Kolom Solihin Samad
Pengucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dalam bahasa daerah Makassar amat jarang ditulis, bahkan dalam komunitasnya sendiri.
Padahal bahasa daerah adalah jiwa dan ruh peradaban dalam sebuah bangsa lantaran menyangkut penanda dasar dalam berkomunikasi.
Apabila kita mampu menangkap subtansi dari sebuah pesan dalam bahasa Makassar misalnya, maka kita adalah bagian dari entitas itu. Dalam ungkapan bahasa, kerap kita sulit mendapat padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga sepatutnya jika ia diterakan dalam bahasa ibu.
Tak dimungkiri, perkembangan zaman dan teknologi, sangat berpengaruh kepada budaya suatu bangsa.
Tidak terkecuali dalam hal berbahasa.
Pada suku tertentu, bahasa daerah atau bahasa mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Karena melalui teknologi dan media sosial mereka tetap bangga sehingga “keukeuh dan kokoh menggunakan bahasa daerah nya dalam pergaulan sehari-hari. Termasuk dalam kantor kantor pemerintahan. Hal ini mudah kita buktikan dan rasakan di Jawa Barat.
Orang-orang Sunda dengan kesundaannya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Bagaimana dengan kita suku Bugis Makassar?
Menurut pengamatan saya, saudara saudara kita yang bersuku Bugis masih lebih baik menjaga bahasanya ketimbang orang Makassar. Orang-orang Bugis hususnya yang merantau ke suatu daerah masih melekat bahasa dan dialektika kebugisannya. Sementara orang Makassar jangankan di tanah rantau. Di kampung sendiri anak-anak sudah dibiasakan berbahasa Indonesia dengan logat Makassar yang sangat kental.
Pengalaman yang saya rasakan saat mudik saat ini, hampir semua orang yang saya temui di ruang publik seperti di ATM menggunakan bahasa Indonesia.
Kemarin Jumat sore di ATM Pallangga. Seorang anak muda dengan “semangat” nasionalisme berbicara menggunakan Bahasa Indonesia kepada saya. Ketika saya tanya asalnya dari mana, beliau jawab”saya asli dari Malakaji, ” Jawabnya.
Di kesempatan lain ketika saya minta tolong untuk memperbaiki saklar listrik di rumah ibu saya, dengan fasihnya, seorang anak muda yang saya mintai pertolongan menerangkan ” Ini meman saklar harus diganti Pak ka putus mi.”
Saya tanya, battu kemaiki Ndi? dijawabnya dalam bahasa Indonesia tanpa melihat ke saya “Saya dari Galesong, kalau masalah listrik saya sudah berpengalamaG”.
Tidak ada yang salah memang dalam hal ini, tapi di dalanG hatiku membatin..nampaknya bahasa Makassar makin ditinggalkan oleh orang Makassar sendiri. Mungkin ada anggapan memakai Bahasa Indonesia terkesan lebih pintar dan modern.
Semoga saya salah. Wallahu a’lam bissawab
Punna ku runtu kunawa-nawa…
Jai giokku rewasa lebba laloa, julei rimatanta…leco-leco kanangku, anngebba ripa’maitta…
Rianne cappana bulang malannyinga, bulang singara kabuyu buyu…tena sanrapanna, Kupala ki ri KaraEng tumappajaria ngasengki
Barang antekamma naki sungkeanga pakkebbu, naki lomo lomoanga assibuntulu mae rikatte ngaseng, poro appala popporo inakke sibatu balla.
Kipasolongang saia, binanga panggamaseangta, namammayu sikontu simpung pa’maikku. Mange ri luara’na ritamparang panngainta.
Sikontu batang kalengkku,lahere saggenna ilalang bateng ku, ricappa ulungku saggenna pala bangkengku,ki Pammoporanga jai dudu.
Taqabballal lahu minna wa minkum
Syiamana wa syiamakum, salama ki naki para salama riallo pallapasang.
Akhir Ramadhan 1443 H.
Solihin Samad Dg. Nanring sigang silokoangku