Jaksa Agung tentang Gagasan Ultimum Remidium dalam Pidana Korupsi Dibawah Rp. 50 Juta

0
469
- Advertisement -

PINISI.co.id– Jaksa Agung RI Burhanuddin menjadi Keynote Speaker dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Solusi Advokasi Institute dengan mengambil tema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) Perlu Dipenjara?” secara virtual dari ruang kerja di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Selasa (8/3/22).

Burhanuddin mengatakan, saat ini paradigma penegakan hukum telah berubah dari semula untuk mewujudkan keadilan retributif atau pembalasan kini menjadi keadilan restoratif.

“Saat ini paradigma penegakan hukum telah berubah dari semula untuk mewujudkan keadilan retributif atau pembalasan kini menjadi keadilan restoratif atau pemulihan. Keadilan restoratif menekankan pada keseimbangan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan hukum dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu, dewasa ini setiap proses penegakan hukum yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat kepada masyarakat guna mewujudkan keadilan restoratif,” ujar Burhanuddin.

Ia menyampaikan, rasa keadilan ini akan muncul di kala kedamaian dan harmoni masyarakat telah terpulihkan, serta pelaku kejahatan dapat diterima kembali di tengah masyarakat. Hal inilah yang menjadi tujuan penegakan keadilan restoratif.

“Untuk mewujudkan keadilan restoratif, Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 ini adalah regulasi pertama di bawah undang-undang yang menerapkan prinsip restorative justice,” ujarnya.

- Advertisement -

Sejak dikeluarkannya pada tanggal 22 Juli 2020, Kebijakan Restoratif justice yang di inisiasi oleh kejaksaan mendapatkan respon yang sangat baik dari para akademisi, praktisi, dan tokoh-tokoh nasional. Masyarakat pun menyambut Peraturan Kejaksaan ini dengan antusiasme yang tinggi karena sangat banyak warga yang ingin perkara pidananya diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif oleh Kejaksaan.

Saat ini Pemberlakuan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif masih dibatasi, terutama jenis perkara yang melibatkan masyarakat kecil. Namun mengingat tujuan yang hendak dicapai oleh prinsip Keadilan Restoratif yaitu untuk menghadirkan kemanfaatan hukum yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, maka jangkauan ke depan idealnya adalah Peraturan Kejaksaan Keadilan Restoratif ini akan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Hal ini mengingat bahwa setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja.

“Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip “keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia”, maka pendekatan ideal dalam keadilan restorative dimasa yang akan datang adalah dengan melihat jenis perkaranya, bukan lagi melihat subyek yang berperkara, ” tambah Burhanuddin.

Dikatakan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.

“Dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial, maka menurut hemat saya penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial. Adapun pendekatan instrument finansial yang telah dilakukan selama ini antara lain, merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset;
Pemiskinan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset tracing guna pemulihan kerugian keuangan negara, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan, tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal; melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,” paparnya.

Melalui pendekatan instrumen finansial, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pasca putusan inkracht.

Hal ini, lanjut Burhanuddin, selaras dalam teori economic analysis of law yang saat ini mulai berkembang. Teori ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan proses penegakan hukum secara efisien, maka harus mempertimbangkan rasionalitas perhitungan biaya penanganan tindak pidana korupsi dari mulai penyelidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga negara tidak mengalami peningkatan jumlah kehilangan keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan pelaku ditambah dengan biaya-biaya penanganan perkara yang dilakukan aparat penegak hukum. (Syam)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here