Presidential Threshold 20 Persen Gagal Perkuat Sistem Persidensiil

0
675
- Advertisement -

PINISI.co.id- Sejumlah pengamat dan para ahli menilai sistem Presidential Threshold 20 Persen telah gagal memperkuat sistem presidensiil. Secara prinsip, mereka sependapat Presidential Threshold 20 persen harus ditiadakan lantaran tak relevan untuk diimplementasikan.

Hal itu disampaikan dalam Executive Brief yang mengambil tema Masukan Ilmiah-Akademik Terkait Presidential Threshold, Sabtu (8/1/2022) di Jakarta.

Hadir dalam kegiatan itu Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Senator Tamsil Linrung (Sulsel), Habib Abdulrrahman Bahasyim (Kalsel), Bustami Zainuddin (Lampung), Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, serta Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi.

Sementara sejumlah pengamat dan ahli yang hadir di antaranya Refly Harun, Prof Chusnul Mar’iyah, Rocky Gerung, Haris Azhar, Bivitri Susanti, Ferry Joko Yuliantono dan Radian Salman.

Refly Harun yang bertindak sebagai moderator menjelaskan jika saat ini sudah ada banyak gelombang judicial review Presidential Threshold 20 persen ke MK.

- Advertisement -

“Senator ada dua gelombang yang mengajukan judicial review. Ada juga dari Diaspora Indonesia dari 11 negara dan 27 pemohon. Ada dari Amerika, Inggris, Perancis, Belanda, Hong Kong, Taiwan, Australia, Jepang, Singapura dan beberapa negara lainnya,” kata Refly.

Dalam putusannya, MK menyebut Presidential Threshold 20 persen memperkuat sistem pemerintahan presidensiil. MK juga menyebut Presidential Threshold 20 persen merupakan tata cara lebih lanjut saja.

Terakhir, MK menyebut Presidential Threshold 20 persen adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.

Senator Tamsil Linrung menjelaskan jika DPD RI tak akan berhenti untuk terus menyuarakan Presidential Threshold 0 persen.

“Baru ada dua gelombang yang mengajukan judicial review dari anggota DPD RI. Masih akan ada gelombang berikutnya yang akan mengajukan judicial review. Melalui forum ini tentu ini menjadi penguatan bagi perbaikan demokrasi kita,” kata Tamsil Linrung.

Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan Presidential Threshold 20 persen tidak menghasilkan kecerdasan junto meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Maka harus ada kompetisi bebas. Dalil MK gagal membuktikan bahwa sistem presidensial itu menjadi efektif. Padahal tak efektif,” tegas Rocky.

Menurutnya, argumentasi open legal policy memberikan diskresi kepada kekuasaan. Untuk itu, ia berharap para pakar hukum tata negara semestinya berpihak pada kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.

“Demokrasi itu intinya adalah kebebasan manusia. Kalau MK menghalangi kebebasan manusia, artinya MK hendak mengembalikan kepada absolutisme. Mari kita bongkar dengan basis akademik dan argumentasi yang kuat. Siapapun berhak mempersoalkan dalik buruk dari MK itu,” ujarnya.

Sementara itu, akademisi UNAIR, Radian Salman menyebut MK menggunakan pertimbangan mengenai desain penguatan sistem presidensiil dengan cara pandang dan asumsi MK, khususnya mengenai PT dihubungkan dengan stabilitas, governability dan penyederhanaan parpol.

“Kecenderungan yang terjadi, presiden terpilih akan menempuh cara-cara kompromi atau tawar-menawar politik (political bargaining) dengan partai-partai pemilik kursi di DPR,” ujarnya.

Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memberikan ‘jatah’ menteri kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR, sehingga yang terjadi kemudian adalah corak pemerintahan yang serupa dengan pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer,” katanya.

Sedangkan Akademisi UGM, Zainal Arifin Muchtar menyebut jika open legal policy, yang didalilkan oleh MK dalam kasus ini, boleh diimplementasikan sepanjang tak berlaku sewenang-wenang dan tidak melampaui kewenangan.

“Lalu juga sepanjang tidak menimbulkan persoalan kelembagaan dan tidak membuat deadlock yang merugikan masyarakat, serta tidak melanggar rasionalitas dan moralitas,” kata Zainal.

Aktivis HAM Haris Azhar meninjau Presidential Threshold dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, partai politik mewakili kepentingan rakyat.

“Tapi faktanya, produknya justru berhadap-hadapan dengan rakyat. Mari kita bawakan laporan yang sudah dilaporkan ke Komnas HAM, Ombudsman, Walhi, Kontras, YLBHI ke MK. Itu bukti bahwa warga terciderai oleh pemerintah dan DPR,” katanya.

“Presidential Threshold ini apa, untuk menggolkan presiden saja atau untuk menjaga hak rakyat. Nyatanya 20 persen menciptakan emperium kekuasaan. Ini tentang relasi partai yang gagal memperjuangkan kepentingan rakyat,” tambah Haris.

Aktivis lainnya, Bivitri Susanti menilai open legal policy merupakan konsep yang tak jelas namun seringkali dibuat sebagai wadah ketika MK tak mau membahas apa yang semestinya dibahas.

“Yang harus ditekankan, MK belum pernah menjawab secara konstitusional dari 21 perkara yang sudah digugurkannya itu. Pertanyaannya, apakah ambang batas itu bersesuaian dengan pencalonan presiden? Itu belum dijawab. Apakah open legal policy itu melanggar konstitusi atau tidak? Itu juga belum dijawab,” katanya.

Di banyak negara, Bivitri melanjutkan, tak dikenal yang namanya ambang batas pencalonan presiden. Yang dipakai adalah ambang batas keterpilihan.

“Tentu presidential threshold akan membuat diskriminasi. MK keliru kalau menyebut Presidential Threshold akan memperkuat presidensiil. Padahal presidensiil tak membutuhkan seleksi awal untuk pencalonan,” tutur Bivitri.

Prof Chusnul Mar’iyah berkelakar jika sepertinya MK membutuhkan ahli politik, tak melulu ahli hukum.

“Kita jangan dipaksa-paksa 20 persen. Tujuan kita bernegara apa? Presiden itu kepala negara dan kepala pemerintahan. Melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan. Kalau teori kepartaian, fungsinya kaderisasi. Partai tak ada yang 20 persen. Kok melegalkan 20 persen. Anda mau merentalkan partai atau memaksakan koalisi brutal?” tanya Prof Chusnul.

Prof Chusnul melanjutkan, ditinjau dari hal tersebut, maka fungsi kepartaian telah gagal. “Mestinya dia mengusung kader sendiri,” pungkasnya. (Syam)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here