Apa Loncatan Selanjutnya Seusai Festival Seni Budaya Sulawesi Selatan

0
727
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Sebuah langkah awal yang manis dari gelaran Festival  Budaya Sulawesi Selatan yang dihelat KKSS terkait perayaan HUT-nya ke 46, seyogianya dilanjutkan dengan lompatan yang lebih besar. 

Tampilan kesenian dengan pertunjukan lagu, pergelaran busana, simfoni kecapi, termasuk kreasi senam Alosi Ripulo Dua berpotensi dieksplorasi lebih luas. Festival adalah ruang perjumpaan untuk mengekspresikan cabang-cabang seni termasuk musik tradisi, film, teater, sastra dan industri kreatif lainnya.

Kita bersyukur Sulawesi Selatan mempunyai preseden panjang dalam pencapaian seni, kebudayaan dan peradaban.

Sekitar 44.000 tahun lalu, di situs Gua Leang Bulu Sipong kawasan karst Maros-Pangkep kehidupan seni sudah berdenyut. Betapa tidak, lukisan di gua ini adalah seni figuratif tertua yang dibuat oleh manusia modern. Artinya, manusia modern — homo sapiens Sulawesi Selatan dengan kecakapan artistiknya sudah 14.000 tahun lebih maju ketimbang Eropa yang baru berkarya 30.000 tahun lampau.

- Advertisement -

Maha karya I Lagaligo sebagai warisan dunia, oleh Robert Wilson dipentaskan di kiblat budaya kontemporer dan post-modernisme, mulai Singapura, Spanyol, Belanda, Italia, Melbourne, hingga ke New York. Lagaligo tercatat dalam 1.000 tahun seni teater dunia.

Demikian pula lagu Anging Mamiri sebagai lagu pembuka dan penengah dalam video Wonderland Indonesia II karya Alffy Rev sampai kini telah ditonton sebanyak 44 juta kali dan mendapat apresiasi di dunia. Musik tradisi diramu dengan elemen etnik lainnya dengan sentuhan modern menghasilkan musikalitas dan visualisasi yang spektakuler.

Komposer-komposer terkemuka Indonesia seperti Ananda Sukarlan tak jarang mengusung lagu-lagu tradisi Bugis Makassar untuk dipentaskan di luar negeri dalam pertunjukan orkestra.

Tentu seni tradisi seperti wastra Sulawesi Selatan (kain tradisional) berikut lagu, teater, film, sastra untuk dapat diterima kalangan lebih luas, niscaya memerlukan inovasi, komodifikasi dan kolaborasi bersama unsur-unsur seni lainnya.

Maklum, pesan seni bersifat universal dan tidak tersekat dalam kungkungan suku, agama dan bangsa; bahasa hanya sebatas medium pengantar untuk diterima audiens. Itulah kenapa dialek Makassar ustad Dasad kerap diperdengarkan di terminal angkot Depok yang rerata supirnya dari etnis Batak. Pula logat ustad Maulana mudah dilafaskan anak-anak di pedalaman Bojong Koneng Bogor. 

Film Uang Panai yang kental bahasa daerahnya, diterima kalangan penonton urban di Jakarta dan lebih dari itu memantik film daerah lainnya ke pentas internasional seperti film Ngeri-ngeri Sedap yang kontennya bercerita tentang adat Batak disertakan ke ajang Piala Oscar pada 2023. Lalu film Before, Now & Then (Nana) yang menggunakan bahasa Sunda, menang dalam berbagai festival film internasional.

Pada wastra Sulawesi Selatan, perancang seperti Oscar Lawalata, Itang Yunas, atau Harry Darsono biasa menjumput motif dan corak sutra Bugis Sengkang dalam disain adibusananya.

Saat ini, tak ada lagi pusat-pusat budaya dan otoritas kesenian. Kaum milenial di kampung-kampung sudah menjadi kaum globalis yang menjangkau pasar luar negeri. Dari desa, mereka bisa menyuplai karya-karya animasi ke Singapura, Hollywod hingga Jepang. Mereka adalah langganan disain logo, dan sampul album musik di Amerika dan Eropa. Sementara para milenial di Makassar sering menjual dan membawa film-film pendek mereka untuk dilombakan ke luar negeri dan tak sedikit yang meraih prestasi dalam berbagai festival.

Era metasmesta (metaverse) saat ini melicinkan jalan karya seni dan mudah diakses ke penjuru dunia, lewat digitalisasi teknologi.

Kenapa musik dan film Korea mampu menggerus hegemoni AS dalam industri hiburan, bahkan meraih Oscar dan Grammy di sarang seni pop — ini lantaran pemerintahnya mendukung sepenuh hati untuk ditampilkan ke panggung dunia dalam dana triliunan. Dan Indonesia adalah pasar potensialnya. Ibu-ibu suka nonton drakor dan sebaliknya kaum remaja kesurupan menyaksikan konser kelompok musik BTS.

Mereka melihat potensi ekonomi kreatif yang mendatangkan inkam luar biasa besar. Lebih dari itu, bangsa yang tangguh dan berkarakter apabila didukung oleh basis kultural yang kuat seperti nilai-nilai budaya, falsafah, norma dan etos kerja  dengan dukungan infrastruktur kebudayaan berupa museum, galeri, gedung kesenian multifungsi, perpustakaan, dan penerbitan buku sastra dan pengetahuan.

Contohnya Singapura yang jeli memanfaatkan potensi seni Indonesia dengan membangun galeri lukisan dan gedung konser untuk dijajakan ke luar negeri. Malaysia berkepentingan mewajibkan murid-muridnya membaca karya-kaya hebat sastra Indonesia demi mengasah kapasitas intelektual siswanya dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan.

Di kita, tak bisa terlalu banyak mengharapkan kepada pemerintah karena kadang mereka lebih sibuk mengurusi dirinya sendiri, lantaran terjebak dalam pola pikir siklus lima tahunan. Buat sebagian pejabat, seni dan artis lebih banyak dimanfaatkan untuk meraih suara elektoral dalam pemilu.

Tanpa basis budaya yang mewujud dalam sistem nilai, norma, falsafah, sebuah bangsa hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin pecundang bermental korup dan negara yang ditopangnya hanya menjadi pasar industri hiburan, dan melulu menjadi mangsa bangsa-bangsa asing.

Padahal untuk mengurusi kebudayaan tidak bisa sambil lalu, sebab kebudayaan punya bentang waktu dan sejarah yang panjang.

Ars longa, vita brevis, hidup itu singkat, seni itu abadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here