inilah Zainal mondok melakukan penulisan ulasan dan kritik bidang yang diamatinya yang dikirim ke surat kabar Kompas, Sinar Harapan, Berita Yudha, Suara Karya dan Angkatan Bersenjata (AB).
Kemudian Zainal yang selalu berpenampilan rapi menjadi wartawan tetap di AB dan pemilik SKM Barata.
Saya bertugas mengantar tulisan dan mengambil honorarium setiap akhir bulan di redaksi atau menukar wesel di kantor pos. Tugas berikutnya mencari koran yang sudah memuat tulisan dan membacanya lalu membuat kliping/menempel guntingan tulisan tulisan itu di kertas putih.
Dengan membaca berulang ulang tulisan itu saya bisa ikut memberi komentar bila ditanya. Pengalaman ini menempa pèngalamam pendidikan otodidak dan keterampilan dari apa yang saya baca, lihat dan interaksi selama di TIM.
Pergaulan di TIM mengantar saya mengenal dekat dengan sejumlah tokoh seniman budayawan antara lain Asrul Sani, Mochtar Lubis, Wahyu Sihombing, Soemarjono, Taufiq Ismail, D Jaya Kusumah, Salim Said, Ikranegara, Danswariono, Arifin C Noer, Teguh Karya, Putu Wijaya, Syumanjaya, Wim Umboh, Ami Priyono, DA Peransi, Fred Wetik, Ds Zhatuadi, Rusli, Frans Hariadi, Sujiono, WS Rendra, Emha Ainun Najib, Khartika Affandi, Abrar Siregar, Ed Pesta Sirait, Slamet Raharjo, Ismail Subarjo dan lain lain.
Zainal Bintang yang disingkat ZB oleh kolega terdekatnya digelari Raja Bone Kontemporer, yang pas gelarnya adalah Arung Matoa atau Maddukelleng yang ada darah keturunan bangsawan dari Wajo.
Di sela waktunya Zainal menulis tiga novel Bumi Yang Letih dan Bulan Yang Retak Retak. Keduanya dimuat bersambung di harian Suara Karya, 1973-1974. Kemudian Pemburu Mimpi, di koranAngkatan Bersenjata, 1977-1978. Di harian ini pula Zainalmenjadi Redaktur Budaya, 1972-1978.
Pada novel Bumi Yang Letih, salah satu tokoh utamanya dinamai Tigor, tokoh itu dihidupkan dalam film Bulan Di atas Kuburan karya Asrul Sani dan disutradarai oleh Edpesta Sirait. Tokoh anak desa yang lugu sok tau itu datang ke Jakarta mengadu nasib. Tokoh si Tigor itu melekat dengan diri saya dan ibu Hj Nenni ZB menyapa saya dengan sebutan tokoh si Tigor itu. Dua novel itu dimuat bersambung di koran
Menertawakan Lingkungan
EMPAT tokoh Makassar yang saya gelari Itolok yang diartikan lelaki pemberani dan cerdas yaitu Rahman Arge, Husni Djamaluddin, Arsal Al Habsy dan Zainal Bintang, tiga diantara itu telah wafat.
Mereka semua adalah budayawan dan wartawan senior pemimpin redaksi/ pemilik surat khabar.
Di antara mereka itu bila bertemu seperti tak ada nampak kesusahan, semua persoalan dan masalah dijadikan tertawaan yang menghibur seperti apa yang diucapkan dan dituliskan dalam artikel esainya.
Zainal sangat fasih mengingatnya apa yang sering menjadi kutipan satir (kocci-kocci) Rahman Arge dalam esai-esainya.
Misalnya penggambaran seorang tokoh yang memiliki kekuatan kuasa dari orang yang tak menjabat kekuasaan atau seorang wanita yang menjadi perebutan kekasih dari semua lelaki… hahaha.
Saya punya kenangan khusus, di manapun Zainal, saya menyapanya dengan Daeng Aji. Apabila akan makan enak saya selalu diajaknya.
Suatu ketika di restoran, tinggal saya yang perlu memesan makanan lalu sayapun memesan seporsi nasi putih saja dengan laut capcay. cuma itu saja.
Serta merta semua pandangan mata tertuju ke saya seolah ingin mengatakan ganti lauknya, capcay itu makanan borjuis dan mahal … saya pura pura tidak tau itu.
Begitulah antara lain candaan para senior itu yang gagah dan menyenangkan dengan humornya itu, sayapun yuniornya seringkali jadi obyek penderita untuk menghidupkan suasana.
Kahfi Ciganjur 17 Juli 2O20
.