Oleh Fiam Mustamin
Bagi setiap orang dalam kehidupannya tidak pernah lepas dan senantiasa terikat secara emosional dengan lingkungan budaya di mana ia dilahirkan dan dilingkungan yang membesarkannya.
Pengaruh budaya melekat pada diri pribadi seseorang. Ia terikat dengan daerah asal keturunan yang melahirkannya.
Gambaran fenomena ini secara gamblang dapat kita saksikan pada beberapa kelompok komumitas etnis yang hidup di kota-kota besar, khususnya di Jakarta.
Perilaku masyarakat Indonesia yang sungguhnya dapat tercermin dari kelompok etnis besar antara lain, Jawa, Sunda, Bali, Madura, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara.
Sekarang ini situasi bangsa yang sedang mengalami berbagai krisis, antara lain ancaman yang mengkhawatirkan munculnya wacana yang mengarah ke perpecahan dan melemahnya ikatan kebangsaan dan munculnya wacana Disentegrasi Nasional yang mengancam untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuannya Republik Indonesia (NKRI).
Adapun faktor yang memicu disintegrasi nasional/bangsa antara lain dari akibat tidak diberdayakannya secara merata dan adil bagi segenap potensi komunitas etnis yang ada pada pengendalian dari posisi sentra sentra pemerintahan yang puluhan tahun rezim Orde Baru berkuasa.
Sebagian besar daerah ada yang tereksploitasi sumberdaya alamnya untuk membesarkan dan mensubsidi etnis tertentu saja seperti adanya potensi aset daerah di Aceh, Riau, Kalimantan, Papua dan lain-lain yang terserap besar besaran untuk kepentingan Pemerintah Pusat.
Kemudian dari kondisi itu terakumulasinya penguasaan aset-aset itu kepada sejumlah pengusaha tertentu konglomerat, sementara daerah- daerah penyumbang tersebut tidak berimbang/setara memperoleh kompensasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Demikian pula terimplikasi pada sektor pembinaan dan pengembangan budaya daerah di luar Pulau Jawa yang tidak banyak mendapatkan perhatian dan peluang untuk berekspressi yang nampaknya merupakan suatu rekayasa secara politis.
Penguasa mengembangkan dominasi budaya daerah tertentu saja yang menjadi citra budaya nasional.
Kesenjangan dan ketidakadilan itu adanya ekspresi budaya daerah memjadi salah satu faktor yang menyemangati lahirnya Undang- undang Otonomi Daerah yang mengatur mengenai Pemerintan Daerah dan Perimbangan Pembagian Keuangan Daerah dan Pusat ( Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999).
Dalam semangat berotonomi yang diberikan seluas-luasnya kepada kabupaten/kota perlu disikapi secara kreatif terutama dalam penggarapan berbagai sumber daya alam untuk pemberdayaan lahan lahan yang potensial untuk pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan dan lain-lain.
Sehubungan dengan itu, dan dengan semangat budaya daerah, bahwa setiap daerah memiliki karakteristik dengan sumberdaya alamnya sebagai pendukung pembangunan.
Daerah daerah memiliki potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya komunitas etnis yang potensial itu antara lain Minangkabau, Melayu, Batak dan Bugis Makassar.
Orang Minangkabau dikenal sebagai warga perantau, pelaku usaha sektor informal yang ulet dan tetap memelihara ikatan emosional untuk membangun daerah asal kelahiran dan leluhurnya.
Mereka wujudkan misalnya dengan membentuk Bank Perkreditan Rakyat di desa dan kecamatan kampung asal mereka.
Dalam hubungan budaya, etnis Minangkabau tetap memelihara rumah gadang di daerahnya sebagai simbol perekakat budaya dan kekerabatan mereka dengan daerah asalnya.
Selain itu, mereka juga sangat peduli dengan pengembangan sumberdaya manusia untuk menghadapi tantangan kehidupan jaman.
Kepedulian mengenai SDM ini juga terlihat dan terencana dengan baik yang dilakukan warga etnis Batak (Melayu Batak) dengan mendirikan beberapa Sekolah Menengah Umum Unggulan di Sumut.
.
Komunitas etnis Batak ini banyak yang berprestasi sebagai anggota TNI/Polri, pengacara, politisi, wartawan, budayawan, birokrat pamong praja.
Etnis Bumi Sawerigading
Etnis di Sulawesi Selatan terdiri dari etnis Bugis, Makassar. Mandar, Toraja dan Masserempulu Enrekang yang populer disingkatkan dengan sebutan Bugis Majassar atau Bugis saja.
Dengan menyebut dua atau satu yang terakhir itu dimaksud mewakili dari lima etnis itu seperti yang disematkan secara permanen pada Saudagar Bugis Makassar melalui seminar khusus dari para sejarawan dan budayawan Sulsel di pertemuan kedua PSBM itu.
Bugis Makassar memiliki ciri karakteristik dan etos kerja tinggi, keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan prinsip yang mengandung makna/ nilai Siri na Pesse/ Pacce.
Siri sebagai inti budaya etnis Bugis Makassar yang dihayati dan menjadi sumber motivasi pendorong bagi pendukung budaya itu untuk maju dan sukses dalam berbagai usaha.
Warga etnis Bugis Makassar memaknai Siri sebagai nilai harga diri dan martabat. Merasa malu apabila mereka tidak sukses dalam usahanya, jabatannya ataupun pada bidang pekerjaan lainnya.
Sementara makna Pesse/ Pacce yang diterjemahkan sebagai rasa pedih yang teraktualisasi dengan kepedulian dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama warga atau dengan seseorang yang telah dianggap saudara di perantauan untuk saling berbagi rasa suka dan duka dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi.
Dengan sikap perilaku itu, etnis Bugis Makassar di perantauan dengan mudah dapat melakukan penyesuaian diri/bersosialisasi di tempat domisilinya.
Awal integrasi di Timor Timur, warga etnis Bugis Makassar begitu besar peranannya sebagai pelopor yang membuka jaringan perekonomian dan perdagangan. Kemudian aset-aset yang mereka kumpulkan sirna begitu saja ditinggalkan ketika masa Timtim lepas dari NKRI
Datang untuk Membangun
Satu hal yang cukup spesifik yang dimiliki oleh perantau enis Bugis Makassar, mereka datang ke suatu tempat perantauan dengan usaha swadaya.
Mereka berlayar ber mil-mil, mengarungi lautan dengan menantang badai dan gelombang dengan tekad untuk menemukan pelabuhan dimana perahu terdampar.
Di tempat terdampar disitu dibangun kehidupan baru, mengolah lahan belukar belantara dan berinteraksi dengan masyakat yang ditemukan di tempatan daerah rantau untuk bersama sama membangun kehidupan dan kekeluargaan, melakukan kawin mawin sampai beranak cucu turunan.
Usia Pensiun Dan Hidup Sehat
Pada era reformasi ini semangat pemberdayaan Otonomi Daerah perlu memacu potensi sumberdaya alam dan manusia tiap daerah.
Pendekatan emosional dan budaya warga etnis perantauan dimanapun mereka berada untuk membangun daerah kelahiran dan leluhurnya. Setiap orang sangat berkepentingan dengan dengan identitas budayanya, dengan tanah kekahiran dan leluhurnya.
Pemilikan sebidang tanah atau sebuah bentuk bangunan di daerah kampung halaman akan bemakna sebagai simbol budaya monumental yang senantiasa akan dikenang sebagai sejarah budaya yang menyatakan identitas seseorang dari mana asal usulnya.
Idealnya kita perlu lestarikan keberadaan rumah-rumah tua, rumah adat antara lain Pendopo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Saoraja /rumah panngung di Bugis, Tongkonan di Toraja, Lamming/panggung di Kalimantan dan rumah-rumah adat di daerah lainnya untuk menjadi tempat kembali menyambung silaturahmi antargenerasi.
Penulis adalah budayawan