Kolom Fiam Mustamin
SEPERTI itu saya mengenalnya.
Ia telah menjadi sahabat batin bersama Andi Rusdi Galigo, sebagai aktivis senior di Institut Lembang Sembilan.
Penampilan kesehariannya tidak menunjukan aksesori berlebihan yang dikenakannya. Ia tidak banyak nimbrung pembicaraan yang tidak menyentuh hal hal subtansial dari kehadiran institut itu.
Di forum-forum rapatpun begitu, ia tidak bicara bila tidak diminta. Mungkin bagi sementara orang menganggapnya
low profile.
Dengan saya lain. Di luar forum kami intensif berdiskusi dengan topik-topik yang akan dikaji dan didiskusikan di forum. Karena itu, saya sering bersamanya menemui Pak Alwi Hamu, Ketum IL9 untuk pendalaman topik kajian lembaga sebelum digelar dalam forum.
Sahabat ini disapa Is, salah satu tim subtansi IL9 bersama Syukriansjah, Inan R Hasibuan , Eva Sundari, Muh Rapsel Ali, Hendry Armen, Aryo Rama Candra, Basri Cako, Nanang Supendi, Rian Andi, Nelson, Feby Arriani, Ellen Kusumawati dan Andi Rusdi Galigo.
Untuk menggambarkan sosok perilaku keseharian putra Bugis ini, penghayat budaya Bugis, saya mengutip filosofi leluhur pujangga Jawa sebagai berikut ;
Nguluk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa api ajiaji dan sugih tanpa benda.
Yang maknanya: Berjuang tanpa perlu membawa massa, menang tanpa merendahkan, berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan kekuatan dan kaya tanpa didasari kebendaan.
Seperti itulah sosok yang bersahaja ini, menjadi bagian penting dari pergerakan pengkajian IL9 dalam perannya sebagai lembaga yang mensuport tiga periode pemerintahan.
Meskipun tak ada kader-kader terbaiknya yang direkrut memperkuat di posisi kompetensi profesional di komisaris BUMN, di mana salahnya.
Iskandar adalah profesional doktor ilmu perminyakan lulusan Amerika Serikat. Di Pilpres 2014 ia menulis buku saku biodata ibu Mufidah Jusuf Kalla dan ibu Uga Wiranto.
Sesungguhnya sahabat ini betul-betul amat sederhana, kalau saya bukan sahabatnya yang disayangi tidak membiarkan menulis tentang dirinya.
Legolego Ciliwung 22 Maret 2022
