Kolom Dr. H.M. Amir Uskara
Sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia — tulis Francis Fukuyama, Guru Besar Kebijakan Publik dari George Mason University AS dalam bukunya yang amat terkenal The End of History And The Last Man — akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal.
Kapitalisme, sebagai sebuah ideologi, tulis Fukuyama, tampak makin nyata dengan munculnya blok-blok perdagangan bebas antarnegara di berbagai kawasan. Sedangkan demokrasi liberal, lanjutnya, akan menjadi protipe pemerintahan negara-negara seluruh dunia di masa datang. Kapitalisme dan demokrasi liberal, muncul dalam bentuk neoliberalisme perekonomian.
Kredo neolib adalah pasar itu suci. Hanya Tuhan yang bisa mengatur kesucian pasar. Karena itu, pemerintah tak boleh intervensi pasar jika ingin menjadi negeri yang perekonomiannya maju.
Tapi, bagaimana kelanjutan neolib setelah sejumlah kampiun bisnis di negeri yang mengusung liberalisme ekonomi ini berguguran?
Sejarah mencatat, perekonomian dunia pernah terguncang di tahun 2008, akibat bangkrutnya bank investasi Lehman Brothers (LB) di Amerika. Ambruknya LB akibat kesalahan penempatan dana investor tersebut menyebabkan dunia dilanda resesi ekonomi. Lembaga keuangan AS pun mengalami krisis. Kepercayaan dunia terhadap ekonomi Amerika memudar.
Kini, di tahun 2022, Amerika mengulangi kesalahan yang nyaris sama seperti di tahun 2008. Kali ini, kesalahan Amerika adalah mengajak dunia memboikot Rusia. Amerika masih berpikir, memboikot Rusia akan berhasil merontokkan Negeri Beruang Merah tersebut. Lalu, militer Rusia meninggalkan Ukraina.
Ternyata Washington salah prediksi. Rusia melawan. Ketika ekonominya diboikot, Cina – negeri dengan kekuatan ekonomi raksasa sebanding dengan Amerika – membantunya. India, negeri besar yang ekonominya terus membesar – bergabung dengan Rusia.
Di pihak lain, Rusia yang mempunyai minyak dan gas – eksportir 16 persen kebutuhan energi global — mengancam Eropa. Jika Rusia menyetop gas ke Eropa Barat, sekutu Amerika itu akan menghadapi krisis besar. Negeri Eropa terbesar, Jerman akan kalang kabut jika impor gasnya ditutup Putin. Barat lupa, Rusia bukan Irak dan bukan Libya yang gampang ditekuk. Rusia itu besar dan kuat. Rusia punya hampir semua sumberdaya. Energi, industri, dan militer canggih. Dengan kekuatannya, Rusia tidak gentar digertak Barat
Kita tahu, krisis ekonomi global itu muncul akibat invasi Rusia ke Ukraina, 24 Feabruari 2022. Rusia menginvasi Ukraina karena negeri yang berbatasan langsung dengan Rusia ini mau bergabung dengan NATO (pakta militer Barat).
Jelas Rusia marah. Jika Ukraina berada di NATO — itu artinya, Amerika menjejer tentara dan peralatan militernya di “halaman rumah” Rusia.
Sang Beruang Merah pasti terusik. Dan benar, Beruang Merah mengaum keras. Lalu, Ukraina diserbu.
Pesiden Rusia Vladimir Putin menyatakan tegas: Kiamat dunia memang urusan Tuhan. Tapi kiamat Eropa urusan saya. Barat bergetar. Harga minyak dan gas meroket, diikuti kenaikan hampir semua komoditas – baik pertanian maupun industri.
Melihat kondisi ini, PM Prancis Emmanuel Macron dalam pidatonya, akhir Maret 2022 di Paris, menyatakan: Invasi Rusia ke Ukraina adalah awal dari kehancuran hegemoni Barat.
“Invasi Rusia ke Ukraina seharusnya menyadarkan Barat bahwa ada kekuatan lain di luar negera-negara neolib dan demokrasi liberal. Mereka yang berbeda itu telah puluhan tahun berjalan dengan sistem ekonomi yang lain dari Barat. Rusia, Cina, India dan Iran – kata Macron – adalah empat negara yang bila beraliansi akan mampu memukul Barat.
Menurut Macron Hegemoni Barat hampir berakhir. Tatanan Internasional sedang dijungkir balikkan dengan cara yang baru. Melalui krisis Rusia-Ukraina yang menyeret Eropa dan Amerika – kini sedang terjadi perubahan tatanan Internasional. Saat ini dunia internasional tengah melihat geopolitik baru.
Macron menyebut situasi saat ini seperti Amerika yang muncul dari abad ke-20 (setelah Perang Dunia I dan II). Prancis, Inggris dan Amerika Serikat telah menjadikan Barat sebagai kekuatan hebat tak terkalahkan selama 300 tahun. Ketiga negara itu mengusung “karakter” masing-masing dalam menekuk dunia internasional. Prancis dengan budayanya; Inggris dengan industrinya; dan dan Amerika Serikat dengan perangnya.
Macron menyebut bahwa dunia sudah terbiasa dengan kebesaran yang memberikan dominasi mutlak atas ekonomi dan politik global. Tapi kemudian banyak perubahan yang terjadi di luar hegemoni Barat. Beberapa krisis dunia, misalnya, datang dari kesalahan Barat sendiri. Di pihak lain, banyak krisis yang muncul akibat tuntutan ekonomi-politik negara-negara berkembang yang merasa tersisihkan dalam percaturan global.
Macron menyebut negara-negara Barat banyak melakukan kesalahan dalam menghadapi krisis global. Kesalahan Barat tersebut sudah beberapa kali terjadi, bahkan jauh sebelum blunder Trump. Ia memberi contoh, kebijakan Clinton di Cina, kebijakan Bush di Timur Tengah; dan kini kebijakan Biden di Ukraina.
Di sisi lain, Barat sangat meremehkan kebangkitan kekuatan baru. Meremehkan kebangkitan kekuatan baru ini tidak hanya terjadi dalam dua atau tiga tahun lalu, tapi sejak 10 atau 20 tahun terakhir.
Macron menegaskan, Barat seharusnya tidak menutup mata bahwa Cina dan Rusia telah mencapai sukses besar selama bertahun-tahun di bawah gaya kepemimpinan yang berbeda. India yang pernah dijajah Inggris, kini muncul sebagai kekuatan ekonomi baru sekaligus menjadi kekuatan politik baru di Timur. Kini Cina, Rusia, dan India adalah negara-negara besar dan maju di Timur yang dapat “mengimbangi” kekuatan Amerika Serikat, Prancis dan Inggris di Barat.
Dari gambaran di atas, pendapat Fukuyama (yang menyatakan Barat dengan kapitalisme liberalnya menang dalam percaturan global) sudah kadaluarsa. Gantinya, pinjam Macron, negara-negara Timur akan menjadi penguasa global.
Penulis, Ketua Fraksi PPP DPR RI