Glembuk Jokowi Vs Emak Banteng

0
589
- Advertisement -

Catatan Ilham Bintang

Dalam talkshow Indonesia Lawyers Club ( ILC) terbaru, yang disiarkan Channel YouTube TVOne, Jumat (25/6) malam, saya menyebut istilah “Glembuk Jokowi”. Glembuk –dikenal sebagai strategi politik dalam kultur Jawa — berhasil digunakan Presiden Jokowi untuk melunakkan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri yang murka pada hari pembukaan Rakernas partainya, Selasa (21/6).

Dalam pidatonya Megawati awalnya menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. “Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati. Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,” kata Megawati lantang. Dia tidak menyebut nama, tapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju.” Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out!,” sambungnya lagi dalam “tone” yang sama lantangnya. Ekspresinya pun menyokong itu.

Topik ILC

Pidato Megawati itulah yang diangkat dalam diskusi ILC yang dipandu wartawan legendaris Karni Ilyas. Temanya : ” Suhu Politik Makin Panas, Sebenarnya Mega Marah Sama Siapa?” Para pembicara : Rocky Gerung, Adian Napitulu, Prof Tjipta Lesmana, Ray Rangkuti, Efendy Choiri, Ruhut Sitompul, dan Ilham Bintang.

- Advertisement -

Diskusi berlangsung lebih kurang 100 menit. Karni menyusun rapi penampilan pembicara, saya yang mengawali dan Rocky Gerung yang mengakhiri. “Saya persilahkan Ilham berbicara pertama karena dia yang hari Rabu langsung menulis komentar tentang Ibu Megawati di Ceknricek.com, ” Karni membuka.

Dalam artikel “Belum Pernah Saya Melihat Ibu Mega Semurka Itu” saya memang menyayangkan Megawati sangat murka pada acara pembukaan Rakernas PDI-P. Kasihan. Seharusnya, di usia lanjut, 75 tahun ( lahir 23 Januari 1947) Mbak Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan PDI-P. Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmatNya.

Mega sudah mengantar partainya dua kali menang Pemilu, dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survey tetap menempatkan PDI-P pada posisi elektabilitas tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK.

Hasil survey Litbang Kompas teranyar, PDI-P bukan hanya masih di puncak rangking, tetapi mengalami kenaikan prosentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah.

Kurang apa lagi? Gelar Doktor ( sudah 9 dan menyusul lagi 5, menurut Mega) dan bahkan gelar Professor kehormatan pun sudah diraih. Tak cuma itu. Liha juga kedigdayaa Megawati dalam pertemuan sebebelumnya dengan Jokowi di ruang kerjanya. Presiden Jokowi menghadapnya dalam posisi seperti menghadap Ratu. Dalam video yang sengaja diunggah ( entah oleh siapa) Mega seakan berpesan kepada publik, kepada lawan-lawan politiknya dia lah yang terhebat. Namun, sayang dalam pidatonya di Rakernas Megawati pun “jebol”. Tidak bisa menyembunyikan kemurkaannya.

“Marah kepada siapa,” tanya Karni.

Ya, kepada banyak pihak. Persis seperti banteng terluka menyeruduk siapa saja yang mengganggu dan menghalangi jalannya. Tetapi fokusnya kepada Jokowi dan Ganjar Pranowo. Sudah jadi rahasia umum, sejak awal tahun ini hubungan Jokowi dan Megawati renggang. Jokowi mengakui sendiri keadaan itu (hubungan renggang) karena sebagai anak, dia memang kadang nakal kepada ibu ( Megawati).

Protes Warga

Perlakuan Mega ketika menerima Jokowi di ruang kerjanya, benar saja : memantik reaksi masyarakat. Pegiat media sosial Ade Armando memprotes ketika menonton video viral berisi suasana pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.

Ade Armando menyoroti beberapa hal di video viral tersebut. Pertama, dia mengkritik soal kursi yang diduduki Jokowi pada pertemuan tersebut.”Tidak pantaslah Presiden diberi kursi semacam itu,” tulis Ade di akun Instagram pribadinya @adearmando1961. Keduanya kemudian dipisahkan sebuah meja. Tampak, Jokowi duduk di kursi kayu, sementara Megawati duduk di kursi hitam yang empuk. Ade juga menyoroti sikap Puan Maharani yang selfie dengan membelakangi Presiden Jokowi. Pengamat politik senior Abdillah Toha ikut mengecam pertemuan yang terkesan melecehkan Presiden Jokowi.

Soal Ganjar

Meski tidak menyebut nama, kemurkaan Megawati jelas ditujukan kepada Ganjar Pranowo. Dia menganggap Ganjar “melangkahinya”. Melecehkan putusan Kongres PDI-P yang memberinya hak prerogatif memutuskan calon Presiden dari PDI-P.

Setelah diam sekian lama, rupanya Megawati turut terganggu atas hasil survey yang menempatkan elektabilitas kadernya selalu teratas. Juga pada aksi deklarasi relawan “Ganjar Pranowo RI-1 “. Terbaru, Ganjar masuk pula dalam daftar bakal calon Presiden 2024 Partai Nasdem. Padahal, tidak bisa ditutupi calon PDI-P adalah Puan Maharani, dia lah representasi trah Bung Karno. Itu dikonfirmasi oleh Puan sendiri ketika ditanya wartawan dalam kunjungannya bersama Jokowi ke Ibu Kota Negara Baru tiga hari lalu.

Beberapa bulan terakhir ini banyak kader PDI-P yang sudah lebih dulu secara terang benderang menyerang Ganjar. Dalam konteks itulah saya menyayangkan sikap Megawati yang bukannya menengahi, malah terprovokasi menunjukkan kemurkaannya secara terbuka. Saya khawatir kemarahannya yang berlebihan kepada Ganjar Pranowo bisa menjadi bumerang baginya dan PDI-P: justru mengantarkan Ganjar ke Istana dan mendudukkannya di kursi Presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI.

Bagaimana dengan Jokowi?

Saya melihat Megawati tampak lebih melunak dan bahkan “lumat” dibuat oleh Jokowi hari itu. Ayah Gibran dan mertua Bobby Nasution itu menggunakan strategi politik Glembuk Jawa. Sebelumnya, Jokowi sambil bercanda – canda jujur mengakui memang sering nakal.

Dan, puncaknya pada pembukaan Rakernas PDI-P Megawati dibuat “meleleh” dengan Glembuk itu. Dengarkan pujian Jokowi di awal sambutannya. ” Sejak pagi saya perhatikan, Ibu Megawati memang sangat cantik sekali dan kharismatis,” ucapnya. Dan, Megawati pun merespon lebih banyak pujian kepada Jokowi daripada yang diterimanya.

Semoga saja Glembuk itu tidak ditujukan untuk sekaligus mendapatkan “deal” dengan Megawati untuk menambah masa jabatan Presiden tiga priode. Sekurangnya memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun dengan berbagai alasan. Dan di dalam tenggang waktu itu, bisa dimanfaatkan untuk menaikkan elektabilitas Puan sambil mereduksi elektabilitas Ganjar Pranowo,Anies Baswedan dan Andhika Perkasa.

Adakah ” deal ” itu yang tentu saja dapat dikategorikan sebagai “permufakatan jahat” elit mengkhianati konstitusi bakal menjadi kenyataan. Wallahualam.

Strategi Glembuk

Di dalam tayangan ILC saya tidak sempat mendeskripsikan tentang Glembuk mengingat durasi berbicara yang terbatas. Banyak yang menagih saya penjelasan mengenai Glembuk itu, setelahnya. Sekarang sedikit saya jelaskan. Dalam literatur, Glembuk dalam kultur Jawa, adalah cara atau teknik mengambil dan melunakkan hati kawan maupun lawan dengan cara antara lain merendahkan diri sambil memuji kelebihan kawan. Glembuk juga menjadi strategi merangkul dan menaklukkan musuh. Sejak mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI hingga menjadi Presiden RI strategi itu melekat pada Jokowi. Mulai dari masuk gorong-gorong, serta penampakan kesederhanaan dalam berpakaian menjadi antitesa umumnya para pejabat. Puncaknya ketika berhasil ” meringkus” Prabowo Subianto menjadi pembantunya di kabinet, dari sebelumnya sebagai kompetitor dalam dua kali pilpres.

Dalam penelitian Bambang Hudayana, seorang antropolog UGM lewat yang menulis “Glembuk, Strategi Politik Dalam Rekrutmen Elite Penguasa di Desa Pulungsari Yogyakarta” ia mengkonfirmasi bagaimana Glembuk bekerja.

Glembuk diartikan sebagai suatu cara “halus” untuk membujuk masyarakat atau tokoh memberikan dukungannya saat pemilihan kelak. Bujukan ini bisa diartikan dalam lingkup yang banyak. Bisa berupa memberikan jabatan tertentu atau memberikan berupa “sumbangan” kebutuhan masyarakat atau desa. Dalam glembuk, kata kunci yang tepat adalah sedikit merendah dan dengan sikap halus. Tak peduli itu lawan sekalipun. Menggunakan Glembuk berarti juga mencoba merangkul lawan politik agar mau mengalah dan memberikan dukungannya. Tentu ada “imbalan” dalam prosesi ini.

Desa Pulungsari yang dijadikan tempat penelitian Bambang Hudaya mengalami arti Glembuk yang sebenarnya. Dengan sikap “basa-basi” dan halus, para elit warga yang hendak menjadi pemimpin di desa itu mendatangi para tokoh warga. Memberikan sumbangan dan kebutuhan tertentu, dianggap sebagai balas jasa yang harus dilakukan demi mendapat sebuah restu. Tentu ini menarik, sesuatu yang dianggap politik uang, diterjemahkan menjadi sebuah imbal jasa yang wajar.

Rocky Bintang ILC

Rocky Gerung kembali menjadi bintang ILC malam itu. Dalam sehari penayangannya, tercatat ILC ditonton hampir 500.000 orang dengan komen sebanyak 5.300, yang hampir seluruhnya memuji Rocky. Like ILC 9300 dan nol dislike.

Malam itu, Rocky kembali menyatakan, gegeran tidak akan berhenti dalam dunia politik di Indonesia selama “Presidential Threshold” yaitu minimal punya 20 % suara / kursi partai di parlemen untuk mengajukan calon presiden, masih berlaku.

“Selama ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh Parpol tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, jangan berharap ada demokrasi di negeri kita,” ucap Rocky.

Dunia politik Indonesia, sambung Rocky, selamanya hanya akan melahirkan tragedi seperti dalam dramaturqi Yunani. Akan selalu ada pengkhianatan, pembangkangan dan darah. “Sebab, dengan “presidential threshold” sebesar itu demokrasi Indonesia hanya menjadi permainan oligarki. Mereka sudah mengantongi tiket untuk kompetisi, sementara banyak parpol masih harus banting tulang seperti anjing yang mengumpulkan tulang-tulang atau remah-remah dari sisa makanan di bawah meja makan pesta oligarki,” papar Rocky bermetafora.

Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk “sedikit” dan “memerintah”.

” Bung Rocky diberikan kesempatan terakhir berbicara setelah menangkap konsep dan pemikiran para narasumber yang bercerita, berasumsi, beretorika plus sugesti. Dalam kurang dari 10 menit, berhasil memberikan pencerahan pada filosofi demokrasi sebagai executive summary. Klimaks. Terima kasih Bang Karni Ilyas sudah menjadi sutradara drama ini. Dan, para nara sumber lainnya yang sudah berperan apik sesuai perannya masing-masing.

“Sesungguhnya rakyat Indonesia lah atas kekuasaan tertinggi di negara ini. Jadi, siapapun nanti di atas yang mewakili suara rakyat, jangan ambil peran sebagai komparador-komparador di panggung sandiwara politik ini, ” itu komentar netizen atas nama Indra Maret. Izin komentar itu saya jadikan penutup tulisan ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here